Kisah Yayasan Galuh yang Merdekakan Orang Gila Meski Sempat Dicibir

14 Februari 2018 19:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yayasan Galuh, penampungan orang sakit jiwa. (Foto: Andreas Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yayasan Galuh, penampungan orang sakit jiwa. (Foto: Andreas Ricky/kumparan)
ADVERTISEMENT
Namanya Gendu Mulatif, seorang veteran yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah proklamasi dikumandangkan, rupanya Gendu merasa perjuangannya belum tuntas ketika melihat orang dengan gangguan jiwa berkeliaran, mengais sampah untuk dimakan di jalan.
ADVERTISEMENT
Bagi Gendu, kemerdekaan belum benar-benar didapatkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berbekal semangat, tahun 1984 Gendu membangun sebuah yayasan khusus yang merawat orang-orang dengan gangguan kejiwaan. Hingga hari ini, 7 tahun setelah kematian Gendu, Yayasan Galuh masih aktif memberikan kemerdekaan bagi penyandang gangguan jiwa.
"Saat itu kakek memutuskan untuk merawat orang-orang yang sakit jiwa. Kakek menilai, orang sakit jiwa juga pantas merdeka," ujar cucu Gendu, Jajat Sudrajat, yang kini menjabat sebagai Kepala Perawat Yayasan Galuh, di Yayasan Galuh di kawasan Rawalumbu, Bekasi, Rabu (14/2).
Yayasan Galuh, Panti Rehabilitasi Orang Sakit Jiwa (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yayasan Galuh, Panti Rehabilitasi Orang Sakit Jiwa (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Meski sudah lama didirikan, namun Yayasan Galuh membutuhkan waktu 10 tahun hingga akhirnya resmi menjadi organisasi. Itu pun butuh perjuangan ekstra. Perjuangan mereka yang tidak biasa, awalnya mendapat banyak respons negatif dari masyarakat sekitar.
ADVERTISEMENT
"Awalnya datang ejekan dan penolakan dari warga sekitar. Karena menurut mereka, kami ini menampung orang gila. Pelan-pelan, dengan sabar kami sembuhkan orang, kami bantu pemerintah. Dari mulut ke mulut, yayasan kami akhirnya mulai diakui," kisah Jajat.
Usaha mereka tak sia-sia. Perjuangan Yayasan Galuh pun mendapat apresiasi tinggi dari pemerintah. Pada 9 Februari 2011, yayasan ini mendapat piagam Satya Lencana Kebaktian Sosial dari pemerintah.
Kini, yayasan yang terletak di Jalan Bambu Kuning IX, Rawa Lumbu, Kota Bekasi, ini sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Yayasan ini bahkan cukup lengkap dengan bangunan kantor dan mess untuk perawat dan staf, aula yang bisa dijadikan ruang makan, dan sebuah bangunan besar dengan teralis besi untuk menampung warga binaan.
ADVERTISEMENT
Yayasan Galuh, penampungan orang sakit jiwa. (Foto: Andreas Ricky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yayasan Galuh, penampungan orang sakit jiwa. (Foto: Andreas Ricky/kumparan)
Meski terkena gangguan jiwa, namun bukan berarti warga binaan di Yayasan Galuh hanya diam saja. Jajat menjelaskan, ada beberapa kegiatan rutin yang cukup padat dilakukan oleh 430 warga binaan Yayasan Galuh sejak pagi setiap harinya.
"Pukul 06.00 WIB senam pagi, kemudian menuju pukul 07.00 WIB sarapan di ruang makan, kemudian dimandikan. Setelah itu siang hari, makan siang pukul 12.00 WIB, pukul 15.00 WIB ada senam, mandi dan pelatihan keterampilan. Kemudian diusahakan pukul 22.00 WIB sudah tidur," ujar Jajat.
Seluruh warga binaan tersebut, menurut Jajat, dibagi menjadi 3 kelas berbeda. Ada kelas 40, kelas 50, dan kelas 60, yang dibedakan dari tingkat kesadaran warga binaan.
"40 Berarti warga yang sudah bisa diajak komunikasi, tapi kebersihan mereka kurang. Kemudian 50, mereka mulai santai diajak komunikasi tapi kebersihan masih kurang. Kalau 60 mereka sudah bisa komunikasi dengan baik, dan kebersihan mulai terjaga pula," jelas Jajat.
Yayasan Galuh, Panti Rehabilitasi Orang Sakit Jiwa (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Yayasan Galuh, Panti Rehabilitasi Orang Sakit Jiwa (Foto: Andreas Ricky Febrian/kumparan)
Di Yayasan Galuh, mereka menampung semua penderita gangguan kejiwaan dari berbagai latar belakang. Tidak hanya yang dititipkan oleh keluarga saja, tetapi juga hasil jaringan dari Satpol PP dan Polisi.
ADVERTISEMENT
"Untuk biayanya bervariasi dan di sini kami menerapkan sistem subsidi silang, jadi saling bantu," ungkapnya.
Terlepas dari semua itu, bagi Jajat, mengurus Yayasan Galuh bukanlah sebuah profesi, namun sebuah panggilan hati. Baginya, tempat yang didirikan oleh almarhum kakeknya ini merupakan sebuah warisan yang harus ia jaga dengan baik.
"Ini panggilan, amanah dari kakek untuk meneruskan tempat ini. Saya adalah generasi ke-3 dan saya akan tetap rawat mereka. Mereka juga manusia, tidak ada bedanya dengan kita," tegas Jajat.