KPK Layak Ambil Alih Kasus Terkait Djoko Tjandra dari Polri-Kejagung

4 September 2020 10:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra berjalan seusai menjalani pemeriksaan, di gedung Bundar Kompleks Gedung Kejakasaan Agung, Jakarta, Senin (31/8). Foto: Adam Bariq/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
KPK dinilai layak mengambil alih kasus-kasus yang terkait Djoko Tjandra. Saat ini, Kejaksaan Agung dan Polri yang menangani kasus-kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Untuk di Polri, ada dua kasus yang menjerat Djoko Tjandra. Salah satunya ialah dugaan suap dalam penghapusan red notice.
Penampilan perdana Irjen Napoleon usai ditetapkan tersangka. Foto: Dok. Istimewa
Dalam kasus ini, Djoko Tjandra menjadi tersangka pemberi suap bersama Tommy Sumardi. Sementara tersangka penerima suap ialah mantan Kadiv Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Kabiro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
Sementara di Kejaksaan Agung, Djoko Tjandra menjadi tersangka karena diduga menyuap jaksa. Sebagai tersangka penerima suap ialah Jaksa Pinangki bersama koleganya yang bernama Andi Irfan Jaya.
Jaksa Pinangki usai melakukan pemeriksaan. Foto: ANTARAFOTO/Galih Pradipta
Awalnya suap diduga terkait pengurusan Peninjauan Kembali Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Belakangan, terungkap bahwa yang diupayakan ialah pengurusan fatwa ke Mahkamah Agung agar Djoko Tjandra tidak bisa dieksekusi jaksa.
ADVERTISEMENT
Uang USD 1 juta disepakati untuk mewujudkan rencana itu. Separuh dari uang itu bahkan sudah diberikan.
"[KPK] Sangat layak untuk ambil alih keduanya, bukan cuma yang di Kejaksaan," kata Pakar Hukum Pidana sekaligus Dosen Fakultas Hukum dari Universitas Indonesia (UI), Gandjar Laksmana Bonaprapta, kepada wartawan, Jumat (4/9).
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar Laksamana Bonaprapta mengikuti Focus Group Discussion membahas masa depan KPK dan Revisi UU KPK di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Selasa (17/9). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menurut dia, KPK bisa langsung mengambil alih kasus tersebut tanpa perlu menunggu pelimpahan dari kedua institusi. Ia menyebut Pasal 10A UU KPK, khususnya huruf c dan e, bisa menjadi dasar lembaga antirasuah itu bisa mengambil alih.
Berikut bunyi pasalnya 10A:
Ayat (1): Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
ADVERTISEMENT
Ayat (2): Pengambilalihan penyidikan dan/atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
Huruf c: Penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
Huruf e: hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
Alasan lain KPK perlu mengambil alih kasus tersebut ialah untuk menjaga transparansi pengusutannya.
"Itu juga. Meskipun di UU KPK Nomor 19/2019 tidak ada lagi syarat “menarik perhatian publik” sebagaimana UU KPK Nomor 30/2002, tapi alasan transparansi, etika, dan akuntabel harus dikedepankan," tegas Gandjar.
Menurut dia, transparansi perlu dikedepankan untuk menjawab keraguan publik. Sebab saat ini, para penegak hukum itu mengusut kasus yang menjerat anggotanya sendiri. Yakni Polri mengusut dua pejabat tingginya, serta Kejaksaan Agung menjerat salah satu jaksanya.
ADVERTISEMENT
"Kejaksaan mengurus perkara di mana anggotanya yaitu PSM [Pinangki Sirna Malasari] jadi tersangka (meski ada tersangka lain), Polri mengusut perkara di mana anggotanya yaitu NB [Napoleon Bonaparte] dan PU [Prasetijo Utomo] jadi tersangka (meski juga ada tersangka lain). Tapi: Kejaksaan tidak mentersangkakan anggota Polri dan Polri tidak mentersangkakan Jaksa, padahal perkaranya satu paket dan akarnya sama: DT [Djoko Tjandra]," papar Gandjar.
"Penanganan terpadu oleh KPK akan menekan keraguam publik atas subjektivitas Polri dan Kejaksaan," imbuhnya.
Perihal transparansi itu, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango sempat menyinggungnya terkait kasus Jaksa Pinangki. Ia berpendapat kasus itu akan lebih baik jika ditangani KPK.
"Kepercayaan publik itu hal yang sangat penting. Tapi kalau memang merasa paling berwenang dan mampu melakukannya dengan baik dan transparan, ya silakan saja. Toh pada akhirnya, publik yang akan menilainya," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Kejaksaan Agung, mereka juga berwenang dalam menangani perkara tersebut.
Saat ini, penyidikan kasus red notice Djoko Tjandra di Polri serta kasus Jaksa Pinangki sudah hampir tuntas. Penyidik sudah menyerahkan berkas ke penuntut umum atau istilahnya tahap 1.
Jika nanti berkas dinyatakan lengkap tersangka dan barang bukti akan dilimpahkan dan segera disidangkan usai dakwaan disusun.
Namun bila dinilai berkas perkara masih kurang, penuntut umum akan mengembalikannya ke penyidik.