Lombok Utara, Bertahan Digempur Gempa

27 Agustus 2018 9:32 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kerusakan akibat gempa di Lombok. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusakan akibat gempa di Lombok. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
ADVERTISEMENT
Azan isya berkumandang dari Masjid Jihaddul Islam Dusun Kopang, Desa Medana, Lombok Utara.
ADVERTISEMENT
Marzuan, tokoh agama desa itu, bergegas mengayuh sepeda ke masjid yang hanya berjarak sekitar 100 meter. Sedikit pun tak ada firasat buruk terlintas di benaknya.
Di rumah Marzuan, lantunan ayat suci terdengar dari belasan anak yang sedang mengaji. Sementara di masjid, rakaat demi rakaat berjalan lancar.
Usai salat berjemaah, Marzuan kembali mengayuh sepeda menuju pelataran belakang rumah, sedangkan anak-anak masih berkerumun di teras depan rumahnya. Semua tampak tenang seperti biasa.
Namun, ketenangan malam itu seketika berubah. Gempa berkekuatan 7 magnitudo mengguncang Pulau Seribu Masjid pada Minggu (5/8) pukul 19.46 WITA. Pusat gempa berjarak 18 kilometer barat laut Lombok Timur dengan kedalaman 15 kilometer.
Marzuan segera mengempaskan sepeda ke tanah, lalu berlari sejauh 8 meter menuju anak-anak yang telah berhamburan ke jalanan. Bapak-bapak yang tengah asyik menonton MotoGP di berugak--sejenis balai dari kayu--pun sontak berdiri berlari tanpa sempat menyaksikan kemenangan Andrea Dovisioso.
ADVERTISEMENT
Jerit histeris dan isak tangis pecah memenuhi udara. Malam tenang itu sekejap berubah menjadi malam penuh petaka.
“Rasanya sangat susah digambarkan. Semua histeris, di luar saling takbir, saling rangkul. Sementara suara bangunan rubuh terus terdengar,” tutur Marzuan kepada kumparan di atas puing rumahnya, Rabu (22/8).
Malam kian mencekam saat listrik padam. Di tengah kegelapan, warga berupaya menyelamatkan diri sambil mencari sanak keluarga yang terpisah. Gemuruh gempa dan suara reruntuhan bangunan menyertai isak tangis bercampur takbir yang tak putus-putus.
Suasana bertambah kacau ketika kabar buruk beredar. Desas-desus menyebar, menyebut tsunami akan menerjang dalam lima menit.
Warga dari kaki bukit datang mengabarkan, air laut sudah surut, pertanda bakal terjadi tsunami. Sementara warga dari atas bukit turun pontang-panting karena takut bukit longsor.
ADVERTISEMENT
Mereka langsung mencari tanah lapang sekitar satu kilometer ke atas bukit--tempat yang dirasa aman jika tsunami benar datang.
Sebagian warga membawa motor atau mobil, sedangkan sebagian lainnya berlari. Ada yang jatuh, terinjak, terkena reruntuhan, bahkan tertabrak. Bencana tak terhindarkan.
Sementara di lokasi evakuasi, ketakutan tak serta-merta sirna. Bayangan akan rubuhnya pohon kelapa karena angin kencang, menghantui. Di atas tanah yang masih terus bergetar, warga saling berpelukan dan menguatkan diri satu sama lain.
Suara tangis dan selawat campur jadi satu, berharap gempa cepat berakhir.
“Kami belum pernah merasakan gempa yang begitu dahsyatnya. Ibu-ibu terutama membayangkannya sudah seperti akan kiamat. Apalagi gempa nggak berhenti, dan intensitasnya sering dan besar,” ujar Marzuan.
ADVERTISEMENT
Malam itu, nyaris tak ada yang bisa memejamkan mata sama sekali.
Marzuan, tokoh agama Desa Medana, Lombok Utara. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Marzuan, tokoh agama Desa Medana, Lombok Utara. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Setelah empat jam berada di tempat evakuasi, Kepala Dusun Kopang, Azahar, dan Sekretaris Desa Medana, Agus Susanto, berupaya membangun tenda darurat agar warga bisa berteduh. Saat itu gempa telah mulai reda dan status potensi tsunami sudah dicabut.
Azahar dan Agus turun mencari lokasi untuk mendirikan tenda darurat. Setelah menemukan lokasi yang pas, puing-puing bangunan di titik itu dibersihkan. Rangka tenda dari kayu bekas reruntuhan rumah dibangun di sana, sementara terpal yang tertimbun reruntuhan dijadikan atap dan alas.
“Terpal ini dulu bantuan dari pemerintah waktu (gempa) tahun 2013. Itu disimpan sama warga dan sekarang kami pakai,” ujar Azahar.
ADVERTISEMENT
Namun meski tenda sudah berdiri, warga tak langsung berani datang. Butuh waktu untuk meyakinkan mereka bahwa berteduh di bawah tenda adalah pilihan yang lebih aman.
Bertahan di bawah tenda
Pagi datang. Rasa tenang sedikit terbit setelah semalaman didera guncangan yang begitu mencekam di tengah kegelapan.
Walau begitu, tangis tak tertahankan. Air mata kembali mengalir melihat rumah-rumah yang luluh lantak menjadi puing-puing. Masjid Jihaddul Islam yang semula tegak berdiri, hancur berkeping-keping.
Di Dusun Gol, sebelah Dusun Kopang, beberapa rumah bantuan dari pemerintah Qatar saat gempa 2013 yang diklaim tahan gempa, pun bernasib serupa. Rumah-rumah itu nyaris semua runtuh, rata dengan tanah. Tak mampu menangkal gempa dahsyat malam itu.
Suasana pengungsian korban gempa Lombok. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pengungsian korban gempa Lombok. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Selepas gempa besar, warga Lombok Utara harus bertahan di bawah tenda, berdesakan dengan penduduk lain yang senasib sepenanggungan dalam derita. Warga di RT 1 Desa Medana, misalnya, mesti berbagi tenda di bawah terpal berukuran 9 x 4 meter yang diperuntukkan bagi 95 orang jiwa.
ADVERTISEMENT
Cobaan lain yang harus dihadapi adalah matinya air PDAM. Padahal air itu selama ini menjadi tumpuan sumber air bersih. Dan seolah derita belum cukup, sumur resapan yang berada di dalam masjid ikut hancur. Hanya tersisa satu sumur dengan kondisi air terbatas. Maka air sungai menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Untuk urusan makan, warga di pengungsian memanfaatkan hasil bumi yang masih ada. Saat itu, bantuan logistik dari pemerintah belum datang.
“Keesokan hari sesudah gempa, hampir tidak ada bantuan sama sekali. Pertama, listrik mati total sampai satu minggu. Kedua, air minum total enggak ada,” ujar Sekretaris Desa Medana, Agus Susanto.
Bantuan logistik dari pemerintah baru datang sekitar 3-4 hari setelah gempa. Itu pun, menurut Agus, dalam jumlah yang sangat kurang.
ADVERTISEMENT
Desa Medana terdiri dari sembilan dusun, sementara bantuan yang datang hanya sekitar satu mobil pikap untuk satu desa. Bantuan yang datang kala itu adalah beras, mi instan, dan air kemasan.
Kerusakan akibat gempa di Lombok. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kerusakan akibat gempa di Lombok. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Bantuan pemerintah yang dirasa tidak mencukupi itu membuat warga Medana mencoba menghubungi saudara atau teman untuk meminta logistik tambahan.
Selanjutnya, beberapa kelompok relawan sudah mulai masuk dan menambah logistik. Mereka menggunakan kompor gas yang masih bisa diselamatkan untuk memasak bersama. Sementara MCK (mandi, cuci, kakus) dibuat di tengah puing-puing bekas permukiman warga.
Warga dan relawan memanfaatkan kamar mandi dengan tembok yang tersisa separuh untuk dijadikan MCK, sedangkan triplek bekas dijadikan pintu penutup.
Saat ini, MCK di Medana masih kurang, dan Agus berharap hal tersebut dapat segera ditangani. Jika tidak, bukan tak mungkin bakal banyak warga terjangkit penyakit. Apalagi air bersih pun minim.
Seribu Gempa di Lombok (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Seribu Gempa di Lombok (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Trauma jelang malam
ADVERTISEMENT
Di sudut desa lain, pilu tak kalah mengiris hati. Suwarsah, Ketua RT di Dusun Telaga Maluku, Desa Rempek, Lombok Utara, kehilangan adik dan kemenakannya. Sang adik, Renawati (28), dan kemenakannya, Daren Imbrapasa (13), tewas tertimpa tembok setinggi lima meter.
Renawati dan Daren tidak bisa selamat setelah tertimbun reruntuhan. Beruntung, anak bungsu Renawati, Irenda Nesyla Imran (3), selamat setelah dilempar ibunya agar ia tak ikut tertimbun.
“Di sana saya temukan adik saya meninggal. Keponakan saya juga meninggal. Paginya puing-puing dibongkar sama teman-teman. Adik saya meninggal karena tertimpa tembok,” kata Suwarsah di posko pengungsian, Kamis (23/8).
ADVERTISEMENT
Suwarsah sangat terpukul. Gempa tak hanya meluluhlantakkan rumahnya, tapi juga merenggut nyawa sanak keluarganya. Kepergian sang adik menjadi pukulan teramat berat.
“Kenapa bukan saya yang tertimbun?” ujar Suwarsah sendu seraya menyeka air mata.
Suwarsah begitu trauma. Ia tak berani melewati lokasi yang merenggut nyawa adiknya itu. “Masih enggak berani saya ke sana. Kalau disuruh masuk, enggak deh.”
Suwarsah, Ketua RT di Desa Rempek, Lombok Utara. Ia trauma karena adik dan kemenakannya tewas dalam gempa. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suwarsah, Ketua RT di Desa Rempek, Lombok Utara. Ia trauma karena adik dan kemenakannya tewas dalam gempa. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Bagi warga Dusun Telaga Maluku, malam jadi identik dengan bau marabahaya. Jika malam datang, mereka memilih berada dalam tenda dan menunggu pagi. Kalau pun perlu keluar, hanya sekadar untuk buang air.
"Kalau udah magrib, ndak berani keluar posko. Kalau berempat atau berlima, kami pergi keluar baru berani,” kata Suwarsah.
ADVERTISEMENT
Nanda (20), warga setempat, mengamini cerita Suwarsah. Menurutnya, sebagian besar warga dusun itu memang mengalami trauma cukup berat. Trauma juga dialami sebagian anak-anak.
“Mereka takut kalau malam sudah datang,” ujarnya.
Sebagian anak-anak itu tak berani pergi ke kamar mandi, juga tak berani dekat-dekat dengan rumah bertembok. Mereka takut gempa datang dan tembok seketika rubuh menimpa tubuh mereka.
Suasana pengungsian Gempa di Lombok (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pengungsian Gempa di Lombok (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Kehidupan normal anak-anak Lombok Utara jadi terenggut. Bayak Tedi Arya, contohnya. Murid kelas 2 SMP itu tak bisa sekolah karena bangunan sekolahnya hancur.
Di tenda pengungsian, Bayak hanya bisa bermain ala kadarnya. Ia pun harus membantu orang tuanya membersihkan puing rumah.
“Kangen sekolah, kangen Bu Guru. Kangen bermain sama teman-teman di sekolah,” ujar Bayak sedih.
ADVERTISEMENT
Bayak hanya satu di antara banyak anak-anak lain yang bernasib serupa. Kini mereka hanya bisa menunggu sekolah kembali berfungsi, dan berharap masa sulit ini cepat terlewati.
Warga Lombok Utara membersihkan reruntuhan bangunan. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Warga Lombok Utara membersihkan reruntuhan bangunan. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
Saatnya bangkit
Tak mau terlalu lama larut dalam kesedihan, sebagian warga berangsur-angsur beraktivitas seperti biasa. Mereka mulai kembali membangun rumahnya meski hanya dengan bahan-bahan sederhana, semisal memanfaatkan kayu bekas sebagai pondasi, serta jerami untuk atap.
Beberapa di antara warga juga mulai berjualan kembali untuk menambah penghasilan agar bisa bertahan hidup. Mereka sadar betul bantuan dari pemerintah dan relawan tidak selamanya akan datang. Bekerja adalah pilihan terbaik.
“Walaupun masih sedikit, pasar sudah mulai buka,” ujar Agus. Perputaran ekonomi di Desa Medana, menurut Agus, sudah mulai dibangun kembali.
ADVERTISEMENT
Warga Lombok Utara yang beternak dan bertani pun mulai kembali beraktivitas, sementara para buruh mendapat bayaran harian dengan membantu membersihkan puing-puing bangunan.
Pedagang kembali berjualan di Pasar Tanjung, Lombok Utara (Foto: ANTARAFOTO/Zabur Karuru)
zoom-in-whitePerbesar
Pedagang kembali berjualan di Pasar Tanjung, Lombok Utara (Foto: ANTARAFOTO/Zabur Karuru)
Di dusun lain, Bagek Kembar Kecamatan Kayangan, Win Ardi sudah kembali menjual hasil buminya. Ia juga mulai mengirim jagung olahannya ke Bali.
“Lumayan untuk menambah penghasilan,” ujar Win Ardi.
Ya, Win Ardi adalah satu di antara warga Lombok Utara yang mulai bangkit. Ia tak mau terus menangis di tenda pengungsian.
“Kini saatnya untuk bangkit karena air mata itu sudah tidak bisa diceritakan kembali,” kata Win, tegas.
ADVERTISEMENT
Wartawan kumparan bersama anak-anak korban gempa di pengungsian Lombok Utara. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Wartawan kumparan bersama anak-anak korban gempa di pengungsian Lombok Utara. (Foto: Dwi Herlambang/kumparan)
------------------------
Simak selengkapnya upaya Lombok Bangkit dari keterpurukan pasca-gempa dalam Liputan Khusus kumparan.