Kisah Siswa di Masa Pandemi: Jadi Kuli hingga Jualan Cilok untuk Belajar Online

9 Agustus 2020 18:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bocah bekerja jadi kuli bangunan demi beli hp android. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bocah bekerja jadi kuli bangunan demi beli hp android. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Sejumlah siswa harus berjuang keras demi bisa mengikuti sistem belajar online selama masa pandemi corona. Sebab tak semua siswa punya ponsel android dan mampu beli kuota. Selain itu, tak semua wilayah terdapat sinyal bagus.
ADVERTISEMENT
kumparan merangkum beberapa kisah para siswa yang harus berjuang untuk mendapatkan fasilitas belajar online.
Jadi Kuli Bangunan
Catur Ferianto (16). Siswa kelas VII MTs Ya Robi asal Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, ini terpaksa jadi kuli bangunan demi bisa membeli ponsel android.Kedua orang tuanya yang bekerja serabutan belum mampu membelikan HP untuk Catur.
Bocah bekerja jadi kuli bangunan demi beli hp android. Foto: kumparan
Dia harus meminjam ponsel milik saudaranya untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Itu pun harus malam hari karena saudaranya pulang kerja pukul 21.00 WIB.
Catur memperoleh Rp 50 ribu per hari dari bekerja sebagai kuli bangunan. "Tugasnya itu mengayak pasir, mengaduk semen, membersihkan sisa-sisa material. Anaknya tergolong rajin," kata Marno, pemilik rumah tempat Catur bekerja.
Marno sebetulnya tak mengizinkan anak di bawah umur bekerja di tempatnya. Namun mendengar alasan Catur yang butuh beli HP demi bisa belajar online, Marno tak tega menolaknya.
ADVERTISEMENT
Jualan Cilok
Lain halnya dengan Darwin (12). Remaja SMP asal Desa Cemani, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, ini harus berjualan cilok demi membeli kuota untuk belajar online.
"Jualan mau bantu orang tua. Pulang sekolah dulu waktu SD biasanya jam 1 siang sampai sore. Kalau puasa kemarin dari sore sampai jam 8 malam," ungkapnya.
Darwin jual cilok demi bisa beli kuota untuk belajar online. Foto: Bengawan News
Saat awal pembelajaran daring, Darwin mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah. Lantaran ia harus menggunakan handphone ayahnya yang dibawa untuk bekerja.
"Ngerjainnya pagi, tapi kalau Bapak berangkat dibawa Bapak karena punya handphone satu," ucap Darwin.
Namun sekarang Darwin telah diberi handphone oleh istri dari gurunya di SMP Negeri 24. Kini Darwin sudah mempunyai handphone sendiri, jadi ia bisa mengerjakan tugas saat ayahnya bekerja.
ADVERTISEMENT
Jualan Koran
Beda lagi kisah perjuangan sejumlah siswa di Surabaya. Mereka rela berjualan koran malam hari di perempatan jalan agar bisa membeli kuota internet.
Adalah Sulis Wulandari, Titania Asahro, dan Eliana Purnamasari, tiga dari beberapa anak penjaja koran yang ditemui Basra (media kolaborasi kumparan) pada Senin sore 4 Agustus 2020. Saat pagi Wulan, Nia, dan Eliana mengikuti sekolah online, malamnya mereka menjual koran.
Siswa di Surabaya jualan koran demi bisa beli kuota untuk belajar online. Foto: Dok. Basra
Pendapatan dari berjualan koran juga tak selalu menguntungkan. Eliana mengaku, 20-30 koran pagi yang dia jual malam lebih sering tak laku saat dijajakan.
"Kadang malah nomboki (mengganti) koran yang enggak laku. Karena ada koran yang bisa dikembalikan ke agen, ada yang tidak bisa. Koran-koran yang tidak bisa dikembalikan ini terpaksa dijual ke pasar loak," kata Eliana yang mengambil untung Rp 500 - Rp 1.500 per koran.
ADVERTISEMENT
Eliana dan Wulan masih punya 2 saudara lain yang juga sama-sama menjalani belajar online. Bahkan ponsel bekas yang mereka pakai untuk belajar didapat dari donasi salah satu komunitas di Surabaya.
"Saya ini repot kalau mereka tanya soal pelajaran ke saya, lha wong saya sendiri nggak sekolah. Niat saya menyekolahkan anak-anak saya ini kan biar mereka diajari sama gurunya, biar nggak bodoh seperti saya," kata Yulika, ibu dari Wulan dan Nia.
Tiga kisah ini baru segelintir dari berjuta kisah perjuangan siswa lain di Indonesia. Meski banyak rintangan, para siswa ini tak menyerah demi tetap bisa belajar di tengah pandemi corona.