Ledakan Kasus Corona di Pasar Rakyat

21 Juni 2020 9:07 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas kesehatan melakukan tes swab kepada pedagang di Pasar Thomas, Jakarta Pusat. Foto: Muhammad Adimaja/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Petugas kesehatan melakukan tes swab kepada pedagang di Pasar Thomas, Jakarta Pusat. Foto: Muhammad Adimaja/Antara
Kamis (18/6) lalu, Joweston Nainggolan menutup kios dagangannya dengan masygul. Pedagang sembako di Pasar Serdang, Jakarta Pusat, itu kesal pasar seharian sepi.
"Pengunjungnya malah tambah sedikit," kata Nainggolan kepada kumparan.
Hari itu, aktivitas pedagang pasar Serdang kembali bergeliat. Tiga hari sebelumnya, pemerintah menutup pasar setelah belasan pedagang di sana diketahui terinfeksi COVID-19.
Nainggolan menduga, temuan kasus itu membuat pembeli enggan datang ke pasar.
Padahal aktivitas jual beli mulai pulih sejak menjelang Idul Fitri bulan lalu.
Saat periode awal penerapan pembatasan sosial berskala besar di Jakarta, omzet pedagang anjlok drastis. Pemasukan tiap hari, menurut Nainggolan, cuma 60 persen kondisi biasanya.
Begitu masyarakat menyongsong kenormalan baru, bukannya semakin ramai, Pasar Serdang malah menjadi salah satu klaster penyebaran COVID-19. Tak ayal animo pembeli untuk datang ke pasar kembali surut.
Fenomena pedagang pasar positif COVID-19, berdasarkan data Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI), mulai bermunculan selepas Idul Fitri akhir Juni lalu. Temuan-temuan kasus terungkap setelah banyak daerah mulai gencar melakukan tes massal.
Pengunjung antre mencuci tangan sebelum memasuki Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Foto: Dok. Pengelola Pasar Tanah Abang
Data teranyar IKAPPI per 19 Juni menunjukkan, 701 orang pedagang pasar terinfeksi virus corona generasi kedua (SARS-CoV-2). Beberapa daerah mencatat kasus lebih tinggi dibanding tempat lain.
Di Sumatera Barat, sebagai contoh, ditemukan 120 kasus positif di beberapa pasar. Sementara itu, 124 kasus teridentifikasi dari pasar-pasar di Jawa Timur.
Di Jakarta, 148 pedagang di 19 pasar terpapar COVID-19. Pasar-pasar di Jakarta Timur menjadi penyumbang terbesar dengan 69 kasus positif. Jakarta Pusat berada di posisi kedua dengan sumbangan 57 kasus di delapan pasar.
Di beberapa pasar, kasus pedagang terinfeksi virus corona jenis baru ini sudah terjadi bahkan jauh sebelum Idul Fitri. Mei lalu, seorang pedagang pasar di Jakarta Pusat dilaporkan dirawat di rumah sakit dengan status positif COVID-19.
Sesuai prosedur standar, Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat melakukan penelusuran kepada orang-orang yang kontak dengan pasien. Saat itu sudah muncul kewaspadaan kemunculan klaster baru.
"Kita lakukan tracing, kok ada fenomena di sini bisa potensi untuk jadi klaster baru," kata dr. Rosvita Nur Aini, Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Jakarta Pusat.
Di pasar, tracing merupakan persoalan kompleks. Bila ada pedagang yang terkonfirmasi positif, pengambilan sampel biasanya akan dilakukan ke pedagang lain yang berada pada satu blok yang sama, sebab banyak kasus menunjukkan indikasi penularan antarpedagang.
Yang menjadi masalah, tidak semua orang yang berkontak erat dengan pasien bisa ditelusuri. Pedagang yang terinfeksi acap kali tidak bisa mengingat siapa saja pembeli yang berinteraksi dengannya.
"Kan pasti sulitlah melihat orang ini menjual sayur ke siapa aja. Pasti sulit. Cuma salah satu mata rantainya adalah pedagang. Makanya kita cut off-nya di pedagangnya," timpal Erizon, Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Pusat.
Untuk melacak potensi penularan, penyelidik epidemiologi membutuhkan setidaknya nama dan nomor telepon kontak erat. Alhasil, ketiadaan informasi itu akan menyebabkan penelusuran terputus.
Ada kemungkinan pembeli yang tertular juga menularkan virus di lingkungan tempat tinggalnya. Di Jakarta, sejak 4 Juni pemerintah DKI menggalakkan pencarian aktif terhadap kasus-kasus baru.
Tes massal di beberapa tempat publik, termasuk pasar, dilakukan. Itu sebabnya, terjadi peningkatan jumlah kasus pedagang pasar yang positif terinfeksi COVID-19.

Gagap Mengatur Pasar

Pasar selama ini masih belum ketat menerapkan protokol kesehatan. Sejumlah pedagang di Jakarta yang kumparan wawancarai, mengakui hal itu.
Banyak fasilitas di pasar yang belum memadai. Misalnya saja, belum adanya petugas yang berjaga mengecek suhu di pintu masuk. Bahkan banyak pedagang yang tak mengenakan masker dan menjaga jarak.
Kondisi tersebut kontras dengan pusat perdagangan lain seperti toko swalayan. Padahal, dalam beberapa hal, protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah lebih ketat mengatur pasar.
Petugas Satpol PP berjaga di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur. Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Dalam edaran Kementerian Perdagangan, kepadatan pasar maksimal 30 persen dari total kapasitas. Regulasi yang sama mengatur kepadatan toko swalayan maksimal 40 persen kapasitas.
Beberapa pemerintah daerah berusaha mencegah penularan di pasar dengan berbagai cara. Penerapan waktu buka dengan sistem ganjil-genap paling jamak menjadi pilihan.
Aturan itu membatasi jumlah pedagang yang berjualan di pasar berdasarkan nomor kios. Pedagang dengan nomor kios ganjil hanya boleh buka di tanggal ganjil. Sebaliknya, pedagang yang memiliki kios dengan nomor genap hanya diizinkan buka di tanggal genap.
Jakarta termasuk salah satu yang menerapkan kebijakan itu. Pemprov DKI tidak kompromi dalam penerapannya. Gubernur Anies Baswedan sampai mewanti-wanti para pedagang agar mematuhi aturan tersebut.
"Jadi saya sampaikan kepada pedagang, pilihannya sederhana: ganjil-genap sekarang atau tidak buka sama sekali. Kalau mau ikut ganjil genap, kita buka sekarang; kalau tidak, tidak buka," kata Anies.
Persoalannya, realitas yang terjadi di pasar ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan skenario ganjil-genap. Kebanyakan pedagang malah beranggapan kebijakan itu tak akan efektif.
Di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, misalnya, banyak pedagang biasanya punya dua kios atau los yang bersebelahan.
"Kita punya los misalnya dua nomor. Yang sekarang ganjil, yang besok genap. Kan kita hanya memindahkan (barangnya) saja sebenarnya," kata Diky, pedagang di Pasar Induk Kramat Jati.
Oleh karena itu, para pedagang tetap dapat berjualan tanpa mempedulikan tanggal ganjil atau genap. Hal yang sama, menurut Joweston, juga berlaku di Pasar Serdang.
Di lapangan, pembatasan jumlah pedagang juga berisiko. Potensi kerumuman orang juga akan semakin besar.
"Kalau tadinya pedagangnya ada enam, sementara pengunjungnya ada 36. Kalau tokonya tutup tiga, otomatis yang 36 orang ini ke tiga pedagang kan. Jadi menumpuk di toko yang buka," kata Joweston.
Pengurangan jumlah pedagang tanpa pengurangan jumlah pembeli tidak akan efektif mengurai kepadatan di pasar. Alhasil, ancaman penularan semakin tinggi.
Regulasi pemerintah soal pembatasan jam operasional pasar yang tertuang dalam Surat Edaran Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pemulihan Aktivitas Perdagangan pun problematis. Pasar hanya diizinkan beroperasi dari jam 06.00 sampai 11.00.
Ketua IKAPPI Abdullah Mansuri khawatir hal itu justru akan menjadi biang penularan, sebab selama ini banyak pasar yang buka 24 jam. Kini dengan pembatasan jam operasional, akan terjadi penumpukan pembeli di satu waktu.
"Karena pembeli dan pedagang dipaksa menumpuk di jam 6-11. ini persoalan tersendiri," ujarnya.
Pedagang di depan Pasar Pegirian, Surabaya,menerapkan social distancing. Foto: ANTARA/Didik Suhartono
Pedagang di beberapa pasar, menurut Mansuri, sudah punya kesadaran untuk menjaga jarak fisik. Itu tampak dari inisiatif-inisiatif yang muncul di beberapa pasar untuk menghindari penularan.
Di Surabaya, para pedagang mulai melakukan pertukaran uang menggunakan nampan. Cara ini dinilai cukup efektif dalam mengurangi interaksi langsung antara pedagang dan pembeli.
Di Salatiga, para pedagang berinisiatif menata ulang lapak dagangan. Lapak dibuat berjarak dan didirikan di tempat terbuka sehingga memenuhi kebutuhan protokol kesehatan.
Sementara sejumlah pasar di Sumatera Barat berinisiatif melakukan tes corona massal dan swab untuk meyakinkan publik bahwa pasar aman dikunjungi.
Partisipasi-partisipasi semacam itu dinilai Mansuri lebih efektif karena sesuai dengan kondisi riil dinamika harian di pasar. Di sisi lain, IKAPPI mengimbau para pedagang disiplin menggunakan tirai pembatas antara penjual dan pembeli.
Perlahan, pedagang mulai mengadopsi cara tersebut. "Awalnya ribet, tapi lama-kelamaan saya yakin ini menjadi kebiasaan," kata Mansuri.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak corona.