Liz Truss Jadi PM, Kemajuan atau Kemunduran bagi Perempuan di Inggris?

6 September 2022 13:36 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss. Foto: Pedja Stanisic/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss. Foto: Pedja Stanisic/REUTERS
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri Inggris, Liz Truss, memenangkan persaingan ketat untuk menempati jabatan Perdana Menteri Inggris pada Senin (5/9). Dia adalah perempuan ketiga yang pernah memegang posisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Truss menikmati kemenangan telak atas mantan Menteri Keuangan Inggris, Rishi Sunak. Usai persaingan ketat selama berbulan-bulan, Truss meraup 57 persen suara dari Partai Konservatif.
Alhasil, dia melesat menjadi Pemimpin Partai Konservatif dan PM Inggris. Truss mengikuti jejak Margaret Thatcher yang menjabat pada 1975, serta Theresa May yang merenggut kekuasaan pada 2016.
Perdana Menteri Inggris Theresa May (kiri) berbicara kepada Ratu Inggris Elizabeth II pada pembukaan resmi Pertemuan Kepala Pemerintahan Persemakmuran (CHOGM) di Istana Buckingham di London pada 19 April 2018. Foto: Dominic Lipinski / POOL / AFP
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, memberikan ucapan selamat kepada Truss. Ketika melepaskan jabatan itu pada Selasa (6/9), dia akan meninggalkan pula tumpukan masalahnya kepada Truss.
Truss akan menerima warisan mulai dari penegakkan hukum atas pemerkosaan pada tingkat yang terendah, biaya pengasuhan anak yang melambung, serta kesenjangan upah berbasis gender.
Orang tua tunggal, perempuan kulit berwarna, perempuan dengan disabilitas, perempuan kelas pekerja, dan komunitas LGBTQIA+ menanggung imbas terberat dari krisis yang melanda Inggris.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah penunjukan seorang perempuan pada posisi tertinggi dapat membuat negara itu tempat yang lebih aman bagi mereka?

Partai Konservatif Inggris

Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak. Foto: Simon Dawson/REUTERS
Partai Konservatif disebut-sebut telah menempuh kemajuan signifikan dalam hal representasi. Pihaknya cenderung menerima anggota laki-laki kaukasia, tetapi delapan kandidat yang maju di awal pemilu teranyar mengantarkan wajah-wajah baru.
Setengah calon tersebut merupakan perempuan, sedangkan setengahnya lagi berasal dari kelompok etnis minoritas. Dua kandidat terakhirnya pun adalah seorang wanita dan seorang etnis India.
Menilik fakta tersebut dari permukaan, Sunak mengindikasikan keterbukaan terhadap identitas multikultural. Sebagaimana demikian, Truss seolah menjadi simbol atas kesetaraan gender.
Namun, rasio dalam keseluruhan partai masih terbilang jauh dari keragaman. Akademisi Tim Bale, Monica Poletti, dan Paul Webb merilis data terkait pada 2021.
Sejumlah pejabat dari Partai Konservatif Inggris saat berada di acara pengunduran diri Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson di kediaman resmi, 10 Downing Street, London, Inggris, Jumat (8/7/2022). Foto: Justin Tallis/AFP
Mereka mencatat, 63 persen anggota partai itu adalah laki-laki yang relatif tua dan kurang beragam secara etnis. Sekitar 200.000 anggotanya bahkan menikmati kekayaan di atas rata-rata nasional Inggris. Mereka bertempat di perumahan yang cenderung makmur.
ADVERTISEMENT
Kesenjangan ekonomi tersebut termanifestasi dalam pendidikan 15 pemimpin pascaperang Inggris. Hingga sebelas di antaranya menimba ilmu di Universitas Oxford. Begitu pula Sunak dan Truss.
"Elite lebih terbuka [terhadap keragaman], asalkan Anda memiliki kredensial pendidikan dan profesional," terang Direktur British Future, Sunder Katwala, dikutip dari Dawn, Selasa (6/9).
"Mereka belum menemukan cara untuk melakukan hal yang sama bagi kelas pekerja yang kurang berpendidikan," lanjut dia.
Para juru kampanye lantas mempertanyakan pendekatan Truss dalam memajukan kesetaraan gender di Inggris. Walaupun keterwakilan perempuan dalam politik memang penting, representasi tidak akan mengantarkan perubahan mendalam dengan mudah.
Bagaimanapun juga, pemerintahan yang menyakiti perempuan akan tetap menyakiti perempuan, terlepas dari tokoh yang berkuasa. Aktivis memperingatkan, kepemimpinan Truss tidak menjamin kemajuan bagi perempuan di Inggris.
ADVERTISEMENT

Jejak Politik

Menteri Luar Negeri Inggris dan kandidat kepemimpinan Konservatif Liz Truss di dekat gedung Parlemen, di London, Inggris. Foto: Toby Melville/REUTERS
Segala dugaan tersebut berjamur sejak Truss mengisi rentetan pekerjaan pemerintah Inggris. Dia menempati jabatan-jabatan dalam sektor pendidikan, lingkungan, dan perdagangan.
Truss sebenarnya menjabat sebagai Menteri Perempuan dan Kesetaraan sejak 2019. Kendati demikian, tidak banyak yang mengetahui pencapaiannya selama itu.
Women and Equalities Committee dalam DPR Inggris bahkan melayangkan kritik terhadapnya pada 2021.
Pihaknya menuding, Truss memperlakukan perang tersebut sebagai 'kegiatan sampingan'. Sebagai Menlu Inggris, dia juga memicu kritik serupa usai memangkas bantuan luar negeri, hingga berdampak pada perempuan di seluruh dunia.
Anggota komunitas LGBT mewarnai kelopak matanya untuik berpartisipasi dalam Diversity March tahunan di pusat kota Montevideo, Uruguay, Jumat (25/9/2020). Foto: MARIANA GREIF/REUTERS
Truss sempat menjanjikan larangan terhadap kekerasan gender dalam bentuk terapi perubahan orientasi seksual selama berkampanye. Namun, dia kemudian membuang janji-janjinya tersebut pula.
Dalam pidato kontroversial pada Desember 2020, Truss mengumumkan akan menjauhkan kebijakan-kebijakannya dari isu-isu 'populer' seputar ras, seksualitas, dan gender.
ADVERTISEMENT
Para juru kampanye meyakini, Truss memainkan ‘perang budaya" untuk mendapatkan dukungan dari kelompok fanatik yang merupakan basis pemilih Partai Konservatif.
"Dia menggunakan platformnya selama upaya kepemimpinannya untuk mengobarkan perang budaya, mengecilkan dampak krisis biaya hidup, dan menarik basis sayap kanan yang semakin populis," ujar Ketua Partai Kesetaraan Perempuan (WEP) Inggris, Mandu Reid, dikutip dari The Independent.
"[Kemenangan Truss] bukan kemenangan bagi perempuan atau kesetaraan gender," tegas dia.

Krisis Biaya Hidup di Inggris

Ilustrasi biaya sekolah anak. Foto: Shutter Stock
Sunak maupun Truss tidak vokal dalam menyuarakan kesetaraan gender saat mereka berkampanye. Pasalnya, aspek yang paling mendesak di negara itu saat ini adalah ekonomi.
Angka inflasi telah mencapai puncak dalam 40 tahun terakhir hingga menyentuh 9,1 persen di Inggris. Terakhir kali tingkat inflasi menyentuh angka seperti itu adalah ketika masa kekuasaan Thatcher.
ADVERTISEMENT
Para pekerja tengah mengadang pemotongan upah lantaran harga kebutuhan pokok yang menjulang. Sektor publik utama seperti pendidikan—yang mayoritasnya adalah perempuan—bahkan menyaksikan penurunan upah terbesar.
Biaya perumahan dan pengasuhan anak pun menyusul melambung di seluruh negeri. Namun, Sunak maupun Truss tidak menyinggung isu-isu tersebut dalam rencana kebijakan mereka.
Sebaliknya, mereka menjanjikan pemotongan pajak yang diyakini akan menguntungkan kelas atas. Direktur Women's Budget Group, Mary-Ann Stephenson, menyebutnya tidak masuk akal.
"Kebanyakan orang yang hidup dalam kemiskinan, yang tidak mampu memberi makan anak-anak mereka, tidak akan mendapatkan banyak keuntungan dari pemotongan pajak," jelas Stephenson.
"Orang-orang yang akan mendapatkan keuntungan adalah orang-orang yang lebih mampu dan membayar lebih banyak pajak," tambah dia.

Kesenjangan Upah dan Kekerasan Berbasis Gender

Ilustrasi kesenjangan gender di dunia pekerjaan. Foto: fizkes/shutterstock
Trade Union Congress (TUC) menggarisbawahi perbedaan upah antar gender di Inggris. Pihaknya merilis studi terkait pada awal tahun ini.
ADVERTISEMENT
Badan itu menerangkan, kesenjangan upah antar gender mencapai 15,4 persen di Inggris. Akibatnya, perempuan harus bekerja secara gratis selama dua bulan dalam setahun dibandingkan laki-laki.
Krisis biaya hidup memang berdampak pada seluruh pihak. Tetapi, perempuan menerima hantaman terberat berkat kesenjangan upah serta beban pengasuhan yang tak setara.
Dampak krisis biaya hidup semakin mendalam bagi penyintas kekerasan dalam rumah tangga. Tanpa adanya dana darurat dari pemerintah, mereka terpaksa tinggal bersama pelaku kekerasan.
Ilustrasi KDRT. Foto: Mary Long/Shutterstock
Hingga kini, Truss belum menguraikan rencana dalam mendukung perempuan selama krisis ekonomi. Satu-satunya solusi yang dia tawarkan adalah pemotongan pajak.
Untuk memutus siklus kekerasan, Truss menjanjikan Daftar Kekerasan Domestik Nasional. Dia juga mengeklaim akan mengatasi keterlambatan dalam kasus-kasus pengadilan pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
"Pemotongan pajak yang saya bicarakan akan disampaikan pada hari pertama karena kami memiliki masalah langsung dengan rumah tangga yang berjuang dengan biaya bahan bakar, dengan biaya makanan," kata Truss.

Hak Reproduksi

Ilustrasi aborsi. Foto: Shutter Stock
Masalah utama lainnya yang dihadapi perempuan di negara itu adalah hak untuk mendapatkan aborsi. Perhatian atas isu tersebut tumbuh setelah Mahkamah Agung AS membatalkan jaminan hak aborsi Roe v. Wade pada Juni.
Para aktivis di Inggris semakin berani untuk turut mengedepankan keprihatinan mereka setelahnya. Mereka mengkritik Truss lantaran tidak mengecam pencabutan Roe v. Wade.
Aborsi masih dianggap sebagai tindakan kriminal di Inggris, Skotlandia, dan Wales. UU Aborsi 1967 membawa hukuman pidana bagi petugas medis yang menawarkan prosedur itu.
Hukum negara tersebut mewajibkan izin resmi dari dua dokter untuk mengakhiri kehamilan atas alasan kesehatan. Jika tidak, maka mereka akan menghadapi hukuman penjara seumur hidup.
ADVERTISEMENT

Skeptisisme

Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss. Foto: DANIEL LEAL-OLIVAS/AFP
Truss mungkin mengabaikan sebagian tuntutan terkait gender lantaran mengutamakan prioritas ekonomi. Kendati demikian, mayoritas masyarakat pun skeptis bahwa dia dapat menyelesaikan permasalahan biaya hidup yang mendesak.
YouGov merilis survei yang menjangkau 2.488 orang dewasa pada Senin (5/9). Jajak pendapat itu menemukan, 27 persen responden meyakini bahwa kinerja Truss akan lebih buruk dari Johnson. Hingga 40 persen warga juga menduga dia tak akan berbeda dari Johnson.
Truss mengaku menggemakan harapan publik saat berpidato usai kemenangannya. Tetapi, YouGov mencatat, hanya ada satu dari lima warga yang memprediksi keringanan biaya hidup selama pemerintahan Truss.
"Saya tahu bahwa keyakinan kami menggema dengan orang-orang Inggris: keyakinan kami pada kebebasan, pada kemampuan untuk mengendalikan hidup Anda sendiri, pajak yang rendah, dalam tanggung jawab pribadi," ungkap Truss, dikutip dari Reuters.
ADVERTISEMENT