Komnas HAM: Peran TNI Tak Perlu Diatur di RUU Terorisme

30 Mei 2017 20:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
TKP bom Kampung Melayu mulai sepi (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
TKP bom Kampung Melayu mulai sepi (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
Pelibatan TNI dalam revisi Undang-Undang Terorisme masih menjadi polemik. Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah menilai penambahan wewenang TNI tidak diatur di RUU Terorisme. Menurutnya, peran TNI cukup diatur di dalam Undang-Undang TNI.
ADVERTISEMENT
"Dalam hal ada perlu pelibatan TNI maka kemudian TNI mengikuti Undang-Undang TNI Nomor 34 tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 dan 3. Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat 2 dan 3 itu kan mengatakan ada operasi militer perang dan ada operasi militer selain perang," kata Roichatul di Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (30/5).
Pasal itu dinilai sudah cukup jelas mendudukkan posisi TNI di dalam menjalankan fungsi penindakan terorisme. Sehingga tidak lagi diperlukan instrumen lain dan cukup dengan mengikuti undang-undang tersebut.
Panglima TNI dan KSAD di Natuna (Foto: tniad.mil.id)
zoom-in-whitePerbesar
Panglima TNI dan KSAD di Natuna (Foto: tniad.mil.id)
"Operasi militer selain perang itu termasuk di dalam penanganan terorisme, nah mari kita ikuti itu. TNI boleh terlibat di situ. Ayat 3-nya mengatakan proses operasi militer selain perang pada TNI itu kemudian harus tunduk pada kebijakan dan keputusan politik negara. Kita ikuti prosedur itu," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Roichatul mengatakan jangan mencampuradukkan kewenangan TNI dengan Polri. Ia menegaskan bahwa penindakan tindak pidana terorisme berada dalam koridor kriminalisasi sistem.
Sehingga kewenangan Polri untuk melakukan penindakan tindak pidana terorisme dianggap sudah tepat.
"Kita dudukkan saja TNI di posisi sebagai TNI, dan polisi kita dudukkan sebagai polisi yang bertanggungjawab terhadap keamanan. TNI bertanggungjawab terhadap pertahanan. Ketika terorisme mengancam pertahanan maka TNI bisa terlibat. Lalu kemudian apa pelibatannya, prosedurnya ada di Undang-undang Nomor 34 tahun 2004," ujar Roichatul.
"Jadi jangan dicampuradukkan. Jadi solid di situ. Memang betul ini terrorism is a crime. Crime itu tindak pidana. Kalau it's a crime mari kemudian kita dekati dengan kriminalisasi sistem," sambungnya.
Ilustrasi Densus 88 (Foto: MN Kanwa/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Densus 88 (Foto: MN Kanwa/ANTARA)
Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 7 berbunyi:
ADVERTISEMENT
(1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,mempertahankan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. Operasi militer untuk perang.
b. Operasi militer selain perang, yaitu untuk:
1. mengatasi gerakan separatisme bersenjata;
2. mengatasi pemberontakan bersenjata;
3. mengatasi aksi terorisme;
4. mengamankan wilayah perbatasan;
5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
7. mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya;
8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai
ADVERTISEMENT
dengan sistem pertahanan semesta;
9. membantu tugas pemerintahan di daerah;
10. membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan
ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang;
11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing
yang sedang berada di Indonesia;
12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan
kemanusiaan;
13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta
14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap
pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan
politik negara.