Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Lebaran di Rote: Kala Warga Kristen Menyeberang ke Desa Muslim
25 Juni 2017 8:57 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Idul Fitri tiba. Tak semua orang mudik, termasuk para pengajar muda dari Indonesia Mengajar yang bertugas di Kepulauan Rote, Nusa Tenggara Timur. Namun, bukan berarti mereka menghabiskan Lebaran dengan lesu.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kemeriahan dan kehangatan seakan menjalar ke seluruh pulau. Hal itu diingat betul oleh para pengajar muda yang setahun merengkuh indahnya bangunan toleransi di wilayah paling selatan Indonesia itu.
Kenangan manis atas sejuknya toleransi di tanah Rote itu jadi pengalaman yang terus melekat di benak.
Kisah serupa disesap dua pengajar muda, Zakiya Aryana dan Ashela Risa. Mereka yang memulai misi mengajar di Rote bertepatan dengan Ramadhan, menghabiskan Lebaran di sana.
Setiba di Rote, Ashela Risa punya ditempatkan di Desa Oeoko, dekat Kabupaten Rote Ndao. Pekan-pekan berpuasa ia isi dengan bersilaturahmi dan berkenalan dengan warga sekitar. Bersama beberapa kawan, gadis yang akrab disapa Ela ini berkeliling desa.
“Lebaran dua tahun lalu, masih baru banget di Rote. Belum sampai satu bulan, jadi waktu itu agak surprised dengan keramahan mereka yang welcome banget,” cerita Ela kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Desa Oeoko yang jadi tempat tinggal baru Ela dipadati keluarga Kristen. Di sana, ia menginap di tempat Nenek Elizabeth dan cucu laki-lakinya.
Ela begitu terkesan dengan suasana Ramadhan di Oeoko yang begitu hangat. Nuansa kekeluargaan, tetangga yang ramah, membuatnya merasai damai Ramadhan dan Idul Fitri yang jauh dari keluarga.
Pada Lebaran hari pertama, Ela merayakannya bersama kawan-kawan pengajar muda lain. Mereka berkumpul di Kampung Oeseli yang diisi mayoritas keluarga Muslim.
“Lebaran hari pertama kumpul di rumah Zakiya. Kebetulan Zakiya koordintor untuk Tim Rote dan ditempatkan di kampung Muslim. Jadi kami satu tim sepakat untuk malam takbiran di sana dan Lebaran bareng-bareng satu kelompok.”
Ela melanjutkan cerita. “Malam Lebaran di sana kayak biasa Muslim, ada takbiran. Kami kumpul di rumah yang membelakangi pantai. Selesai takbiran kami ketemu di pantai sambil sharing cerita sama teman-teman.”
ADVERTISEMENT
Kesan hangat dan dekat itu terus terbangun hingga sepanjang Lebaran. Saat itu, Ela bersama kawan-kawan Muslim berangkat untuk menjalankan salat Id di masjid kampung setempat. Di sana, ia menjalin tali silaturahmi dengan penduduk sekitar.
Walau jauh dari keluarga, Ela dan rekan-rekannya tetap merasakan kehangatan dan kedekatan lewat keluarga baru yang mereka temui di Rote. Terlebih, mereka beroleh pengalaman baru yang menarik, salah satunya tradisi potong ayam --yang mulai ia pelajari pada masa transisi sebelum terjun langsung ke Rote.
Saat Idul Fitri, keluarga angkat Ela di Rote yang beragama Kristen menyiapkan beberapa ayam untuk dipotong dan dimasak. Tradisi ini berlangsung tiap ada perayaan hari besar agama. Ela yang baru pertama kali menjejak Rote pu bersiap unjuk gigi dengan memotong ayam untuk dimasak.
ADVERTISEMENT
“Mereka bilang, ‘Ini hari raya, ayo potong ayam dulu. Mereka sudah paham kalau makan daging (untuk Lebaran), harus warga Islam yang sembelih. Jadi aku beleh ayamnya,” kata Ela, tertawa.
Ayam hasil potongan Ela lalu digoreng dan disajikan lengkap dengan sambal Rote yang lezat dan pedas. Ela --yang gemar makanan pedas-- menikmati setiap suapnya. Apalagi, ayam yang disajikan adalah hasil sembelihannya. Usaha terasa tak sia-sia.
Lebaran di Rote tak cuma dirayakan di rumah masing-masing, tapi bersama-sama masyarakat desa. Bupati Rote Ndao Lens Haning pun menggelar open house dan mengajak masyarakat berpesta di rumahnya.
“Bupati mengadakan halalbihalal di kediamannya, padahal beliau bukan Muslim. Tapi suka ngadain open house saat Lebaran,” kata Ela.
ADVERTISEMENT
Tradisi saling berkunjung antara desa Muslim dan Kristen pada Hari Raya Idul Fitri dan Natal berjalan tiap tahun.
“Aku nggak natalan, tapi ikut hadir di perayaaannya,” ujar Ela.
Lebaran di Rote membuat Ela merasakan sendiri kuatnya toleransi antarumat beragama. Walau keluarga tempatnya tinggal pdan tetangganya di sana beragama Kristen, mereka antusias berucap selamat Lebaran pada Ela.
“Pas Lebaran, selesai acara bareng teman-teman, aku ke rumah host family dan menginap di rumah Nenek Elizabeth. Nenek ini cuma berdua sama cucunya kelas 4 SD. Terus Nenek tanya-tanya tentang ibadah (Muslim).”
“Nenek itu hidup sederhana, terus bilang, ‘Aduh, Nenek gak bisa bikin apa-apa nih, gak bisa siapin apa-apa untuk Lebaran.’ Tapi aku waktu itu bawa kue, jadi aku makan bareng-bareng sama Nenek dan cucunya,” kata Ela.
ADVERTISEMENT
Tak cuma Ela, Zakiya pun punya cerita yang juga menarik. Ia ditempatkan di Desa Oeseli yang ditempati 25-40 keluarga. Hampir seluruhnya beragam Muslim. Sehingga, Lebaran yang ia rayakan jauh dari rumah tetap terasa hangat.
“Habis salat Id, keluarga-keluarga saling kunjung-mengunjungi. Di hari kedua Lebaran,ada semacam pesta syukuran di pantai, di kampung pantai, mengundang penduduk desa yang dari gunung. Kepala desanya dan perangkat desa juga dateng, kasih sambutan,” kata Zakiya.
Desa pantai dan desa gunung memiliki lanskap demografi yang berbeda. Desa pantai umumnya ditempati masyarakat mayoritas Muslim, sedangkan desa gunung memiliki mayoritas masyarakat Kristen.
Maka, ketika Idul Fitri dan Natal tiba, kedua warga desa saling berkunjung dan turut bergabung dalam perayaan yang diadakan masing-masing desa.
ADVERTISEMENT
Toleransi di Rote tak hanya terpancar di Hari Raya. Zakiya merasakan betul bagaimana toleransi antarumat beragama begitu kuat mengakar dalam kehidupan keseharian masyarakat Rote.
“Saat Idul Adha dua bulan kemudian, kami biasanya dapat sumbangan sapi atau kambing. Nah, daging sembelihan waktu itu dibagi juga ke atas (desa gunung), lalu diantar ke sana. Nah kalau Lebaran, yang kampung atas datang berkunjung. Waktu Natal dan Tahun Baru, bergantian kampung pesisir naik ke atas untuk turut merayakan.”
Hari Raya semakin ramai dengan tradisi menarikan tarian Kebalai. Seluruh penduduk, mulai dari pejabat daerah hingga warga, menari bersama-sama di balai untuk merayakan kegembiraan hari raya.
“Ada sambutan kepala desa, imam masjid, lalu bersama-sama melakukan Tari Kebalai muter-muter. Ibu-ibu pada buat lingkaran,” kata Zakiya.
ADVERTISEMENT
Zakiya dan Ela boleh dibilang beruntung, bisa merasakan toleransi mesra antarumat di timur Indonesia. Kala banyak masyarakat kota yang sibuk berdebat tentang dalil agama, mereka di sana mampu menghargai persatuan, kedamaian, dan kehangatan persaudaraan.
Toleransi itu, semoga, menyebar ke tiap sudut pulau-pulau seantero nusantara.