Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1

ADVERTISEMENT
Sidang gugatan praperadilan yang diajukan eks Sekretaris MA, Nurhadi, bersama dua tersangka lain dalam kasus mafia peradilan kembali digelar di PN Jakarta Selatan. Dua tersangka itu ialah menantu Nurhadi, Rezky Herbiyanto, dan Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto.
ADVERTISEMENT
Kali ini sidang untuk mendengar jawaban KPK terhadap gugatan Nurhadi dkk.
Dalam sidang itu, KPK menyebut Hiendra melarikan diri sejak 12 Desember 2019. KPK menyatakan hingga Selasa (14/1) ini, Hiendra tak diketahui keberadaannya.
"Tindakan pemohon III (Hiendra) selaku tersangka yang melarikan diri jelas-jelas tidak kooperatif. Mengingat yang bersangkutan telah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari termohon (KPK) tanggal 11 Desember 2019," kata anggota tim Biro Hukum KPK, Indah Oktianti, di PN Jaksel.
Menurut Indah, Hiendra bahkan meminta istrinya, Lusi Indriati, berbohong saat petugas KPK mendatangi rumahnya untuk menggeledah.
"Pemohon III (Hiendra) justru menghindar dan tidak mau pulang ke rumah serta meminta istri berbohong kepada termohon (KPK) menyampaikan posisi pemohon III berada di Maluku. Padahal yang bersangkutan sudah berada di Jakarta dan sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Sebagaimana manifes penumpang Garuda Indonesia (GA 649) dari Ternate ke Jakarta tanggal 12 Desember," jelas Indah.
Indah kemudian mencantumkan komunikasi WhatsApp (WA) antara Hiendra dan Lusi saat penggeledahan pada 12 Desember 2019. Berikut isinya:
ADVERTISEMENT
Lusi: yank cepet pulangg ada kpk di rmh.
Hiendra: km dmn.
Lusi: aku d rmh. Ini kpk byk orh mau ketemu kamu. Dia bilang km gak d tangkap.
Hiendra: Bilang di Maluku. Jelas.
Lusi: ga bol3h. hp ku sdh di pegang sm mrk. udah yank sini aja. yank. pulang lah. nih mau d gledah. byk org. km pulang. km pulang.
Hiendra: km ini bodoh. jangan bilang-bilang.
Lusi: hih hp di bc.
Selain itu, Heindra juga disebut meminta istrinya agar membawa kabur dokumen-dokumen yang berada di mobil. Lusi pun mengikuti perintah suaminya. Hal itu seperti yang dinyatakan Lusi secara tertulis:
Saya disuruh HIENDRA bawa dokumen di mobil tetapi saya tidak tau tujuannya kemana, pas saya mau pergi arisan saya bawa sekalian dokumen-dokumen tersebut.
Sejak kabur pada 12 Desember 2019, kata Indah, hingga kini Hiendra dan keluarganya tak lagi menghuni rumahnya yang berada di kawasan Sunter, Jakarta Utara.
ADVERTISEMENT
Sehingga menurut Indah, panggilan KPK untuk Hiendra sebagai saksi sebanyak 3 kali dan tersangka 1 kali, dititipkan kepada pengurus dan petugas keamanan setempat.
Surat panggilan dari KPK juga dititipkan kepada kantor kuasa hukum Hiendra, Hartanto Rajasa Hertanto Law Firm, yang berada di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
"Namun kuasa hukumnya telah menolak untuk menerima titipan surat panggilan yang ditujukan kepada pemohon III. Kuasa hukum pemohon III juga tidak memberitahukan kepada termohon perihal keberadaan pemohon III yang sejak tanggal 12 Desember 2019 telah melarikan diri. Meskipun pada tanggal 16 Desember 2019, pemohon III bersama-sama dengan kuasa hukum melakukan penandatanganan surat kuasa untuk permohonan praperadilan ini," jelasnya.
Sehingga menurut Indah, Hiendra tak masuk kriteria sebagai orang yang berhak mengajukan praperadilan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 tahun 2018. Dalam SEMA itu, tersangka yang melarikan diri atau dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) tidak dapat mengajukan praperadilan.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian, permohonan praperadilan yang diajukan oleh pemohon I (Rezky) dan pemohon II (Nurhadi) secara bersama-sama dengan pemohon III (Hiendra) selaku tersangka yang melarikan diri, mengandung cacat formil dan sudah sepatutnya permohonan praperadilan a quo ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard)," ucap Indah.
Dalam kasusnya di KPK, Nurhadi diduga menerima suap Rp 33,1 miliar dari Hiendra Soenjoto melalui Rezky Herbiyono. Suap itu diduga untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT yang berperkara di MA.
Nurhadi melalui Rezky juga diduga menerima janji 9 lembar cek dari Hiendra terkait perkara PK di MA. Namun diminta kembali oleh Hiendra karena perkaranya kalah dalam persidangan.
Sementara dalam kasus gratifikasi, Nurhadi diduga menerima Rp 12,9 miliar selama kurun waktu Oktober 2014 sampai Agustus 2016. Uang itu untuk pengurusan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA, serta Permohonan Perwalian.
ADVERTISEMENT