Komunitas Konsumen Indonesia Somasi BPOM Terkait Gagal Ginjal Anak

27 Oktober 2022 13:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala BPOM Penny Lukito (kanan), saat konferensi pers tinjau pangan hasil pengawasan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala BPOM Penny Lukito (kanan), saat konferensi pers tinjau pangan hasil pengawasan. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Komunitas Konsumen Indonesia menduga ada potensi terjadinya kebohongan publik oleh BPOM terhadap pengumuman 133 nama sirop obat yang dinyatakan tidak menggunakan pelarut. Seperti Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol.
ADVERTISEMENT
Sebab, didasarkan atas registrasi awal bukan hasil pengujian laboratorium
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia Dr. David Tobing dalam keterangan tertulis pada Kamis (27/10), menyampaikan telah mengirimkan somasi berupa surat keberatan kepada BPOM ditembuskan kepada Presiden RI.
Beberapa hal terkait somasi kepada BPOM RI antara lain sebagai berikut:
Pertama, bahwa BPOM RI sebagai lembaga otoritas pengawas obat dan makanan telah lalai melakukan pengawasan pada pre-market dan post-market control.
Padahal sudah sangat jelas diatur (pada) Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan dan menyelenggarakan fungsi pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar
ADVERTISEMENT
Kedua, bahwa sehubungan dengan penanganan kasus gagal ginjal akut, BPOM RI telah terbukti lalai dalam melakukan pengawasan. BPOM RI tidak melakukan pengawasan terhadap produk yang telah teregistrasi secara maksimal. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan BPOM RI dalam press release-nya pada poin 3
Kan sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG.
Jadi terbukti pada saat registrasi obat, BPOM tidak melakukan pengujian terhadap kandungan apa saja yang ada pada obat dan percaya begitu saja dengan keterangan yang diberikan produsen obat.
Setelah kasus gagal ginjal merebak terhadap produk-produk yang telah diregistrasi dan dilakukan uji laboratorium oleh BPOM RI, ditemukan zat pelarut tambahan yang mengandung EG dan DEG, jadi sangat jelas bahwa BPOM telah kecolongan.
ADVERTISEMENT
KKI meminta semua industri farmasi yang memiliki sirup obat berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, untuk melaporkan hasil pengujian secara mandiri dan melakukan upaya mengganti formula obat dan/atau bahan baku adalah bentuk Maladministrasi.
Jelas sekali BPOM tidak melakukan post-market control secara aktif dengan melakukan pengujian obat secara berkala bahkan sejak registrasi pengujian obat diberikan kepada perusahaan farmasi.
Ini membingungkan, padahal BPOM RI memiliki kewenangan pengawasan obat dan makanan sehingga tindakan BPOM RI untuk melimpahkan post-market control kepada perusahaan farmasi adalah keliru dan tidak sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), yaitu Asas Kepastian Hukum dan Asas Profesionalitas karena pengujian produk sirup obat sebagai sediaan farmasi merupakan kompetensi atau kewenangan mutlak dari BPOM RI.
ADVERTISEMENT
Ketiga, tindakan BPOM RI menerbitkan Lampiran I Penjelasan BPOM RI Nomor HM.01.1.2.10.22.172 tertanggal 22 Oktober 2022 Tentang Informasi Kelima Hasil Pengawasan BPOM Terkait Sirup Obat yang Tidak Menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol diduga tidak berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan produsen maupun BPOM setelah merebaknya kasus gagal ginjal akut, namun hanya didasarkan registrasi obat yang telah dilakukan sebelumnya.
"Tindakan BPOM RI yang mengumumkan 133 obat yang tidak menggunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol berdasarkan registrasi berpotensi terjadinya kebohongan publik, karena seharusnya jika dikatakan tidak mengunakan Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol harus didasarkan pengujian secara menyeluruh yang dilakukan BPOM sendiri, bukan berdasarkan registrasi awal.
Seharusnya dalam rangka pengawasan post-market control, BPOM RI memiliki Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksanaan Teknis di Lingkungan Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan yang berbunyi: “Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan Pengujian Khusus Obat dan Makanan””.
ADVERTISEMENT
David juga merujuk pada Pasal 3 huruf g Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang berbunyi:
Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan, BPOM menyelenggarakan fungsi: g. pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan.
Untuk melaksanakan penindakan tersebut, BPOM RI harus melaksanakan sendiri pengujian dan tidak menyerahkan kewenangan kepada perusahaan farmasi.
Sudah jelas kok dinyatakan dalam Pasal 17 huruf b Pasal 16 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 30 Tahun 2019 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksanaan Teknis di Lingkungan Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan yang berbunyi:
ADVERTISEMENT
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Balai Pengujian Khusus Obat dan Makanan menyelenggarakan fungsi: b. pelaksanaan pengujian kimia, mikrobiologi, dan biologi molekuler dalam rangka investigasi dan/atau penyidikan Obat dan Makanan dalam lingkup nasional dan internasional.”
Sebagai penutup, BPOM RI harus melakukan pengujian ke seluruh produk yang telah mengeluarkan izin edar secara mandiri, termasuk mengumumkan kembali bahwa hasil uji produk obat sirup yang dilakukan oleh BPOM bukan merupakan hasil pengujian oleh produsen obat, serta menuntut BPOM RI meminta maaf kepada konsumen di Indonesia.