Kisah Sans Serif, Font Populer Dunia yang Dulu Dicaci

23 Juli 2019 18:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi font sans serif. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi font sans serif. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Sans Serif telah menjelma sebagai standar font dunia. Yang terbaru, Gojek mengubah font-nya menjadi Sans Serif. Menyusul Google, Spotify, Netflix, hingga Pinterest yang sudah lebih dulu menggunakan font tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentu bukan kebetulan jika merek dagang dunia itu hijrah ke Sans Serif. Bukan pula karena paksaan. Alasan yang paling masuk akal adalah, Sans Serif menawarkan cerita tentang kesederhanaan. Dan itu yang dibutuhkan orang saat ini.
Dalam sebuah riset berjudul ‘How Serif and Sans Serif Typefaces Influence Reading on Screen: An Eye Tracking Study’, disimpulkan bahwa pembaca, tentu kita sebagai konsumen, lebih cepat mencerna informasi saat dihadapkan dengan font Sans Serif.
Lebih dari itu, font Sans Serif jauh lebih efektif dalam mengajak pembaca untuk tetap fokus. Bahkan, pembaca dapat lebih mudah mendeteksi keberadaan kata-kata yang salah eja.
Dalam bahasa Perancis, ‘sans’ adalah ‘tanpa’. Sementara ‘Serif’ merujuk pada bagian yang berbentuk kait di ujung kaki. Sederhananya, Sans Serif adalah jenis huruf tanpa kait. Yang artinya, tak ada tangkai atau sirip di ujung kaki-kaki huruf.
Logo baru Gojek di helm mitra pengemudi ojek online. Foto: Dok. Gojek
Jika mengenal font seperti Times New Roman, Bodoni, atau Bookman Old Style, maka itu adalah jenis huruf bertangkai. Ilmu tipografi mengklasifikasikannya sebagai Serif. Sebuah font yang dahulu amat berjaya di era kerajaan Inggris.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, Sans Serif jauh dari kata formal. Tak ada sirip dalam setiap hurufnya. Ia tampil mendobrak tradisi yang ada di Eropa kala itu. Dan karena itu, ia dianggap aneh di awal abad ke-19.
Sans Serif diciptakan oleh William Caslon IV pada tahun 1816. Caslon IV juga bukan orang sembarangan. Ia merupakan keturunan dari pencetus teks bahasa Inggris. Buyutnya, William Caslon I, adalah sosok pertama yang menetapkan gaya tipografi nasional bangsa Inggris.
Caslon IV. Foto: Wikipedia
Tak ada keterangan resmi mengapa Caslon IV mencetuskan Sans Serif. Sejumlah teori yang mengemuka adalah, Caslon IV sengaja memotong sirip di huruf karena permintaan klien. Tetapi, ada juga yang menyebut Caslon IV melakukannya sebatas percobaan.
Yang jelas, dari seluruh teori itu, Caslon IV tak terlalu berminat pada huruf yang ia ciptakan itu. Dalam What Are Grotesque Fonts? History, Inspiration and Examples, Harding menyebut Sans Serif sempat dilupakan. Masyarakat Eropa kala itu menyebutnya sebagai ‘Grotesque’. Font itu dianggap sangat jelek dan menjengkelkan.
ADVERTISEMENT
Menariknya, meski sempat dicaci di abad ke-19, Sans Serif justru mulai berjaya di awal abad ke-20. Kala itu, modernitas tengah digugat. Romantissme terhadap era kejayaan masa lalu dianggap sebagai biang keladi atas terjadinya perang dunia.
Bertepatan dengan itu, gagasan menghidupkan kembali Sans Serif mengemuka. Alasan pragmatisnya, font Serif yang digunakan oleh para juru ketik melalui pena bulu dinilai sangat lambat. Ditambah lagi dengan goresan sirip yang hasilnya berbeda antara satu huruf dengan huruf lainnya.
Di Jerman, pada 1920-an, muncul sebuah gerakan Bauhaus. Gerakan tersebut berpangkal pada sebuah teori filsafat bernama utilitarianisme. Mereka percaya bahwa teks atau desain sekalipun harus menekankan asas kebermanfaatan.
Bauhaus. Foto: Wikipedia
Menurut gerakan Bauhaus, sesuatu dapat menjadi indah hanya kala melayani tujuan praktis. Konsekuensinya, upaya untuk menghiasi sebuah huruf dengan sirip adalah artifisial, sia-sia. Maka, font Sans Sarif adalah jawaban mereka.
ADVERTISEMENT
Kini, Sans Sarif telah menjadi standar font dunia. Variannya pun makin banyak, misal Helvetica, Arial, Futura, Avant Garde, Bitstream Vera Sans, Century Gothic, serta banyak lainnya.
Meski begitu, situasi ini tak lepas dari kritik. Adalah Edmonson, seorang desainer asal Fransisco, AS, yang menyebut merek dagang yang menggunakan font tersebut salah kaprah.
“Tipografi ini ada di mana-mana, dan mereka melakukan pembenaran terhadap apa pun yang disajikan,” kata Edmonson dikutip dari Artsy.net
Font Sans Serif. Foto: Twitter
Edmonson adalah orang yang menyadari bahwa ada kesamaan jenis font yang digunakan oleh sejumlah merek dagang dunia. Untuk pertama kalinya, ia yang mengunggah kesamaan font di antara merek-merek itu di media sosial.
Sementara itu, Armin Vit, perancang grafis dan penulis blog branding populer Brand New, memandang bahwa dominasi Sans Serif adalah tren semata.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, jika ada sebuah perusahaan besar yang menggunakannya, maka perusahaan lain mengikuti. Terlepas dari fakta bahwa memang Sans Serif lebih mudah untuk dikenali.
"Mereka hanya menempuh rute yang sama, menghapus serif sial itu dengan imbalan kesederhanaan," timpal Vit.