Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Kala itu Ani sudah beberapa tahun menikah. Dan Sus—nama panggilan Susilo Bambang Yudhoyono—adalah lulusan taruna cemerlang. Ani merasa bersalah bila benar bayang-bayang bapaknya membuat karier Sus tak selaju rekan-rekannya.
“Pak, apakah Bapak menyesal menikah denganku?” tanya Ani kepada suaminya, seperti tertulis dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit yang ditulis Alberthiene Endah.
Desas-desus semasa Orde Baru merebak. Konon, karier militer Sus terhitung lambat lantaran ia adalah suami Ani, putri Sarwo Edhie—tokoh yang konon saat itu tidak terlalu disukai pemerintah Soeharto yang penuh intrik.
Mendengar pertanyaan Ani, Sus—yang kini lebih sering disapa dengan SBY—menjawab sama sekali tak menyimpan sesal karena telah menikahi Ani. Ia, seperti diketahui semua orang, sangat sayang pada keluarganya.
“Sama sekali tidak. Buatku, hal terpenting dalam hidup ini adalah keluarga,” jawab SBY kala itu.
SBY sendiri adalah anak seorang tentara, R. Soekotjo yang memiliki pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu).
Keluh kesah Ani saat itu bukan isapan jempol belaka. Julius Pour dalam buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualangan mengatakan, Sarwo Edhie yang mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) adalah salah satu dari tiga perwira yang menyokong Soeharto semasa pergolakan 1965.
Namun pasca-tragedi 1965, ia dengan sengaja dijauhkan dari kekuasaan oleh Soeharto.
“Meski tidak langsung disingkirkan, kalau ini diibaratkan cerita wayang, dia (Sarwo Edhie) harus segera dikembalikan, disimpan, serta dimasukkan dalam kotak,” tulis Pour.
Itu sebabnya Sarwo Edhie lantas ditugaskan menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan, dan sekembalinya ke Indonesia ditempatkan pada posisi Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri.
Itulah yang menjadi latar keluhan Ani, bukan bukan sekadar rajukan anak jenderal.
Pada kesempatan lain, Ani pernah kesal karena prestasi SBY selalu dikaitkan dengan nama Sarwo Edhie. Ani ingin prestasi suaminya tegas dipandang sebagai prestasi mandiri, bukan karena siapa-siapa.
“Suamiku sudah mati-matian bekerja baik, Pi. Tapi kenapa kiprahnya selalu dihubungkan dengan Papi?” tanya Ani kepada bapaknya dengan dongkol.
Sarwo Edhie pun memberikan jawaban yang menenangkan putrinya. Ia mengatakan, kehebatan prajurit tidak ditentukan oleh bayang-bayang nama besar di belakangnya, sebab pertempuran dan tantanganlah yang akan menguji kemampuannya.
“Jadi kamu tidak perlu sedih atau gelisah. Bambang sudah memiliki jati dirinya sendiri,” jawab Sarwo Edhie.
Ani, yang kini lebih akrab disapa Ani Yudhoyono, bukan perempuan biasa bagi SBY. Ia dan SBY bertemu saat Sarwo Edhie menjabat Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Saat itu Ani tengah mengunjungi bapaknya di Magelang dari Jakarta, dan jatuh cinta pada pandangan pertama pada SBY. Ani terkesan dengan sikap lelaki jangkung yang ia temui dalam acara di Balai Taruna itu. SBY muda saat itu menjabat sebagai Komandan Korps Taruna, sehingga aktivitasnya tak bisa jauh dari Sarwo Edhie.
Esoknya, Ani dan SBY berkenalan di rumah dinas Sarwo Edhie. Kisah asmara pun berkembang. Keduanya saling berkirim surat karena Ani masih tinggal di Jakarta, berkuliah di Universitas Kristen Indonesia.
Saat berkirim surat dengan Ani itulah SBY menuliskan puisi berjudul Flamboyan untuk sang kekasih. Isinya tentang perasaan prajurit melihat bunga flamboyan yang bermekaran di halaman kampus.
“Aku tersenyum membacanya. Aku sempat menarik kesimpulan, jangan-jangan ini ada hubungannya denganku, sebab rumahku di Cijantung beralamat di Jalan Flamboyan,” kata Ani dalam buku biografinya.
Namun saat asmara mereka sedang ranum-ranumnya, kabar mengejutkan mendadak datang: Sarwo Edhie ditugaskan menjadi duta besar untuk Korea Selatan.
Bagi Ani, kabar itu membawa kekecewaan karena Sarwo Edhie meminta keempat putrinya untuk ikut. Yang melegakan, sebelum berangkat, Sarwo Edhie meminta Ani dan SBY lebih dulu bertunangan.
Mendengar permintaan bapaknya, Ani gembira dan cepat-cepat mengabari SBY. Keduanya pun bertunangan sesaat sebelum Ani pindah ke Korea Selatan. Dan sepulangnya Ani dari Korsel, mereka melangsungkan pernikahan pada 30 Juli 1976.
Ani tinggal bersama SBY yang bertugas sebagai Komandan Pleton Tiga di Kompi Senapan A Batalyon Lintas Udara 330/Tri Dharma Kostrad di Dayeuhkolot, Bandung, Jawa Barat. Sebagaimana istri prajurit, ia mesti tinggal di barak militer dengan fasilitas ala kadarnya.
Namun Ani tak mengeluhkan kehidupan seperti itu, sebab ia dibesarkan bagai anak kolong yang hidup berpindah-pindah dari satu barak ke barak lain. Maka ketika SBY bertugas ke medan perang di Timor Timur, Ani turut serta dengan membawa kedua anak mereka, Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono yang saat itu masih kecil.
Ani menunjukkan perhatian pada karier suaminya. Ia duduk sebagai rekan diskusi, dan tahu betul SBY bercita-cita menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD)—jabatan yang nyaris diraih SBY pada 1999.
Ketika itu, Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto, memanggil SBY ke kediamannya di Bambu Apus, Jakarta Timur. SBY menerima kabar akan diangkat sebagai KASAD. Kabar itu pun sempat ia teruskan ke Ani.
Tapi nasib berkata lain. Mendadak SBY mendengar kabar lain, bahwa ia akan diangkat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). SBY sontak merasa keberatan. Menjadi menteri berarti batal menjadi KASAD.
Kala SBY gamang, ayahandanya, R. Soekotjo, memberi nasihat agar ia tak kecewa. Menurut Soekotjo, jabatan menteri adalah tugas negara yang patut diemban.
Sejak SBY duduk di kabinet itulah, Ani membiasakan diri mencatat ragam hal dalam pertemuan SBY dengan berbagai pihak. Usai pertemuan, catatan itu akan diberikan Ani kepada SBY agar suaminya itu tak lupa dengan hasil pertemuan.
“Aku tahu, beban kerja suamiku sudah teramat berat, sehingga aku melakukan apa saja yang bisa kulakukan untuk membantunya. Tentu sebatas kapasitasku sebagai istri,” kata Ani.
Olak-alik kabinet pasca-Reformasi kemudian dirasakan SBY. Ia hanya sepuluh bulan menjabat Menteri Pertambangan dan Energi. Setelahnya, Gus Dur menunjuknya menjadi Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan. Namun lagi-lagi jabatan itu tak bertahan lama, SBY kena reshuffle setelah satu tahun menjabat.
Setelah dicopot dari jabatan menteri, Ani menyangka inilah akhir karier SBY dan sesudah itu mereka akan menikmati pensiun. Namun, hidup di jalur militer dan politik sangat berbeda, dan Ani mulai terbiasa dengan kejutan.
Tahun 2001, Gus Dur lengser dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Tak disangka, SBY diminta sejumlah tokoh politik untuk maju menjadi wakil presiden. Awalnya SBY menolak, namun ia tak kuasa menahan tekanan dan permintaan yang terus mengalir.
SBY kemudian maju sebagai calon wakil presiden diusung Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Dalam pemungutan suara di MPR, ia kalah oleh Hamzah Haz.
Kegagalan itu, kata Ani, menjadi pembelajaran politik penting bagi suaminya. SBY merasa rakyat membutuhkan wajah demokrasi yang sehat, tidak seperti apa yang ia lihat di MPR ketika kepentingan elite mengalahkan suara rakyat. Maka SBY memutuskan mendirikan Partai Demokrat.
Sedari awal, Ani terlibat dalam proses pembentukan partai. Ia sendiri yang memilihkan warna biru yang kini menjadi lambang Partai Demokrat.
“Kubantu SBY menemukan warna biru yang mendekati gambarannya tentang biru yang menyimbolkan perdamaian,” kata Ani.
Kejutan lagi-lagi datang. Saat SBY baru akan berkonsentrasi membesarkan partai, panggilan telepon datang dari Presiden Megawati. SBY kembali diminta menjadi Menkopolkam. SBY tak bisa menolak titah Presiden.
Berikutnya karena tak ingin terjadi konflik kepentingan, SBY menyerahkan kepengurusan Partai Demokrat kepada Subur Budhisantoso, Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia. Ani sendiri dipercaya menjadi Wakil Ketua Umum. Ia berperan sebagai penghubung urusan partai kepada SBY.
Politik selalu beriring intrik. Menjelang Pemilu 2004, hubungan SBY dengan Megawati berjarak. SBY sering tidak diundang dalam rapat kabinet. Media mencium hal itu dan berspekulasi bahwa SBY dianggap sebagai ancaman buat Megawati.
SBY tersudutkan dan Ani Yudhoyono meradang. Ani lantas menyarankan kepada SBY untuk mundur dari kabinet. Saran ini ditimbang dan akhirnya dilakukan SBY.
“Sebagai istri, aku merasa sudah sampai pada titik kompromi tertinggi yang bisa kuberikan. Kali itu aku merasa berhak mengungkapkan keberatan. ‘Pa, berinisiatiflah menghentikan ini semua,’” ujar Ani.
Setelah mundur dari kabinet Megawati, SBY memutuskan untuk maju sebagai calon presiden yang diusung Partai Demokrat. Bertarung pada Pemilu 2004, ia berpasangan dengan Jusuf Kalla. Dan Ani tak tinggal diam. Ia menjadi konsultan pribadi SBY.
Konsultan politik SBY kala itu, Denny JA, bercerita mengatur SBY agar tampil menyanyi di acara televisi Akademi Fantasi dalam upaya mengenalkannya kepada publik. Denny ingin supaya SBY bisa menggaet pemilih muda.
Selanjutnya sebelum SBY tampil ke atas panggung, Ani terlibat memilihkan lagu dan busana. Ia menyarankan SBY tak memakai batik formal, melainkan jaket kulit. SBY pun menuruti saran istrinya itu.
“Bu Ani itu lebih sensitif dengan komunikasi publik luas,” kata Denny JA kepada kumparan, Minggu (2/6).
Singkat kata, SBY dan Jusuf Kalla berhasil mengalahkan petahana, Megawati Soekarnoputri, yang berpasangan dengan Hasyim Muzadi. Ani Yudhoyono otomatis menjadi ibu negara.
Peran sebagai ibu negara dijalani Ani dengan lugas. Ia selalu menjadi pendamping dan pengingat SBY, dan masih melanjutkan kebiasaannya mencatat semua isi rapat dan pidato suaminya. Catatan ini langsung diserahkan SBY sebagai pengingat.
Tak hanya di pemerintahan saja, kelincahan Ani juga terekam di Partai Demokrat. Politisi Demokrat Andi Arief mengatakan, kehadiran Ani di berbagai gelar partai selalu dapat mengobarkan semangat.
Ani, menurut Andi, menyapa dan mengingatkan kader tanpa perlu mengintervensi kebijakan partai. Ani selalu punya cara untuk membuat pengurus Partai Demokrat bangkit.
“Dia (Ani Yudhoyono) mengisi ruang-ruang yang Bapak (SBY) enggak lakukan, tapi tanpa mengintervensi. Seperti baterai buat Bapak,” kata Andi.
Ani memang dikenal lihai melakukan pendekatan pribadi. Mantan pengurus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, mengaku terkesan dengan sikap Ani yang mau mengenal kader hingga keluarga mereka.
Ruhut, misalnya, pernah ditanya mengenai kakaknya, Laksamana Muda (Purn) Iskandar Sitompul, yang meniti karier di TNI Angkatan Laut. Ruhut tak menyangka Ani memberikan perhatian pada hubungannya dengan Is—sapaan Iskandar Sitompul.
Sepak terjang Ani selalu berkesan bagi orang-orang yang mengenalnya. Namun, seperti semua kisah, cerita Ani bersama SBY harus tuntas ketika ia mengembuskan napas terakhir di Singapura, Sabtu (1/6), setelah empat bulan berjuang melawan kanker darah yang ganas menggerogoti tubuhnya.
Ani setia mendampingi SBY selama 43 tahun, sejak ia menjabat letnan di barak tanpa kamar mandi pribadi, hingga menjadi ibu negara di istana megah.
Namun, Ani bukan sekadar istri. Ani Yudhoyono adalah segala-galanya bagi SBY.
Kini, sang Flamboyan telah pergi...
_________________
Simak rangkaian kisah lengkapnya di Liputan Khusus kumparan: Melepas Memo