Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
LBH Jakarta dan Kemanusiaan Tak Berbatas Identitas
19 September 2017 8:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Dua hari kelabu menyelimuti kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di Menteng, Jakarta Pusat. Akhir pekan lalu, Sabtu (16/9), ruangan lantai empat di Gedung LBH Jakarta menjadi tempat digelarnya seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966”--yang batal terlaksana karena dibubarkan polisi.
ADVERTISEMENT
Kepolisian beralasan tak menerima pemberitahuan awal atas materi seminar yang sensitif, pun khawatir dengan ancaman pembubaran oleh sejumlah kelompok masyarakat. Alhasil, seminar bubar seketika, diwarnai drama pemblokadean dan kepasrahan orang-orang sepuh para penyintas Tragedi 1965--yang sudah terlalu sering mengalami perlakuan demikian.
Tentu, langkah Kepolisian membubarkan kegiatan yang notabene diskusi ilmiah dianggap melukai demokrasi. Apalagi acara tersebut mengundang beberapa narasumber dari berbagai latar belakang keilmuan yang relevan dengan isu Tragedi 1965. Penyelenggara berkukuh, seminar itu bukan merupakan kegiatan menyuarakan pendapat di muka umum sehingga semestinya dapat diselenggarakan secara bebas.
“Inilah darurat demokrasi, inilah darurat negara hukum di mana kebebasan berpikir, berkumpul, kemudian menyatakan pendapat, lagi-lagi dikekang dan diberangus,” ujar Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alghiffari Aqsa.
ADVERTISEMENT
Esoknya, Minggu (17/9), LBH Jakarta memfasilitasi gagasan para aktivis hak asasi manusia dan demokrasi untuk menyelenggarakan kegiatan kesenian bertajuk “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi”. Acara ini ialah pentas kesenian untuk mengungkapkan rasa solidaritas atas kejadian hari sebelumnya.
Namun, lagi-lagi, kegiatan ini dituding berbeda oleh beberapa kelompok masyarakat. Mereka datang ke LBH Jakarta pukul 22.00 WIB, meminta acara dibubarkan. Kata “Ganyang PKI” diteriakkan oleh massa aksi. Silakan dengar sendiri betapa garang kata-kata itu diucapkan pada video berikut.
Kata “Darurat Demokrasi” pun bergema. Insiden dua hari berturut-turut di gedung LBH Jakarta dianggap menggores perjuangan penegakan HAM. Padahal selama ini, LBH menjadi simbol benteng terakhir bagi orang tertindas yang hak dan kebebasannya terenggut. Ini rumah berteduh mereka, tanpa membedakan latar belakang etnis, agama, dan golongan.
ADVERTISEMENT
“Hari ini yang diberangus tidak lagi di tempat-tempat lain, tapi tempat yang biasanya menjadi alternatif terakhir bagi teman-teman untuk mengadakan acara yang cukup aman dan tidak pernah dibubarkan,” ujar Alghiffari.
Bagi kalangan aktivis, Gedung LBH dianggap sebagai zona berteduh terakhir ketika perjuangan mereka mentok di hadapan penguasa. Sejak berdiri tahun 1970, sudah tak terhitung berapa kali LBH menjadi tempat bernaung bagi masyarakat yang membutuhkan.
Gedung ini menjadi etalase bahwa kemanusiaan tak mengenal batas-batas identitas yang sering memisahkan mereka. Sebagaimana tujuan LBH didirikan pada 26 Oktober 1970 oleh mendiang Adnan Buyung Nasution, advokat kawakan Indonesia, sebagai bantuan bagi masyarakat miskin dan kelompok tertindas untuk memperoleh hak dan keadilan.
“Aktivitas prodemokrasi, hak asasi manusia, dan seterusnya, siapapun yang punya masalah soal ketidakadilan dan pengungkapan kebenaran, silakan mengadu ke LBH,” ucap Alghiffari.
ADVERTISEMENT
Alghiffari dini hari itu mendampingi proses evakuasi 200 orang peserta kegiatan “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi”. Dan serangan dua hari berturut-turut itu membuatnya heran.
Dia sendiri tak sempat pulang hari itu karena sejak pagi hingga sore harus melakukan advokasi. “Kami pagi tadi ke Bogor, membela pondok pesantren yang akan ditutup karena dianggap teroris.”
Ia jelas tak habis pikir kelompok-kelompok yang menggereduk menyebut kantor LBH Jakarta sebagai sarang PKI. “Padahal kami menolak Perppu Ormas, menolak reklamasi Teluk Jakarta, menolak pelarangan jilbab.”
Selain bantuan hukum tanpa pandang bulu, pengacara-pengacara LBH aktif bergiat dalam kerja litigasi, dan memiliki komitmen kemanusiaan yang tak separuh-separuh.
LBH selalu memberikan ruang bagi gerakan demokrasi. Gedung itu menjadi saksi gerak maju demokrasi Indonesia sejak zaman Orde Baru hingga Reformasi.
ADVERTISEMENT
Ketika represi aktif dilakukan pemerintah Orde Baru, Gedung LBH Jakarta menjadi zona aman bagi para aktivis Reformasi yang dibayangi ganasnya aparat negara.
Hingga akhirnya Soeharto lengser 21 Mei 1998, LBH telah menjadi satu ekosistem berisi orang-orang yang berkomitmen tinggi pada demokrasi. Ia melahirkan beberapa lembaga yang hingga kini konsisten mengawal isu-isu strategis di Indonesia seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), dan gerakan perdamaian Baku Bae.
Gedung LBH Jakarta menjadi ruang bagi upaya memperjuangkan janji Reformasi. Diskusi tentang pelanggaran HAM masa lalu hingga kasus-kasus HAM baru yang muncul dituanrumahi oleh kantor LBH.
“Jadi, orang ngomong soal Timor Leste silakan di LBH. Orang ngomong soal Aceh silakan di LBH. Orang ngomong soal reformasi hukum, mendukung KPK, mendukung penguatan Mahkamah Konstitusi atau institusi negara, juga di LBH. Bgomongin soal pilkada langsung juga di LBH pusat gerakannya,” kata Alghiffari.
ADVERTISEMENT
Atas nama kemanusiaan pula LBH membuka pintunya terhadap isu Tragedi 1965. Bukan rahasia umum--meski kerap dibantah dengan segala dalil--bahwa angka korban Tragedi ‘65 begitu tinggi.
Amnesty Internasional menyebutkan 1 juta manusia dibunuh pada periode 1965-1966. Badan Intelijen Amerika Serikat, CIA, dalam laporannya menyebut angka korban dibunuh 500 ribu. Sarwo Edhie Wibowo yang pada masa itu menjabat Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite yang ditugasi menumpas orang-orang yang dituduh komunis, menyebut angka sedikitnya 3 juta. Sila simak ulasan detailnya pada artikel di bawah.
Diskusi tentang Tragedi 1965 bukan kali pertama dilakukan di LBH. Beberapa diskusi pernah dilangsungkan dalam berbagai bentuk, mulai diskusi ilmiah hingga pagelaran seni seperti Belok Kiri Festival yang pindah ke LBH dari Taman Ismail Marzuki.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga diwujudkan ketika LBH menjadi tempat pelaksanaan seminar. Forum ‘65 menyelenggarakan diskusi bertajuk “Pengungkapan Sejarah Tragedi 1965/66”.
LBH selama ini memang menjadi ruang aman untuk topik-topik sensistif seperti Papua, Tragedi 1965, konflik agraria, dan berbagai isu kemanusiaan yang tak mendapat tempat di tempat lainnya.
Meski banyak yang terusik dengan keberadaan acara di LBH, tidak pernah ada masalah berarti seperti pembubaran, baik oleh massa atau aparat. Hingga akhir pekan lalu ketika seminar “Pengungkapan Sejarah Tragedi 1965/66” dibubarkan dan acara seni “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” dikepung massa.
“Bayangkan jika diskusi secara akademis tidak lagi bisa diselenggarakan di negeri ini, di gedung yang isinya lawyer dan bersejarah, di mana semua orang merasakan bahwa inilah sanctuary atau rumah aman bagi mereka. Lalu di mana lagi diskusi yang bebas dilakukan?” kata Alghiffari.
ADVERTISEMENT
Ia tidak mempermasalahkan jika memang ada yang tak sepakat dengan prinsip yang diusung oleh LBH dan para aktivis lainnya.
“Bagi orang-orang yang tidak sepakat dengan LBH, kami tidak ada masalah. Kami bahkan menghormati hak mereka untuk berekspresi dan menyatakan pendapat. Kalau ada polisi berbuat kekerasan terhadap mereka yang mendemo LBH pun, kami akan protes dan ikut membela mereka.”
LBH menjadi salah satu contoh bahwa Tragedi 1965 tetap menjadi medan tempur gagasan sejarah yang terus hangat di republik ini. Sayangnya, isu ini tidak pernah diperbincangkan layaknya demokrasi yang beradab melalui dialog.
Waktu terhenti di tahun itu: 1965. Setelahnya, rakyat Indonesia harus menelan mentah-mentah kebenaran versi Orde Baru, hingga terpatri kuat dalam ingatan kolektif masyarakat, pun turun ke generasi yang tak memiliki beban masa lalu dengan masa itu.
ADVERTISEMENT
Mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNET), kegiatan terkait Tragedi 1965 menjadi isu yang paling banyak mengalami represi.
Data dari Januari 2015 hingga Agustus 2017 menunjukkan, setidaknya ada 44 kegiatan tentang Tragedi 65 yang direpresi. Kegiatan tersebut terdiri dari pemutaran film Senyap dan Jagal, diskusi ilmiah, hingga pertemuan para penyintas. Pelakunya, ormas hingga aparat.
Negara tak dapat berbuat banyak di hadapan kelompok penekan. Demokrasi itu masih semu. Dan kemanusiaan yang pilih-pilih adalah omong-kosong.