Kisruh Organisasi Penggerak Kemdikbud: Biaya Mandiri Yayasan vs Dana untuk Ormas

24 Juli 2020 7:17 WIB
comment
18
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mendikbud Nadiem Makarim. Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mendikbud Nadiem Makarim. Ilustrasi: Indra Fauzi/kumparan
Program Organisasi Penggerak yang seharusnya menjadi terobosan Kemendikbud era Nadiem Makarim justru berujung kisruh. Muhammadiyah dan NU mundur dari program itu. Sederet kejanggalan mencuat. Misalnya: kenapa ada yayasan milik konglomerat yang masuk, sementara seleksi program ditujukan untuk ormas? Apakah yayasan dan ormas sama?
Dan bila yayasan tersebut menggunakan dana mandiri, kenapa soal itu tak tercantum dalam aturan Kemendikbud dan tak dipaparkan gamblang kepada publik di awal program?
Awal Maret 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan Program Organisasi Bergerak. Anggaran negara senilai Rp 595 miliar per tahun akan digelontorkan untuk organisasi-organisasi kemasyarakatan di sektor pendidikan yang terpilih.
10 Maret, hanya dalam sepekan, 3.333 organisasi sudah mendaftar. Sepanjang Maret sampai Juni, penyaringan berlangsung. 16 Juli, proses seleksi oleh tim evaluasi independen The SMERU Research Institute rampung dan hasilnya diserahkan ke Kemendikbud. 19 Juli, Kemendikbud mengumumkan 156 ormas pendidikan lolos seleksi.
21 Juli, keributan pecah. Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Muhammadiyah—yang lolos seleksi—menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak. Dalam keterangan tertulisnya, Majelis Dikdasmen Muhammadiyah menyebutkan beberapa alasan.
Salah satunya karena merasa “... tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud RI.”
Alasan lain yang lebih menyedot perhatian adalah karena “Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas; tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah.”
Muhammadiyah juga meminta Kemendikbud untuk “meninjau kembali” surat Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan tanggal 17 Juli 2020 yang memuat nama-nama organisasi yang lolos Program Organisasi Penggerak.
Sehari kemudian, 22 Juli, Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama menyusul mundur dari Program Organisasi Penggerak. Ia mengeluarkan pernyataan senada seperti Muhammadiyah, bahwa “Hasil seleksi calon organisasi penggerak tidak mencerminkan konsep dan kriteria yang jelas.”
Alhasil, menurut LP Ma’arif NU, “... tidak ada pembeda dan klasifikasi antara lembaga CSR (corporate social responsibility) dengan lembaga masyarakat yang layak dan berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah).
Secara prinsip, alasan pengunduran diri Majelis Dikdasmen Muhammadiyah dan LP Ma’arif NU sama persis. Mereka mempertanyakan: kenapa ada lembaga CSR menyusup masuk?

Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation: Apakah Yayasan = Ormas?

Sukanto Tanoto dan istri, pendiri Tanoto Foundation. Foto: Dok. Tanoto Foundation
Dua organisasi mengemuka di puncak keriuhan: Yayasan Bhakti Tanoto (Tanoto Foundation) dan Yayasan Putera Sampoerna (Sampoerna Foundation).
Apakah kedua organisasi itu ormas?
Kritik datang dari Ketua Komisi X Bidang Pendidikan DPR RI, Syaiful Huda. “Dua entitas ini masuk kategori Gajah yang bisa mendapatkan hibah Rp 20 miliar per tahun,” ujar politisi PKB yang Nahdliyin itu.
Menurutnya, yayasan-yayasan milik perusahaan-perusahaan raksasa seharusnya punya program sendiri untuk memberdayakan masyarakat sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), bukannya malah menerima anggaran negara untuk berkegiatan.
Namun, baik Tanoto Foundation maupun Sampoerna Foundation menegaskan: yayasan mereka bukan lembaga CSR.
Tanoto Foundation, menurut situs resminya, adalah sebuah organisasi filantropi independen yang didirikan oleh pasangan miliarder Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto.
Sukanto, salah satu pengusaha terkaya di Indonesia, ialah pemilik korporasi Royal Golden Eagle yang membawahi sekelompok perusahaan manufaktur berbasis sumber daya alam seperti APRIL Group dan Asia Symbol (industri pulp dan kertas), Asian Agri dan Apical (industri kelapa sawit), Bracell (selulosa khusus), Sateri dan Asia Pacific Rayon (serat viscose), serta Pacific Oil & Gas (energi).
Seperti tercantum dalam website perusahaan, sampai sekarang Sukanto Tanoto menjabat sebagai Chairman Dewan Manajemen Eksekutif Royal Golden Eagle.
Tanoto Foundation bermula pada 1981, ketika Sukanto dan Tinah membangun TK dan SD di Besitang, Langkat, Sumatera Utara.
TK Raja Garuda Mas di Langkat milik Tanoto Foundation. Foto: Dok. Tanoto Foundation
Sementara Sampoerna Foundation, seperti dikutip dalam laman yayasannya, berdiri sebagai organisasi sosial. Pada 2015, ia bertransformasi menjadi institusi bisnis sosial yang bergerak di bidang pendidikan.
Kegiatan Sampoerna Foundation. Foto: Dok. Sampoerna Foundation
Apakah mereka organisasi filantropi atau organisasi bisnis sosial, yang jelas Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation—seperti namanya: foundation—ialah yayasan. Dan yayasan secara hukum berbeda dengan ormas.
Ormas, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, adalah “organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.”
Sedangkan yayasan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, adalah “badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.”
Memang kenapa kalau yayasan? Apakah yayasan tidak bisa ikut Organisasi Penggerak?
Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Pemerintah untuk Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan—yang menjadi acuan evaluasi proposal Program Organisasi Penggerak—tidak mengatur bantuan untuk yayasan, melainkan untuk ormas.
Terdapat 10 syarat umum bagi penerima bantuan, di antaranya: memiliki struktur kepengurusan ormas, dan memiliki nomor pokok wajib pajak atas nama ormas.
Dan definisi ormas dalam Peraturan Sekjen Kemendikbud No. 3/2020 tersebut persis seperti yang tertera dalam UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Persyaratan Penerima Bantuan Program Organisasi Penggerak. Foto: Dok. Kemendikbud
Oleh sebab itu pertanyaannya adalah: apakah yayasan = ormas?
Kalau bantuan memang ditujukan kepada semua organisasi tanpa melihat kategorisasi khusus, mengapa memilih diksi “ormas” pada Peraturan Kemendikbud?

Dana Mandiri dan Pendamping: Kenapa Tak Tercantum dalam Peraturan Kemendikbud?

Tanoto Foundation menegaskan tak mendapat kucuran duit negara sedikit pun dalam menjalankan Program Organisasi Penggerak, sebab mereka memilih skema dana mandiri.
“Kemendikbud menyediakan pilihan kepada ormas untuk membiayai pelaksanaan POP (Program Organisasi Penggerak) secara mandiri dan/atau mengajukan permohonan pendanaan kepada pemerintah,” kata Direktur Komunikasi Tanoto Foundation, Haviez Gautama. Untuk itu, yayasannya telah menyediakan dana Rp 50 miliar.
Direktur Program Pendidikan Dasar Tanoto Foundation, Ari Widowati, mengiyakan. Menurutnya, Tanoto Foundation memasukkan pilihan pendanaan mandiri dalam proses pendaftaran Organisasi Penggerak.
Berdasarkan video “Tutorial Penyampaian Proposal Program Organisasi Penggerak” yang diunggah Kemendikbud di YouTube pada 28 Maret 2020, memang terdapat pilihan “sumber dana dari program bantuan pemerintah” dan “sumber dana mandiri”.
Organisasi juga diminta mencantumkan sumber dana dari lembaga donor atau pihak lain yang mungkin bekerja sama dengannya.
Tutorial Penyampaian Proposal Program Organisasi Penggerak mencantumkan pilihan "dana mandiri" pada sumber anggaran. Foto: Kemendikbud
Sampoerna Foundation mengatakan memilih skema dana pendampingan (matching fund) dalam proposalnya. Artinya, sebagian memakai dana mandiri dan sebagian lagi dari bantuan pemerintah.
“Organisasi dapat menanggung penuh atau sebagian biaya program yang diajukan,” kata Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Iwan Syahril, dalam keterangan tertulisnya kepada media, Kamis (23/7).
Skema dana mandiri dan pendampingan tersebut tak tercantum dalam Peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 3 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Penyaluran Bantuan Pemerintah untuk Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan, meski terlihat dalam lembar proposal yang harus diisi organisasi.
Dirjen GTK Kemendikbud Iwan Syahril yang dihubungi kumparan untuk memperjelas hal ini, belum merespons.
Jimmy Paat, pengamat pendidikan UNJ, berpendapat persoalannya bukan terletak pada apakah yayasan-yayasan besar itu menggunakan dana mandiri atau setengah mandiri.
“Orang-orang lebih mempertanyakan mengapa yayasan besar masih ikut begituan (mengajukan proposal). Mereka kan sudah punya kegiatan pendidikan dan sudah bagus, buat apalagi ikut program pemerintah?” ujarnya.
Update: PGRI Menyusul Mundur dari Organisasi Penggerak Kemendikbud