KSP: Sertifikasi Tanah Hanya Bagian dari Reforma Agraria

7 Januari 2019 12:28 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga menunnjukan sertifikat yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo di Samarinda, Kalimantan Timur. (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
zoom-in-whitePerbesar
Warga menunnjukan sertifikat yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo di Samarinda, Kalimantan Timur. (Foto: Dok. Biro Pers Setpres)
ADVERTISEMENT
Kritik atas laju program sertifikasi tanah Jokowi datang bertubi. Gunawan Wiradi misalnya, peneliti agraria sejak awal kemerdekaan Indonesia itu menilai program yang tengah berjalan sekarang bukanlah bentuk reforma agraria.
ADVERTISEMENT
“Silakan saja ambil kebijakan agraria, tapi jangan klaim itu reforma agraria,” ujar kakek berusia 86 tahun tersebut ketika berbincang dengan kumparan, Senin (24/12/2018).
Baginya yang diutamakan dalam reforma agraria adalah penataan ulang struktur kepemilikan tanah terlebih dulu dan memiliki dasar ideologi yang jelas. Sehingga semua turunan kebijakan mengarah pada satu muara yang sama, keadilan dan kesejahteraan untuk rakyat.
Di sisi lain, apresiasi pun dialamatkan atas berbagai kebijakan agraria yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi. Misal atas keluarnya Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
“Ini merupakan satu langkah maju dibandingkan (program-program) rezim sebelumnya,” ujar Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, ketika ditemui kumparan pasca peluncuran Catatan Akhir Tahun KPA di Kemang, Jakarta Selatan, Kamis (3/1).
ADVERTISEMENT
Baginya sertifikasi tanah juga merupakan bagian penting dalam konteks reforma agraria. Oleh karena itu KPA tidak menolak sepenuhnya program sertifikasi tanah yang kerap digembar-gemborkan pemerintahan Jokowi.
Bagaimana sebenarnya rancangan program reforma agraria di era Jokowi ini? Apakah sekadar berakhir di pemberian sertifikat tanah? Adakah program lain yang dirancang untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan?
Demi menjawab segala tanya tersebut, kumparan berbincang dengan dua orang perwakilan Kantor Staf Presiden.
Pertama kami menemui Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas, Yanuar Nugroho, pada Kamis (20/12/2018) terkait skema besar program Reforma Agraria. Kedua, kami berkorespondensi melalui email dengan Usep Setiawan yang menjadi Penanggung jawab Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial sekaligus Ketua Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria pada awal Januari 2019.
ADVERTISEMENT
Berikut kutipan perbincangan kami bersama keduanya secara terpisah.
Yanuar Nugroho
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Banyak pihak menilai reforma agraria era Jokowi hanya fokus soal sertifikasi tanah saja. Sebenarnya seperti apa rancangan program ini secara keseluruhan?
Begini, sertifikasi tanah ini sebenarnya hanyalah bagian, bukan keseluruhan dari proses reforma agraria. Karena reforma agraria itu adalah proses redistribusi tanah. Yang mau disasar sebenarnya adalah keadilan. Jadi orang bicara ketimpangan penguasaan lahan.
Reforma agraria ini berjalan seiring dengan program Perhutanan Sosial. Yang satu namanya asset reform, yaitu tanah sebagai aset. Itulah mengapa disebut dengan reforma agraria.
Yang kedua program Perhutanan Sosial itu adalah bentuk access reform, memberikan akses kepada publik untuk menggunakan hutan selama jangka waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
Tapi masih banyak konflik agraria terjadi sementara sertifikasi tanah dianggap tidak jadi solusi?
Begini, yang disertifikasi dan diberikan kepada publik untuk asset-reform adalah status tanah yang sudah clear and clean. Jadi yang sudah bebas dari konflik.
Ini yang digenjot pemerintah karena banyak tanah yang sebenarnya tidak berkonflik dan bisa diberikan kepada rakyat.
KSP bukan lembaga hukum, kami nggak bisa mengatakan bahwa ini benar atau salah. Kami tidak bisa mengeluarkan sertifikat. Kami tidak bisa menjadi wasit. Tapi kami mendudukkan pihak-pihak yang berkonflik.
Maka sembari kita menyelesaikan konflik ini dan tentunya akan makan waktu karena sudah puluhan tahun dibiarkan, program sertifikasi berjalan.
Menurut saya, baru sekarang ini ada upaya boleh bilang cukup sistematis mulai dari pemetaan, pendataan, sampai dengan mengklasifikasi konflik. Itu semua dikerjakan di KSP. Tentu ini butuh waktu. Tetapi kalau menunggu konflik-konflik ini selesai baru melakukan sertifikasi, kelamaan.
ADVERTISEMENT
Reforma agraria ini terbagi atas beberapa skema. Sertifikasi sebagai bentuk legalisasi, kemudian pemberdayaan.
Bagi-bagi Sertifikat Tanah (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bagi-bagi Sertifikat Tanah (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Hingga saat ini kira-kira sudah 9,3 juta bidang tanah disertifikasi. Artinya dia dulu ada di situ, sudah mengusahakan tanah, tapi dianggap ilegal. Misalnya di tanah terlantar, ada masyarakat yang sudah hidup di situ puluhan tahun. Selama ini mereka dianggap tidak punya hak. Nah sekarang dilegalkan, diberi kepastian berupa sertifikat.
Sisi lain adalah pemberdayaan agar tanah atau lahan yang sudah mereka miliki dari hasil legalisasi ini bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi. Tanah ini dalam pengertian ekonomi adalah faktor produksi yang utama.
Memang bisa jadi agunan di bank, tapi yang utama sebagai faktor produksi. Banyak rakyat yang tidak punya akses ke sana, tidak punya aset. Dengan diberi tanah, diharapkan mereka kemudian bisa menggunakan tanah untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.
Natikem, pemilik tanah konflik Urut Sewu. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Natikem, pemilik tanah konflik Urut Sewu. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Yang ingin dicapai ini kan kesejahteraan dan isu ketimpangan penguasaan lahan ini adalah isu yang besar. Yang diupayakan pemerintah adalah ketimpangan penguasaan lahan ini dikurangi sedikit demi sedikit.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, reforma agraria ini berjalan beriringan dengan Perhutanan Sosial. Perhutanan Sosial memberikan hak kepada rakyat untuk mengakses hutan. Bisa didayagunakan, bisa diusahakan untuk penghidupan, memberikan akses kepada publik kepada masyarakat untuk menggunakan hutan selama 35 tahun.
Tujuannya apa? Memastikan hutan itu tidak beralih fungsi. Syaratnya jelas, nggak boleh ada penebangan. Kita tahu deforestasi itu masalah terbesar, dengan program perhutanan sosial ini kita ingin memastikan hutan dijaga.
Kedua, masyarakat yang mengakses hutan tidak lagi diburu rasa takut dikejar-kejar sipir hutan atau polisi hutan. Karena masyarakat sekarang sudah punya hak legal untuk menggunakan hutan.
Warga di lahan pertanian yang menjadi sengketa antara masyarakat dan TNI AD di Urutsewu, Kebumen. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga di lahan pertanian yang menjadi sengketa antara masyarakat dan TNI AD di Urutsewu, Kebumen. (Foto: Ardhana Pragota/kumparan)
Bagaimana dengan regulasi yang selama disebut tumpang tindih?
Terkait dengan kerangka hukum, ada tiga kerangka regulasi yang memayungi. Satu, Peraturan Presiden mengenai PPTKH, Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Nomor dua adalah Perpres Reforma Agraria. Yang ketiga adalah Inpres mengenai Moratorium Sawit.
ADVERTISEMENT
Jadi reforma agraria itu jangan dilihat sepotong-sepotong. Tujuannya bukan business as usual tetapi agar mempercepat proses distribusi tanah ini untuk rakyat. Jadi yang dikerjakan sekarang adalah membenahi.
Tanah yang bisa disertifikasi adalah Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Mekanismenya seperti apa?
Masing-masing pemerintah daerah itu punya RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Itu yang menjadi dasar bagi Kementerian ATR/BPN untuk mengeluarkan sertifikat.
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan masyarakat penerima Sertifikat Tanah untuk Rakyat di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Rabu (19/12/2018). (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo (tengah) berbincang dengan masyarakat penerima Sertifikat Tanah untuk Rakyat di Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Rabu (19/12/2018). (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Masalahnya, peta RTRW updatenya 5 tahun sekali. Seharusnya peta itu di-update setiap saat. Minimum setahun sekali. Kalau RTRW-nya benar maka ATR/BPN bisa melihat tanah ini bisa masuk dalam Tanah Objek reforma Agraria (TORA) atau tidak.
Jadi memang bukan proses, ada tanah, klik, lalu disertifikasi. Nah, itu yang membuat kita perlu hati-hati. Karena sekali sertifikat dikeluarkan pemerintah jangan sampai ada dispute.
ADVERTISEMENT
Kan nggak lucu, pemerintah memberi sertifikat dari program TORA, ternyata dalam beberapa waktu ada yang bilang, 'Nggak bisa itu tanah milik saya.'
Jadi itu alasan tanah yang berkonflik nggak masuk peta TORA?
Iya dong. Maka harus kita selesaikan dulu. Alasannya itu.
Usep Setiawan
Sertifikasi Tanah untuk Siapa? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sertifikasi Tanah untuk Siapa? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Kami sempat mendatangi UPT Arongo, Konawe Selatan. Di sana ada konflik lahan transmigrasi yang tumpang tindih dengan izin usaha PT. Merbau. Kasus lainnya menyoal lahan transmigrasi yang ternyata telah ditempati warga lokal di sana sehingga menimbulkan ketidakjelasan kepemilikan lahan. Bagaimana KSP membantu menengahi persoalan tersebut?
Ya, masalah tanah transmigrasi di UPT Arongo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara sudah kami dengar laporannya dari pimpinan organisasi masyarakat dari lapangan.
ADVERTISEMENT
Menindaklanjuti laporan masyarakat tersebut, tim KSP kemudian melakukan analisa kasus, mengkomunikasikan penanganan dan penyelesaian masalah tanah tersebut kepada pihak terkait, dalam hal ini Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi yang menangani transmigrasi, dan Kementerian ATR/BPN yang menangani agraria/pertanahan.
Dalam beberapa kasus transmigrasi yang dilaporkan masyarakat ke KSP, konflik juga kerap terjadi antara transmigran dengan penduduk lokal. Hal ini biasanya disebabkan proses perencanaan dan penetapan lahan yang kurang akurat. Misalnya, lahan yang diperuntukkan bagi transmigran ternyata sudah ada dalam penguasaan masyarakat lokal.
Di sini, peran Pemda Kabupaten sangat vital dalam mencari dan menetapkan kawasan transmigrasi yang masih kosong, atau sudah diselesaikan hak kepemilikannya dengan masyarakat lokal.
UPT Arongo, Konawe Selatan. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
UPT Arongo, Konawe Selatan. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Jadi akar masalahnya di mana?
ADVERTISEMENT
Kami melihat konflik agraria di Arongo, Konawe Selatan merupakan cermin dari perkawinan masalah transmigrasi dan masalah pertanahan sekaligus.
Tentu harapan masyarakat transmigrasi yang menjadi pendatang ke Arongo adalah bertujuan meningkatkan taraf hidup mereka. Harapan ini ternyata dihadapkan pada ketidakpastian hak atas tanah sebagai dasar kehidupan transmigran.
Belum lagi, munculnya klaim baru dari perusahaan perkebunan swasta menambah rumit persoalan.
Akar masalahnya, menurut saya ada pada perlakukan pemerintah yang belum optimal dalam penyediaan tanah bagi trasnimigrasi di masa lalu yang terus diwariskan sampai sekarang. Pemerintah sekarang serius ingin menyelesaikannya. Hal inilah, salah satu masalah yang disasar oleh Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Seperti apa tipe-tipe konflik agraria yang biasanya terjadi di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Mudahnya, tipe konflik agraria di Indonesia itu ada empat, yakni konflik antara: (1) Warga dengan perusahaan, (2) Warga dengan pemerintah, (3) Warga dengan perusahaan dan pemerintah, dan (4) Warga dengan warga.
Yang paling banyak dilaporkan masyarakat ke KSP adalah tipe konflik ke-3, yakni konflik yang memperhadapkan warga masyarakat dengan perusahaan yang ditopang kebijakan pemerintah.
Perusahaan di sini berupa swasta dalam dan luar negeri, maupun BUMN/D. Kebijakan pemerintah di berbagai sektor strategis, seperti: HGU perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, dan sebagainya.
Rapor Merah Konflik Agraria (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Rapor Merah Konflik Agraria (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Hambatan penyelesaian ratusan konflik agraria yang ada di Indonesia itu apa saja?
Hambatan utama dari penyelesaian konflik agraria di Indoesia selama ini adalah belum adanya suatu badan atau lembaga khusus untuk menangani dan menyelesaikan kasus yang biasanya lintas sektor. Keberadaan struktur dan pejabat pemerintah yang ada selama ini, masih nampak kesulitan dalam menyelesaikan kasus konflik agraria yang bersifat struktural dan lintas sektor.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hambatan lain yang juga sering menghambat penyelesaian kasus-kasus konflik agraria, misalnya: kurang kuatnya peran kelembagaan penyelesaian konflik agraria di pusat dan daerah, serta minimnya anggaran atau pembiayaan untuk menyelesaikan konflik agraria.
Sebagian kasus konflik agraria yang masuk lewat jalur pengadilan bisanya terlampau berat bagi warga dalam posisi sebagai korban. Biasanya warga sering dilemahkan, lalu dikalahkan di pengadilan karena hambatan pembuktian secara legal-formal atas kepemilikan tanahnya.
Sementara korporasi/perusahaan sebagai pihak yang berhadapan biasanya secara yuridis-formal lebih siap, lengkap dan kuat sehingga merekalah yang kerap muncul sebagai pemenangnya.
Sekarang ini, sudah ada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di semua level pemerintahan yang bertugas “menfasilitasi penanganan sengketa dan konflik agraria”. Karena sifat kelembagaan dari GTRA itu lintas sektor, seharusnya bisa mengatasi hambatan utama selama ini.
Aksi Petani Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mencor kaki dengan semen di depan Istana Negara, Jakarta, Jum'at (17/3/2017).  (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Petani Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, mencor kaki dengan semen di depan Istana Negara, Jakarta, Jum'at (17/3/2017). (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Solusi yang disiapkan untuk tanah-tanah berkonflik ini seperti apa?
ADVERTISEMENT
Merujuk Perpes No. 86/2018, penanganan konflik agraria ini menjadi kegiatan pokok dalam reforma agraria. Karenanya, penanganan konflik agraria menjadi salah satu tugas dan fungsi dari GTRA secara berjenjang.
Lebih lanjut, sedang disiapkan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN tentang mekanisme dan tata cara penanganan sengketa dan konflik agraria sebagia turunan dari Perpres No. 86/2018 ini. Menteri ATR/Kepala BPN dalam hal ini merupakan Ketua GTRA Pusat sebagai lembaga operasional yang menjalankan redistribusi, legalisasi, dan termasuk penanganan konflik agraria.
Setelah kasus konflik agraria ditangani oleh GTRA, dan dinyatakan selesai, maka tanah-tanah yang sebelumnya berkonflik tersebut langsung dijadikan sebagai tanah objek reforma agraria yang dapat diredistribusi dan dilegalisasi kepada rakyat.
Dengan demikian, penyelesaian konflik agraria yang dimaksud tidak hanya secara legal-formal tetapi bermakna sosio-kultural dan sosial-ekonomi untuk menjadikan tanah sebagai faktor produksi utama bagi kemajuan kesejahteraan rakyat.
ADVERTISEMENT
------------------------
Konflik agraria bak api abadi, dan hidup petani bukan perkara seksi. Adakah yang peduli? Simak Liputan Khusus kumparan: Sertifikasi Tanah untuk Siapa.
ADVERTISEMENT