Kisah Zalzam, Anak Penjual Cilok yang Butuh Gawai untuk Sekolah Daring

20 September 2020 11:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Zalzam (7) Siswa SD yang melakukan PJJ dengan 1 gawai yang dipakai sekeluarga.
 Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Zalzam (7) Siswa SD yang melakukan PJJ dengan 1 gawai yang dipakai sekeluarga. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Pandemi corona menambah beban Sunahria dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Kesehariannya berjualan cilok dengan sang suami hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok.
ADVERTISEMENT
Saat situasi normal, suami Sunahria mengajar di sebuah madrasah sebagai guru honorer. Karena dirumahkan, sumber penghasilannya hanya bergantung pada berjualan cilok.
Kini, kedua anaknya yang masih duduk di tingkat Sekolah Dasar (SD) membutuhkan gawai untuk sekolah daring di rumah.
Gawai yang dimiliki Sunahria hanya satu, digunakan untuk suami, dirinya dan juga kedua anaknya, Muhammad Rahmatullah (9) dan Ahmad Zalzami (7).
Dengan penghasilan yang kian menurun akibat pandemi, Sunahria tidak mampu membeli gawai baru untuk membantu kelancaran sekolah daring anak-anaknya.
"Pendapatan musim gini anjlok, enggak nentu. Kadang jualan dari pagi sampai sore dapat Rp 100 sampai Rp 150 ribu, itupun belum balik modal. Padahal sebelum pandemi bisa dapet 1 juta," ungkapnya kepada kumparan, Jumat (18/9).
ADVERTISEMENT
Keluarga Sunahria menetap di sebuah kontrakan, hanya ada satu kamar dan ruang tamu yang juga dijadikan tempat Rahmat dan Zalzam tidur. Sedangkan Sunahria dan suami tidur dengan anak ketiganya yang masih balita.
Keluarga Zalzam. Foto: Dok. Istimewa
Rahmat dan Zalzam juga harus melakukan adaptasi baru di tengah masa Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat ini, karena fasilitas belajar di rumah kurang memadai seperti di sekolah.
Selain itu, dia mengaku, anak-anaknya tidak terbiasa bermain gawai, sehingga merasa kesulitan untuk mengerjakan soal dari layar tersebut. Untungnya, ada tetangga yang bersedia memberikan papan tulis bekas.
"Anak-anak juga masih kecil, belum cukup umur buat pegang hp. Kalau ada soal dari ibu guru, saya tulis di papan kerjain di papan terus difoto, kirim. Dan itu harus ganti-gantian karena hp-nya juga cuma satu," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Beban keluarga Sunahria di tengah pandemi tidak sampai di situ, dia harus menanggung biaya kuota yang jumlahnya tidak sedikit. Dalam sebulan bisa mencapai Rp 200 ribu.
"Kuota sebulan Rp 200 ribu, pelajaran bukanya banyak video. Alhamdulillah dapet bantuan kuota beberapa kali, tapi handphone masih ganti-gantian," ujarnya.
Sunahria berharap pandemi dapat segera berlalu, sehingga penghasilannya berdagang cilok bisa kembali cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, seperti membayar kontrakan dan sekolah anak-anaknya.
"Pengennya corona cepet-cepet selesai, tapi di samping rumah udah kena lagi dijemput ambulans. udah ada 7 orang di lingkup rumah saya. Tapi di sisi lain, kalau saya khawatirin terus kita enggak bisa kerja, enggak bisa makan," tuturnya.
==
Kisah di atas merupakan sedikit gambaran mengenai realitas peserta didik dalam menjalani proses pembelajaran jarak jauh saat ini. Di luar sana masih banyak anak lain yang bernasib serupa dan bahkan lebih memilukan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu melalui campaign #BisaSekolah #UnitGawaiDarurat yang merupakah hasil kolaborasi antara kumparanDerma, Kitabisa dan GREDU kami mengajak kita semua untuk bersama-sama membantu kegiatan belajar mengajar dengan baik di masa PJJ seperti ini tanpa perlu khawatir mimpi mereka pupus dikarenakan ketersediaan gawai atau fasilitas penunjang lainnya yang kurang di rumah mereka masing-masing.
Mari donasi sekarang