KTT COP26, Seberapa Penting Lawan Perubahan Iklim?

1 November 2021 11:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jumpa pers soal COP26 oleh Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste di The Langham Jakarta, Kamis (28/10). Foto: Judith Aura/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jumpa pers soal COP26 oleh Kedutaan Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste di The Langham Jakarta, Kamis (28/10). Foto: Judith Aura/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo atau Jokowi tiba di Kota Glasgow, Skotlandia, pada Minggu (31/10) waktu setempat. Ia akan menghadiri KTT COP26 selama dua hari, yakni pada Senin (1/11) dan Selasa (2/11).
ADVERTISEMENT
KTT ke-26 COP, atau (Conference of the Parties) ke-26, adalah konferensi tingkat tinggi soal perubahan iklim yang akan dihadiri hingga lebih dari 100 negara dunia. KTT ini lebih lazim disebut dengan COP26.
Parties atau pihak yang dimaksud adalah 196 negara dan Uni Eropa penandatanganan pakta Konvensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) pada 1994 silam.
COP26 tahun ini diketuai oleh Inggris dan akan dilaksanakan hingga 12 November mendatang.
Penyelenggaraan KTT COP secara rutin seiring situasi di bumi yang semakin memburuk akibat perubahan iklim. Dampak nyata yang dapat dirasakan secara nyata adalah pemanasan global, cuaca ekstrem, badai, gelombang tinggi, hingga kekeringan.
Presiden Joko Widodo (ke dua dari kiri) melanjutkan lawatan kerja luar negerinya ke Glasgow, Skotlandia. Foto: BPMI Setpres/Laily RE
Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat terdampak. Mulai dari kenaikan permukaan air laut, tingginya risiko banjir, dampak buruk pada hasil panen akibat perubahan suhu dan curah hujan, hingga kerusakan ekosistem laut akibat naiknya suhu air laut.
ADVERTISEMENT
Inilah mengapa, COP26 sebagai upaya negara-negara dalam melawan perubahan iklim menjadi sangat penting.

Mengapa COP26 Menjadi Sangat Penting?

COP26 menjadi konferensi tahun kelima sejak COP21 tahun 2015. Pada tahun tersebut, tercapai suatu perjanjian yang sangat tergolong sangat langka: Paris Agreement atau Perjanjian Paris.
Kenapa terbilang langka? sebab selama 20 tahun berlangsungnya COP, pada tahun itulah seluruh negara sepakat untuk bekerja sama dalam membatasi suhu global.
Dikutip dari booklet COP26 Explained, pada 2015 seluruh negara di dunia sepakat membatasi kenaikan suhu rata-rata global hingga maksimal 1,5 hingga 2 derajat celcius.
Selain itu, mereka juga setuju untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan menyediakan dana untuk mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Ilustrasi Pabrik Foto: ANTARA FOTO/ Aji Styawan
Tercatat dalam Perjanjian Paris, setiap negara wajib menyerahkan rencana dan komitmen ambisius untuk mengurangi emisi pada 2030. Komitmen itu disebut dengan Nationally Determined Contributions (NDC). Komitmen tiap negara diperbarui setiap lima tahun sekali.
ADVERTISEMENT
COP26 tahun ini menjadi tahun pertama pembaruan NDC tiap negara, setelah COP tahun 2020 tertunda akibat pandemi corona.
Saat ini, komitmen-komitmen pengurangan emisi yang disampaikan masih belum mampu mencapai target maksimal 1,5-2 derajat celcius. Menurut Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins, pada 2030 suhu dunia bisa jadi melampaui 1,5 derajat.
“Sayangnya, sepertinya kita akan naik di atas 1,5 derajat pada tahun 2030. Saat ini, kita sedang menuju setidaknya antara 1,5 dan 2,7 derajat kenaikan suhu global rata-rata abad ini, kecuali ada pengurangan emisi yang signifikan dan segera,” kata dia dalam jumpa pers soal COP26 di The Langham Jakarta, Kamis (28/10).
Menurut Jenkins, kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat akan tetap membawa dampak yang buruk. Tetapi, angka tersebut menyediakan skenario yang setidaknya “tidak terlalu buruk” yang bisa dicapai oleh negara-negara dunia.
Gambaran dari Amazon mulai tahun 1500 hingga 2500. Foto: Lyon dkk., 2021/CC BY-ND
Dikutip dari Reuters, jika ingin membatasi suhu global pada angka 1,5 derajat celcius, emisi global pada 2030 harus bisa diturunkan hingga 45% dari total emisi pada 2010. Dunia pun harus mencapai emisi nol karbon netto pada 2050.
ADVERTISEMENT
Tetapi, jika melirik komitmen yang disampaikan negara-negara dunia saat ini, target ambisius tersebut tak akan tercapai. Justru, emisi global malah akan bertambah hingga 16% pada 2030.
Itulah mengapa pada COP26, negara-negara di dunia harus merancang kembali rencana untuk mengurangi emisi lebih jauh lagi.
Selain itu, COP26 juga harus menjawab tantangan dana yang tengah dihadapi dunia dalam melawan perubahan iklim.
Pada 2009 lalu, negara-negara maju berkomitmen untuk menyediakan USD 100 miliar (Rp 1.421 triliun) per tahun. Namun, mereka gagal memenuhi janji tersebut.
Negara berkembang atau berpendapatan rendah akan kesulitan dalam menghadapi perubahan ini, seperti dalam transisi menuju energi bersih. Oleh sebab itu, pada COP26 ini, negara-negara maju harus membentuk rencana baru dalam memastikan terpenuhinya dana tersebut.
ADVERTISEMENT

Komitmen Indonesia dalam COP26

Dikutip dari NDC Indonesia 2021 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, RI memasang target pengurangan emisi tak bersyarat hingga 29% dan target pengurangan emisi bersyarat hingga 41% dibandingkan skenario Business as Usual (BaU) pada 2030 mendatang.
Menteri LHK Siti Nurbaya dalam pertemuan COP-16 Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang digelar virtual di Jakarta. Foto: Dok. KLHK
Skenario Business as Usual (BaU) adalah skenario dasar tidak ada upaya pengurangan emisi sama sekali, jika dibandingkan kondisi saat ini.
Selain itu, di bidang perhutanan, Indonesia memasang target pemulihan lahan gambut sebesar 2 juta hektare dan rehabilitasi lahan terdegradasi hingga 12 juta hektare pada 2030.
Tak hanya itu, Indonesia juga berupaya mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap hingga 60% pada 2050 mendatang, dan bergerak menuju nol emisi netto pada 2070.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, batu bara dan bahan bakar fosil merupakan penyumbang emisi karbon yang sangat besar.
Inilah mengapa, Indonesia dan negara-negara di dunia mengejar target untuk menghentikan penggunaan bahan bakar ini, dan berpindah ke energi bersih.