KPK Tetapkan Sjamsul dan Istrinya Jadi Tersangka Kasus BLBI

10 Juni 2019 16:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sjamsul Nursalim. Foto: Bagus Permadi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sjamsul Nursalim. Foto: Bagus Permadi/kumparan
ADVERTISEMENT
KPK menetapkan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim, dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka. Keduanya diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
ADVERTISEMENT
"KPK meningkatkan status penanganan perkara ke tingkat penyidikan dan menetapkan dua orang sebagai tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (10/6).
Sjamsul dan Itjih disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat ke 2 ke (1) KUHP.
Sebelumnya, dalam kasus ini, KPK baru memproses satu orang. Ia adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
Syafruddin sudah menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum 13 tahun penjara.
Hukumannya diperberat di tahap banding menjadi 15 tahun penjara dan sedang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Usai vonis Syafruddin tersebut, KPK membuka penyelidikan baru kasus itu. Terlebih, dalam vonis, hakim meyakini Syafruddin tak sendiri berbuat korupsi.
Terdakwa kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/8). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
KPK sudah memanggil Sjamsul dan Itjih untuk diperiksa. Namun keduanya tak pernah memenuhi panggilan dan pengacara menyebutkan bahwa kliennya sedang berada di Singapura.
Kasus ini bermula saat BDNI milik Sjamsul mendapat BLBI sebesar Rp 37 triliun yang terdiri dari fasilitas surat berharga pasar uang khusus, fasilitas saldo debet dan dana talangan valas. BDNI juga menerima BLBI sebesar Rp 5,4 triliun dalam periode setelah 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet.
Namun, BDNI diduga melakukan penyimpangan dalam penggunaan bantuan dana puluhan triliun tersebut. BPPN kemudian menetapkan BDNI sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum.
ADVERTISEMENT
Untuk menyelesaikan persoalan hukum tersebut, BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcusition Agreement (MSAA).
BDNI yang mengikuti MSAA itu menjaminkan aset berupa piutang petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Utang itu ternyata dijamin oleh dua perusahaan yang juga milik Sjamsul, PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Sjamsul menjaminkan hal tersebut sebagai piutang lancar. Namun belakangan diketahui bahwa piutang itu merupakan kredit macet.
Syafruddin dinilai terbukti menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan Sjamsul.
Setelah dihitung, didapatkan hak tagih utang dari para petambak plasma tersebut hanya sebesar Rp 220 miliar. Meski demikian, sisa utang BDNI yakni sebesar Rp 4,58 triliun belum dibayarkan.
ADVERTISEMENT
Sementara Syafruddin, yang menjadi Kepala BPPN sejak 22 April 2002, kemudian menandatangani surat dan malah menjelaskan bahwa Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban PKPS.
Perbuatan Syafruddin dinilai membuat Sjamsul mendapat keuntungan sebesar Rp 4,58 triliun. Hal tersebut pula yang kemudian dihitung sebagai besaran kerugian negara.