Legenda di Jawa Tentang Lintang Kemukus: Mitos Pagebluk hingga Konflik

14 Oktober 2020 20:27 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komet C/2020 F3 Neowise. Foto: Miloslav Druckmuller/Brno University of Technology
zoom-in-whitePerbesar
Komet C/2020 F3 Neowise. Foto: Miloslav Druckmuller/Brno University of Technology
ADVERTISEMENT
Fenomena Lintang Kemukus atau munculnya komet di langit Pulau Jawa pada 10 Oktober belakangan ini menghebohkan masyarakat. Sejumlah warganet di Yogyakarta, Bojonegoro, hingga Tuban menyaksikan Lintang Kemukus.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, banyak orang yang mengaitkan Lintang Kemukus dengan datangnya peristiwa buruk berdasarkan kultur Jawa.
Bagaimana sebenarnya kepercayaan masyarakat Jawa berdasarkan ilmu titen atau mengamati tanda-tanda alam? Apakah Lintang Kemukus menandakan peristiwa buruk semata, atau justru ada tanda baik dari alam?
Dosen Sastra Jawa FIB Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisma Nugraha Christianto, menjelaskan Lintang Kemukus merupakan kejadian alam.
"Itu kejadian alam yang terjadi. Kan kalau sekarang dengan alat canggih semuanya bisa dideteksi bahkan bisa diramalkan kapan akan ada meteor lewat itu semuanya bisa," kata Wisma kepada wartawan, Rabu (14/10).
Lintang Kemukus atau bintang berekor yang terlihat di langit Jawa Timur. Foto: Twitter/Mohshodikinmustofa
Namun sisi menariknya, kata Wisma, yakni memori setiap orang, khususnya masyarakat Jawa. Menurut Wisma, masyarakat Jawa melihat kejadian alam sebagai sesuatu yang unik dan dahsyat. Mereka lalu memberi nama apa yang dilihat untuk diingat.
ADVERTISEMENT
Biasanya penamaan kejadian alam berdasarkan warna atau bentuk yang dilihat.
"Ada yang menyebut Ndaru, ada yang menyebut Lintang Kemukus itu meteor lewat karena memasuki daerah atmosfer terjadi gesekan entah itu terbakar atau apa. Sehingga bisa dilihat mata manusia karena itu di lingkaran atmosfer bumi. Peristiwa terbakar itu menimbulkan warna merah atau ke biru-biruan," ujar Kris sapaan akrab Wisma.
Kris menyatakan warna merah disebut Lintang Kemukus, sementara warna biru disebut Ndaru. Kris mengatakan Lintang Kemukus memang kerap dipercayai sebagai sesuatu yang negatif. Namun Ndaru memiliki makna positif. Itu semua merupakan tafsir dari masyarakat Jawa.
"Ndaru dan Lintang Kemukus dibedakan warna merah atau biru. Itu tafsir positif negatif dari warna. Terus panjang pendek dan waktunya, arahnya ke mana. Arah menjadi penting seperti halnya perputaran bumi, matahari, dan bulan. Minimal matahari kalau timur (artinya) awal kehidupan. Kalau barat itu bahaya misal kematian. Relasinya timur itu dengan utara kalau barat dengan selatan," jelasnya.
Ilustrasi hujan meteor Foto: NASA/JPL
Apa yang menjadi tafsir masyarakat Jawa itu terangkum dalam teori folklor tradisional atau bagian kepercayaan rakyat. Tradisi itu diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.
ADVERTISEMENT
Pengalaman yang dilihat itu -seperti melihat Lintang Kemukus- kemudian dikaitkan dengan realitas sosial setelahnya. Misal setelah melihat Lintang Kemukus ada kejadian seperti pagebluk atau wabah. Tidak hanya kepada manusia, tetapi juga pada tumbuhan dan hewan yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan manusia.
"Kalau binatang raja kaya misal sapi, kambing, kerbau, itu simpanan peliharaan yang menjadi aset orang desa. Kalau mereka sakit kan sik nduwe ngenes (kalau mereka sakit yang punya ngenes)," ujarnya.
Tak hanya pagebluk, Lintang Kemukus juga kerap ditafsirkan dengan konflik atau huru hara. Hal itu pun terjadi ketika peristiwa G30S.
"Ndah dilalah (kebetulan) dulu sepanjang memori saya belajar folklor tradisi rakyat dulu masa-masa sebelum G30S sebelum tahun 50an itu sering orang melihat kejadian peristiwa alam seperti itu (Lintang Kemukus), kok ada ontran-ontran (ramai-ramai) lalu dihubung-hubungkan," katanya.
ADVERTISEMENT
Itu semua yang disebut ilmu titen menurut Kris. Ilmu titen tak lain adalah menghubung-hubungkan satu hal ke hal lain. Lantaran ilmu titen adalah tafsir jadi terkadang tidak selalu tepat.
"Dasarnya ilmu titen namanya masyarakat biasa, masyarakat yang merasa selalu terancam power di atasnya dengan terancam itu selalu was-was dan itu sering membaca simbol dan tanda lalu bikin tafsir digatok-gatoke (dihubung-hubungkan). Semuanya multi tafsir namanya tafsir semaunya sendiri," ucapnya.
Universitas Gadjah Mada (UGM) tetap menggelar upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Foto: Dok. Humas UGM
Kris menambahkan, jika ditarik berdasarkan kondisi sosial, politik, ekonomi kekinian, tak heran jika kemudian muncul banyak tafsir. Misal setelah pandemi COVID-19 dikhawatirkan akan muncul pagebluk lagi.
"Dalam kondisi sosial politik ekonomi seperti ini ya setelah melihat peristiwa alam itu mereka juga memunculkan banyak tafsir. Pagebluk sedang berlangsung, COVID-19 sedang berlangsung, lalu ada pagebluk apa lagi golek-golek (cari-cari)," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Situasinya ternyata akeh demo akeh kekerasan digatuk-gatukke (ternyata banyak demo, kekerasan, dihubung-hubungkan). Itu jadi multi tafsir menurut perasaan kolektif," ucapnya.
Saat disinggung apakah Lintang Kemukus berkaitan dengan berakhirnya pandemi corona, Kris ragu. Sebab berdasarkan memori masyarakat Jawa, jarang Lintang Kemukus dianggap sebagai pertanda positif.
"Kalau ada tafsir pagebluk mau selesai ya tidak papa itu membantu mitos baru agar tidak gusar dengan ancaman," kata Kris.
Sementara bagi Kris, Lintang Kemukus sebagai pertanda baik dari alam semesta semasa corona seperti polusi berkurang dan lain sebagainya.
"Kalau saya ini pertanda baik alam semasa COVID. Ini menjadi baik cosmosnya, atmosfernya. Karena polusi berkurang dan lain-lain langit menjadi bersih terbuka. Peristiwa alam di luar mudah kita lihat," tutupnya.
ADVERTISEMENT