Kisah Pilu Warga Palestina Nikah di Tenda Pengungsian Imbas Agresi Israel

21 Januari 2024 14:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pasangan Palestina, Mohammed Al-Ghandour dan istrinya Shahad saat hari pernikahan mereka di tenda pengungsian di Rafah, Jalur Gaza, Kamis (18/1/2024). Foto: Mohammed Salem/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Pasangan Palestina, Mohammed Al-Ghandour dan istrinya Shahad saat hari pernikahan mereka di tenda pengungsian di Rafah, Jalur Gaza, Kamis (18/1/2024). Foto: Mohammed Salem/Reuters
ADVERTISEMENT
Tak pernah terbesit dalam pikiran pengantin pria Palestina asal Kota Gaza, Mohammed al-Ghandour, bahwa dia dan mempelai wanitanya, Shahad, akan melangsungkan pernikahan di tenda pengungsian.
ADVERTISEMENT
Selain telah menghancurkan harapan mereka untuk memiliki sebuah prosesi pernikahan yang indah dan pesta besar — pengeboman Israel juga menghancurkan rumah al-Ghandour dan Shahad di Kota Gaza, sehingga mereka terpaksa tinggal di kamp pengungsian Rafah dan bahkan menggelar pernikahan di sana.
"Saya menginginkan sebuah pesta. Saya ingin sebuah perayaan, sebuah pernikahan. Saya ingin mengundang teman-teman saya, kerabat dan sepupu saya, seperti yang dilakukan orang lain," ungkap al-Ghandour, seperti dikutip dari Reuters.
Dengan seluruh keterbatasan dan di tengah kekhawatiran terjadinya serangan udara Israel, al-Ghandour tetap melangsungkan pernikahan sederhana bersama belahan jiwanya, pada Kamis (18/1).
Pasangan Palestina, Mohammed Al-Ghandour dan istrinya Shahad saat hari pernikahan mereka di tenda pengungsian di Rafah, Jalur Gaza, Kamis (18/1/2024). Foto: Mohammed Salem/Reuters
Ia pegang tangan istrinya menuju tenda yang dihiasi lampu warna-warni dan sebuah cermin berbingkai warna emas, sementara beberapa kerabat yang selamat dari gempuran Israel tampak mengiringi mereka sambil bertepuk tangan.
ADVERTISEMENT
Di dalam tenda, terlihat Shahad dengan anggun mengenakan gamis berwarna putih dihiasi sulaman tradisional berwarna merah. Wajah Shahad tertutup furing berwarna putih, tetapi ia tampak tersenyum ketika tangannya dipasangi cincin oleh al-Ghandour.
Alih-alih pesta besar dan hidangan makanan aneka ragam, Shahad dan al-Ghandour hanya membawa beberapa makanan ringan dalam kemasan plastik. Ditatanya dengan hati-hati makanan tersebut di dalam tenda dan dimakan bersama seluruh kerabat yang hadir.
Menurut PBB, kamp pengungsian Rafah saat ini terancam kelaparan seiring dengan pengepungan yang masih diberlakukan Israel untuk pasokan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza.

Sudah Bersiap Nikah dari Sebelum Pertempuran

Lebih jauh, ibunda Shahad, Umm Yahia Khalifa, mengungkapkan rasa campur aduk yang dirasakannya melihat putrinya menikah di tengah segala kehancuran akibat Israel. Sebab, seluruh persiapan pernikahan sebenarnya telah berlangsung sebelum peristiwa 7 Oktober terjadi.
ADVERTISEMENT
Menurut Khalifa, masing-masing keluarga mempelai menghabiskan banyak uang untuk persiapan pernikahan itu. Nominalnya mencapai lebih dari USD 2 ribu (Rp 31 juta) untuk pakaian. Namun, semuanya hancur setelah Israel menghancurkan tempat tinggal mereka.
Pasangan Palestina, Mohammed Al-Ghandour dan istrinya Shahad saat hari pernikahan mereka di tenda pengungsian di Rafah, Jalur Gaza, Kamis (18/1/2024). Foto: Mohammed Salem/Reuters
"Kami telah mempersiapkan segala keperluan pernikahannya dan dia sangat bahagia. Namun semua itu sirna dalam penembakan itu. Setiap kali dia mengingatnya, dia mulai menangis," ujar Khalifa.
"Impian saya adalah memberikan Shahad pernikahan terbaik, yang terindah di dunia," sambung dia.
Meski begitu, al-Ghandour dan Shahad bertekad bahwa niat mereka untuk menikah adalah baik — dan tidak akan bisa dihancurkan oleh siapa pun, termasuk kekejaman Israel.
Sehingga, di tengah kesibukan pengungsi-pengungsi lain yang tinggal di sekitar tenda, pernikahan sederhana al-Ghandour dan Shahad pun berlangsung.
Pasangan Palestina, Mohammed Al-Ghandour dan istrinya Shahad saat hari pernikahan mereka di tenda pengungsian di Rafah, Jalur Gaza, Kamis (18/1/2024). Foto: Mohammed Salem/Reuters
Khalifa memimpin sekelompok kecil wanita yang sama-sama bernyanyi untuk merayakan pernikahan tersebut — sementara seseorang telah menyimpan baterai cadangan untuk memutar musik portabel.
ADVERTISEMENT
Adapun per pekan ini, agresi Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober lalu telah menelan lebih dari 24 ribu korban jiwa Palestina. Setengah di antaranya adalah anak-anak dan perempuan. Angka ini diprediksi bakal terus bertambah seiring dengan ancaman kelaparan, wabah penyakit, dan ribuan orang yang masih terjebak di reruntuhan.