KPK Era Firli Bahuri Dkk Dinilai Terburuk Sepanjang Sejarah

30 Juli 2021 16:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lima pimpinan KPK periode 2019-2023. Foto: Nugroho Sejati/kumparan, Fanny Kusumawardhani/kumparan, Irfan Adi Saputra/kumparan, Antara Foto/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Lima pimpinan KPK periode 2019-2023. Foto: Nugroho Sejati/kumparan, Fanny Kusumawardhani/kumparan, Irfan Adi Saputra/kumparan, Antara Foto/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
KPK di bawah kepemimpinan Komjen Firli Bahuri seakan tak pernah lepas dari sorotan dan kritikan. Bahkan era Firli Bahuri ini dinilai sebagai kepemimpinan paling buruk sepanjang sejarah KPK.
ADVERTISEMENT
Saat ini Pimpinan KPK sudah masuk jilid V. Mereka ialah Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Lili Pintauli Siregar.
"Kepemimpinan terburuk dalam sejarah KPK," kata Ahli Hukum Pidana UI Ganjar Laksmana Bonaprapta dikutip dari akun Twitter pribadinya, Jumat (30/7). Ganjar mempersilakan kumparan mengutip cuitannya itu.
Pernyataan itu dilontarkan Ganjar bukan tanpa sebab. Ada sejumlah hal yang menjadi penilaiannya.
"Prosesnya penuh ‘dinamika’, mulai dari Pansel, proses pemilihannya itu sendiri, dan hasilnya/orang-orangnya," kata Ganjar yang juga dosen di Fakultas Hukum UI itu.
Pegawai KPK menggelar aksi unjuk rasa di kantor KPK, Jakarta, Jumat (6/9/2019). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Ia merujuk proses seleksi capim KPK periode 2019-2023. Pada saat itu sejumlah pegawai KPK menolak adanya capim yang bermasalah.
Diduga, merujuk pada Firli Bahuri yang dinilai melanggar etik ketika menjabat Deputi Penindakan KPK. Namun, Firli tetap melenggang mulus jadi Pimpinan KPK. Bahkan Komisi III DPR satu suara memilih mantan Kapolda Sumsel itu jadi Ketua KPK.
ADVERTISEMENT
"Komisioner yang terpilih, meski enggak semua, tapi penuh cacat etik sejak riwayat karier sebelumnya dan terbukti hingga saat setelah menjadi komisioner," kata Ganjar mengungkapkan alasannya yang kedua.
Ketua KPK Komjen Firli Bahuri di dalam sebuah helikopter. Foto: Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)
Hal ini merujuk pada Firli Bahuri yang langsung melanggar etik beberapa bulan setelah dilantik. Ia melanggar etik bergaya hidup mewah karena menggunakan helikopter saat ke Sumatera Selatan.
Kini, Lili Pintauli Siregar pun diduga melanggar etik. Ia diduga pernah berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di KPK.
Pihak yang dimaksud ialah Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial. Bahkan komunikasi yang dibahas diduga terkait kasus korupsi yang melibatkan Syahrial.
Saat ini, Dewas KPK menyatakan sudah ada cukup bukti untuk membawa Lili Pintauli menjalani sidang etik. Sidang yang akan digelar pada pekan depan itu akan membuktikan apakah Lili Pintauli melanggar etik atau tidak.
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
"Dari sisi profil dan kinerja, [KPK] jauh dari harapan publik," ujar Ganjar menyebut alasan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tuntutan dua mantan Menteri menjadi perhatian Ganjar dalam poin ini. Ia mengakui bahwa besar atau ringan tuntutan merupakan hal yang bisa diperdebatkan.
Namun, ia heran dengan tuntutan KPK terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang hanya 5 tahun penjara. Tuntutan yang hampir di ambang batas minimal 4 tahun penjara sesuai pasal yang dijeratkan KPK.
"EP yang sudah jelas hasil OTT dan temuan uang suap hasil pengembangan perkaranya relatif besar cuma dituntut 5 tahun. Padahal dia sibuk membantah," kata Ganjar.
Terdakwa korupsi bansos se-Jabodetabek tahun 2020 Juliari Batubara dan Terdakwa kasus suap izin ekspor benih lobster tahun 2020 Edhy Prabowo (kiri). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Tuntutan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara pun tak luput dari perhatian Ganjar.
"JB yang jelas korupsi bansos cuma 11 tahun. Yang makin aneh: JPU KPK enggak paham logika konversi antara pidana penjara dan denda di UU. JB dituntut 11 tahun penjara tapi dendanya Rp 500 juta. Harusnya Rp 550 juta," papar dia.
ADVERTISEMENT
Perihal tren tuntutan ringan KPK ini menurut Ganjar sudah sejak lama. "Sejak lama ada 1-2, sekarang makin masif," ujar dia.
Alasan terakhir Ganjar berpendapat bahwa pimpinan KPK saat ini ialah yang terburuk sepanjang sejarah ialah, "Di tangan mereka, KPK jadi bulan-bulanan."
Ia tidak menampik saat disinggung apakah polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menjadikan KPK sasaran kritik publik. Tes alih status pegawai KPK menjadi ASN itu memang sarat kontroversi.
Mulai dari soal dasar digelarnya TWK hingga hasilnya yang membuat 75 pegawai KPK tidak lulus. Para pegawai itu bahkan langsung dinonaktifkan Firli Bahuri dan sebagian di antaranya akan dipecat. Padahal, mereka ialah para pejabat struktural di KPK serta para penyidik dan penyelidik yang menangani kasus besar.
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK berfoto bersama usai audiensi dengan Komisioner Komnas HAM di Jakarta, Senin (24/5). Foto: M Risyal Hidayat/Antara Foto
Temuan Ombudsman pun menyatakan TWK bermasalah secara administrasi dan ada indikasi penyalahgunaan wewenang di dalamnya. Firli Bahuri pun dinilai tak patut menonaktifkan 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK.
ADVERTISEMENT
Ombudsman pun menyarankan KPK untuk turut melantik 75 pegawai itu menjadi ASN. Namun kini belum ada tindak lanjut dari KPK. Melalui juru bicaranya, KPK baru menyatakan akan mempelajari temuan Ombudsman itu.
"Jadi contoh dan preseden buruk untuk melawan atau setidaknya mengabaikan putusan hukum," ujar Ganjar mengungkapkan alasannya yang terakhir.
Diduga, ini terkait dengan TWK yang dinilai mengabaikan arahan Presiden Jokowi dan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi. Bahwa TWK hendaknya tak jadi alasan memecat 75 pegawai yang tak lulus. Serta peralihan status menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK.
Kedua hal itu dinilai diabaikan oleh KPK. Temuan Ombudsman pun menegaskan hal tersebut.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta mengikuti Focus Group Discussion membahas masa depan KPK dan Revisi UU KPK di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (17/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ganjar menambahkan, posisi Dewas KPK sebagai pengawas pun dinilai tidak bisa diharapkan. Bahkan ia mengaku sejak awal menolak keberadaan Dewas KPK.
ADVERTISEMENT
"Sejak awal kan saya menolak keberadaan Dewas. Jadi anggap enggak ada dulu. Lagipula bagaimanapun ada atau tidak Dewas tetap ada masalah di pimpinan/komisioner," ujar dia.
Pimpinan KPK periode 2019-2023 dan Dewan Pengawas KPK melambaikan tangan usai serah terima jabatan di Gedung KPK, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Terlebih, Dewas KPK dalam menjalankan tugasnya pun dinilai tidak sungguh-sungguh. Salah satunya ialah saat Dewas menilai tidak ada cukup bukti bahwa pimpinan KPK melanggar etik terkait TWK. Hal yang berbeda dengan temuan Ombudsman.
"Kalau liat tugas dan tanggung jawab Dewas, makin mengecewakan karena pelanggaran etik yang sudah kasat mata bisa lolos atau disanksi ringan aja," ujar Ganjar.
Ia pun berkomentar singkat saat disinggung apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan KPK, "Kayaknya sudah nyaris putus harapan pada orang-orang yang sama ya. Apa boleh buat mesti (dipaksa) mundur".
ADVERTISEMENT