Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sehan Salim Landjar berang dengan tata kelola bantuan pemerintah pusat di tengah masa pandemi COVID-19 . Bupati Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, itu menyoroti nasib warganya yang terdaftar sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH).
Mereka, berdasarkan aturan pemerintah pusat, tidak boleh menerima bantuan lain yang bersumber dari APBN. Survei Sehan ke lapangan menunjukkan besaran bantuan yang diterima warganya selama ini bervariasi antara Rp 50-200 ribu per keluarga.
Di sisi lain, pemerintah pusat menggelontorkan bantuan warga terdampak COVID-19 dengan standar bantuan Rp 600 ribu per keluarga melalui program Bantuan Langsung Tunai-Dana Desa dan Bantuan Sosial Tunai.
“Ini tidak adil cara berpikirnya,” kata Sehan kepada kumparan, Rabu (29/4). “Bagaimana orang yang mendapat uang sekecil itu (Rp 50-200 ribu) kemudian disamakan dengan yang BLT Rp 600 ribu. Ini akan terjadi kecemburuan sosial.”
PKH merupakan program bantuan reguler pemerintah pusat bagi keluarga miskin. Besarannya bervariasi tergantung parameter beban keluarga yang sudah ditetapkan Kementerian Sosial.
Menteri Sosial Juliari Peter Batubara mengatakan, kebijakan satu bantuan pusat untuk satu penerima itu demi menjamin akuntabilitas. Masalahnya, Sehan mendapat banyak keluhan dari warga penerima PKH. “Ada yang mengeluh sudah lima tahun tercatat PKH, enggak pernah mendapat bantuan.”
Problem lainnya, pemerintah daerah kesulitan mengontrol pencarian PKH. Mekanisme pencairannya langsung dari Kemensos ke penerima bantuan, tanpa melibatkan pemerintah daerah. Sehan menyebut bantuan PKH sebagai “program siluman”.
Tak cuma soal tata kelola bantuan dari pusat, Sehan juga mengeluh soal aturan pemerintah pusat yang berubah-ubah. Sejak 23 Maret, Bolaang Mongondow Timur mulai membatasi mobilitas warganya.
Sehan berusaha mengalokasikan anggaran untuk membeli sembako bagi masyarakat yang perekonomiannya melambat akibat kebijakan itu. Ia menggeser sejumlah pos di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, salah satunya dana desa.
Sejumlah kabupaten dan kota di Sulawesi Utara, menurutnya, juga melakukan hal serupa. Dua hari berselang, Menteri Desa Abdul Halim Iskandar mengeluarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020, yang hanya mengizinkan dana desa digunakan untuk kegiatan padat karya dalam penanganan COVID-19.
Sehan terpaksa memerintahkan jajarannya mengutak-atik anggaran mengikuti arahan yang diteken 24 Maret tersebut. Tiba-tiba, sepekan berselang, aturan berubah, tepatnya pada 2 April.
Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 2020 yang memungkinkan daerah menggunakan dana desa untuk jaring pengaman sosial kepada warga terdampak COVID-19. Kabupaten Boltim kembali merevisi APBD.
Sehan sedikit cemas, lantaran instruksi Mendagri berbeda dengan edaran Mendes. Terlebih, belum ada petunjuk teknis dalam instruksi Mendagri.
“Tapi karena ini darurat, kita lakukan dulu seperti keinginan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Sehan.
Pada 14 April, Menteri Desa baru meneken Permendes 6/2020 yang mengizinkan dana desa digunakan untuk bantuan sosial di tengah pandemi. Sehan mengatakan, sengkarut aturan yang tidak harmonis membuat daerah tidak lincah bergerak merespons dampak pandemi.
Bukan hanya masalah tata kelola, koordinasi bantuan di masa pandemi COVID-19 juga berantakan hingga tingkat desa. Senin siang (27/4), tiga orang Ketua RT dan RW mendatangi ruang kerja Indra Zainal Alim.
Para tamu memberondong Kepala Desa Jalan Cagak, Subang, Jawa Barat, itu. Mereka mempertanyakan pernyataan Kepala Dinas Sosial Subang, Deden Hendriana, bahwa penerima bansos akan mengacu data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).
“Saya sadar bakal dihujat warga,” kata Indra kepada kumparan, Kamis (30/4).
Pertengahan April lalu, Indra mengerahkan ketua RT/RW untuk mendata warga terdampak COVID-19. Instruksi itu didasarkan pada Surat Kepala Dinas Sosial Subang Nomor SS 02.03/878/PFM/2020.
Warkat tersebut merupakan tindak lanjut atas edaran Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 443/1863/Dinsos bertarikh 9 April 2020 mengenai pendataan warga untuk menunjang jaring pengaman sosial.
Berdasarkan pendataan, dari total 3.054 kepala keluarga di Desa Jalan Cagak, hampir 1.500 di antaranya terdampak pandemi COVID-19. Mereka masuk kategori miskin baru. Jumlah itu menambah daftar 560 KK di Desa Jalan Cagak yang lebih dulu masuk kategori tidak mampu sebelum pandemi.
Kabar penggunaan data DTKS sebagai basis pemberian bantuan membuat para ketua RT/RW kecewa. Padahal mereka sudah mengebut pengumpulan data warga miskin baru yang muncul akibat pandemi COVID-19.
“Kami begadang dua hari, lembur sampai jam satu pagi,” kata Indra.
DTKS merupakan pangkalan data yang dikelola Kementerian Sosial. Isinya: daftar warga tidak mampu yang belum masuk penerima bantuan dari pemerintah. DTKS berfungsi semacam daftar tunggu warga penerima bantuan.
Bila terjadi perubahan formasi dalam daftar penerima bantuan pemerintah, maka akan digantikan warga yang namanya masuk DTKS. Setiap tiga bulan sekali, data tersebut diperbarui oleh operator desa.
Senin itu, keriuhan juga muncul di grup WhatsApp aparat desa se-Kabupaten Subang sejak pagi. Kebingungan seputar data penerima bantuan, kata Indra, menjadi topik perbincangan para kepala desa.
“Mereka kebingungan, bagaimana lagi pendataannya. Awalnya manis omongannya, ujungnya begini,” ungkap Indra.
Ketidakjelasan acuan data membuatnya jengkel. Ia memprotes buruknya koordinasi melalui sebuah video. Rekaman itu kemudian menyebar di media sosial.
Indra menegaskan, hanya menyampaikan aspirasi warga dan kepala desa di Subang. Pria yang hampir satu setengah tahun menjadi kades ini berharap pemerintah, dari pusat hingga daerah, berhati-hati dalam membuat kebijakan. Ia khawatir, aturan yang berubah-ubah akan membuat kondisi di lapangan ricuh.
Penggunaan data DTKS sebagai basis penetapan penerima jaring pengaman sosial merupakan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi. “Penerima bantuan pada DTKS diyakini keberadaannya berdasarkan NIK,” kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam keterangan persnya.
Belakangan, pemerintah pusat memberi kelonggaran. Muhadjir Effendy , Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, membuka peluang masuknya data penerima di luar DTKS. Data baru masyarakat yang terdampak pandemi akan diupayakan menjadi pembaruan data DTKS.
Bagi Robertus Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, kisruh bantuan di masa pandemi berpangkal pada masalah klasik: kebijakan yang tumpang tindih di tingkat pusat.
Tidak sinkronnya aturan pusat, menurut dia, sering dikeluhkan kepala daerah. Di lapangan, kondisi demikian bisa membuat daerah gelagapan. Terlebih, di masa pandemi yang butuh penanganan segera.
Dalam kasus seperti itu, adakalanya kepala daerah akan bermain aman. Mereka memilih menahan dana dan stok logistik yang dimiliki daerah. Sebab, kepala daerah dihadapkan pada pilihan dilematis antara ancaman hukum dan kebutuhan masyarakat.
“Kalau menahan dana, aman buat mereka, tapi enggak aman di depan masyarakat. Tapi kalau dibelanjakan, aman di depan masyarakat tapi belum tentu aman secara hukum,” papar Robert.
Dia berharap aparat pemeriksa keuangan dan penegak hukum duduk bersama. Mereka perlu merumuskan protokol pengawasan yang menjadi acuan penggunaan anggaran di masa pandemi.
“Jangan sampai kepala daerah-kepala desa merasa ditakut-takuti apalagi dikriminalisasi di antara belantara regulasi yang karut-marut,” ia berujar.
Robertus juga menyoroti metode pemerintah pusat dalam menyalurkan bantuan. Pendekatan yang digunakan, menurutnya, masih menggunakan cara konvensional seperti di saat situasi normal. Padahal, situasi sedang tak normal.
“Setiap kementerian kan bawa uang sendiri-sendiri. Warga diklasifikasi berdasarkan jenis bantuan. Kalau (sudah dapat) PKH, enggak boleh BLT. Kalau sudah itu (PKH atau BLT, enggak bisa ikut program) padat karya. Setiap kementerian punya kriteria, padahal yang diurus sama—rakyat yang membutuhkan,” kata Robert.
Setiap jenis bantuan memiliki skema, besaran, dan target yang berbeda. Robert berpendapat, di masa pandemi tata kelolanya harus diubah.
Pemerintah harus lebih dulu mematok tingkat kecukupan untuk bertahan hidup di tengah pandemi. Dari hitung-hitungan itu, dibuat kriteria siapa saja yang berhak menerima bantuan.
Kemudian, lanjut Robert, semua jenis bantuan dikerahkan untuk memenuhi tingkat kecukupan hidup tadi. Ilustrasinya begini: misalkan pemerintah menentukan tingkat kecukupan hidup satu KK adalah Rp 600 ribu, maka setiap KK bisa menerima bantuan pemerintah pusat dari jalur mana pun hingga batas minimal kecukupan hidupnya itu terpenuhi.
“Semua bantuan bisa mengeroyok objek yang sama. Jangan kemudian bantuan yang punya kriteria sendiri, pintu masuknya berbeda-beda,” usul Robert.
Untuk itu, perlu satu simpul sehingga bantuan diterima warga melalui satu pintu. Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salam, sependapat soal ruwetnya tata kelola bantuan pandemi COVID-19.
Penyaluran bantuan campur aduk antara sumber anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dengan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Roy mendesak presiden mengkonsolidasikan bantuan bagi masyarakat. Sumber APBN dan APBD harus diramu dalam skema bantuan tunggal untuk COVID-19.
Dengan begitu, ujar Roy, birokrasi yang melibatkan banyak lembaga bisa dipangkas. Data penerima pun bisa disederhanakan di kriteria yang sama.
“Setop bansos rutin untuk bulan April sampai Juli, yang ada hanya bansos COVID. Apakah itu tunai, atau sembako atau dicampur, tapi intinya satu skema,” saran Roy.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona .
Yuk, bantu donasi atasi dampak corona.