Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.0
Longsor Puncak dan Petaka Alih Fungsi Lahan
1 Maret 2018 12:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Deretan gubuk menggantung di tebing kawasan Puncak, tepatnya di tepi jalan raya Bogor-Sukabumi, Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Gubuk-gubuk itu hanya disangga bambu dan kayu tak beraturan, yang jelas dibangun tanpa perhitungan.
ADVERTISEMENT
Pada salah satu gubuk itu, Mukhtar menghabiskan separuh hidupnya. Ia sudah tinggal di sana 30 tahun lebih, hingga berkeluarga dan beranak sembilan. Mukhtar bisa jadi akan selamanya berdiam di situ, andai musibah tak singgah.
Pekan pertama Februari 2018, gubuk Mukhtar rontok ke jurang. Habis tak bersisa. Masih untung tak ada nyawa melayang. Rahmat Tuhan dan kesiagaan istri Muchtar, Acha, menolong mereka sekeluarga.
Senin Subuh itu, Acha bangun dan menyadari ada retakan di lantai. Ia dengan panik langsung membangunkan Mukhtar, sembilan anaknya, dan dua keponakan yang sedang menginap. Tak membuang waktu, semua keluar menyelamatkan diri dari gubuk tempat mereka berlindung selama ini.
Kini setelah rumahnya habis termakan longsor, Mukhtar dan keluarganya pindah. Tapi episode tinggal di gubuk berbahaya tak berlalu. Sebab Mukhtar hanya bergeser ke seberang jalan, tepat di depan gubuknya yang longsor, untuk tinggal di bangunan yang sama rawan dengan rumahnya yang terdahulu.
ADVERTISEMENT
“Mau pindah ke mana lagi? Kami enggak punya tempat tinggal, sudah turun-temurun di sini, jualan nasi di sini,” kata Mukhtar kepada kumparan di gubuk barunya, Jumat (9/2). Gurat lelah terpampang di wajah lelaki itu.
Pada hari yang sama dengan robohnya rumah Mukhtar, ada empat titik longsor lain di kawasan Puncak . Bencana itu menewaskan 4 orang, melukai 4 orang, menghancurkan sejumlah bangunan, dan menyebabkan penutupan jalur Puncak yang tentu menyulitkan masyarakat setempat.
Lima titik longsor yang disorot itu ternyata belum semua. Ada puluhan lainnya, termasuk di kawasan perkebunan, yang tak terekspose dari tahun ke tahun. Pokoknya, longsor sudah langganan menyambangi Puncak saban musim hujan datang.
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari, titik-titik longsor itu menyebar, membesar, dan makin berbahaya. Pun sebelum korban jiwa jatuh, indikasi bahaya sesungguhnya mengintai sejak jauh hari.
Seperti biasa, dalam tiap bencana, kebanyakan manusia cenderung menyalahkan alam. Pun pada bencana longsor Puncak yang terjadi Senin (5/2). Saat itu, curah hujan tinggi jadi kambing hitam.
Memang, hujan tak henti mengguyur Puncak semalam suntuk, seperti juga terjadi di mayoritas wilayah Jabodetabek. Tapi sebetulnya, curah hujan itu tak berubah signifikan dari tahun ke tahun. Logikanya, hujan lebat saja tak bisa jadi penyebab rentetan longsor Puncak.
Soal intensitas curah hujan di Puncak yang cenderung konstan itu tercantum dalam penelitian Ernan Rustiadi , Kepala Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Institut Pertanian Bogor.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian yang ia lakukan menunjukkan, intensitas curah hujan Puncak pada periode 1990-2000 dan sepuluh tahun berikutnya tak mengalami peningkatan berarti, ada di kisaran rata-rata saja.
“Tapi longsor skala raksasa terus-menerus terjadi dan berlanjut. Tidak semua jadi pemberitaan karena mungkin kebetulan di area perkebunan yang jauh dari jalan, bukan permukiman, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Namun itu semua indikasi bahwa area ini (Puncak) sudah melewati daya dukung lingkungan,” kata Ernan di kantornya, Bogor, Kamis (15/2).
Artinya, terdapat petunjuk jelas bahwa longsor disebabkan oleh alih fungsi penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan daya dukung atau kelas kemampuan lahan terkait.
Suatu lahan, jelas Ernan, punya kelas kemampuan berbeda-beda. Ada lahan dengan kelas kemampuan tinggi yang cocok dan mampu digunakan untuk apa saja, termasuk permukiman penduduk.
ADVERTISEMENT
Ada lagi lahan dengan kelas yang hanya bisa digunakan sebagai perkebunan. Ada pula lahan yang kemampuannya sebatas untuk dijadikan hutan karena ia mudah longsor atau memang memiliki fungsi lindung.
Pemanfaatan lahan tak sesuai kelasnya itulah yang terjadi di Puncak. Kawasan Puncak, ujar Ernan, ialah bentang alam dengan kekuatan lahan atau daya dukung rendah yang seharusnya tidak boleh digunakan secara intensif.
Hal tersebut diamini Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Rudy Suhendar. Secara terpisah, ia mengatakan bahwa bebatuan di Puncak secara geologi memang mudah longsor, sehingga lahan di area itu tak dapat digunakan secara serampangan.
ADVERTISEMENT
Tegasnya: kawasan Puncak bukan untuk dieksploitasi.
Apalagi Puncak memiliki fungsi sebagai pelindung dan penyangga kehidupan, antara lain untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Fungsi itu telah tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Maka, peran penting Puncak sebagai ‘jantung kehidupan’ bagi seluruh wilayah Jabodetabek tak terbantahkan.
Sayangnya, itu di atas kertas. Nyatanya, hutan di kawasan Puncak, di hulu Sungai Ciliwung, kian terkikis. Ia ditebas sedikit demi sedikit hingga makin tipis.
ADVERTISEMENT
Ada sebab, tentu ada akibat. Penggunaan lahan yang awur-awuran itu pada akhirnya memunculkan efek domino yang kian besar dari tahun ke tahun.
Ucapan Ernan sama sekali bukan bualan. Berdasarkan citra satelit pengindraan jauh ALOS yang ditangkap tahun 2009 dan diolah oleh Forest Watch Indonesia , terdapat alih fungsi hutan lindung di kawasan Puncak, hulu daerah aliran Sungai Ciliwung, seluas 1.577 hektare.
Dari 1.577 hektare alih fungsi hutan lindung itu, sebanyak 54 hektare menjadi semak, 879 hektare menjadi perkebunan, 322 hektare menjadi tegalan atau ladang, dan 321 hektare menjadi permukiman.
Alih fungsi di kawasan Puncak tak hanya terjadi pada hutan lindung, tapi juga hutan konservasi yang berfungsi memelihara keragaman ekosistem flora dan fauna, semisal sebagai taman wisata alam, taman nasional, dan cagar alam.
ADVERTISEMENT
Hutan konservasi di Puncak yang mengalami alih fungsi mencapai 409 hektare, dengan rincian 337 hektare menjadi perkebunan dan 71 hektare menjadi permukiman.
Penggunaan lahan tak sesuai kelasnya itu mayoritas terjadi di dua desa, yakni Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan di Cisarua. “Area ini paling atas. Hutannya masih cukup luas,” kata Ernan.
Itu sebabnya longsor di kedua desa tersebut paling parah. Lebih buruk lagi, fungsi hutan lindung di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan justru tidak didukung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2016-2036 yang baru--pengganti Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2005-2025.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2016-2036, terdapat 200 hektare hutan lindung yang berubah fungsi menjadi hutan konservasi. Padahal, fungsi hutan lindung sebagai penyangga lingkungan jelas akan berkurang jika berubah menjadi hutan konservasi, sebab hutan konservasi mencakup fungsi wisata
Selain alih fungsi menjadi hutan konservasi, hutan lindung seluas 300 hektare juga berubah menjadi hutan produksi yang isinya dapat diambil dan diolah. Kasarnya: dieksploitasi.
Namun alih fungsi terbesar terjadi pada 700 hektare hutan lindung yang berubah menjadi perkebunan--eksploitasi maksimal pada lahan dengan daya dukung tak mumpuni.
Analisis Forest Watch Indonesia memperlihatkan, total deforestasi di hamparan daerah aliran Sungai Ciliwung jika diakumulasikan dari tahun 2000 hingga 2016 mencapai 5.000 hektare lebih, alias menyisakan 3 hektare saja dari total luas DAS Ciliwung--yang kalau dipersentasekan hanya 8,9 persen!
ADVERTISEMENT
Jika tren penyusutan hutan dan inkosistensi tata ruang itu terus berlanjut, tak mustahil ancaman bahaya kian gawat pada tahun-tahun berikutnya.
Petaka lebih besar di masa depan, ujar Rudy, bisa dicegah dengan mengembalikan fungsi lahan kawasan Puncak sebagai hutan lindung.
Ernan sepakat. “Harus ada penataan kembali atas tata ruang di Puncak secara rinci. Harus jelas mana koridor-koridor yang jadi urat-urat nadi sumber air, dan mana daerah rawan longsor yang harus dikuatkan hutannya.”
ADVERTISEMENT
Namun, pengembalian Puncak sebagai kawasan lindung sepertinya tak akan mudah dilakukan, dan mungkin tak dapat direalisasikan dalam waktu dekat. Sebab, seperti disinggung di atas, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor justru tak memiliki semangat serupa.
Yang lebih mengherankan, menurut Forest Watch Indonesia, terdapat 939 hektare lahan yang di lapangan berupa hutan, namun dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor 2016-2036 justru masuk kategori area penggunaan lain (APL) yang artinya: bisa difungsikan untuk apa saja!
ADVERTISEMENT
Belum lagi penggunaan fungsi lahan tanpa izin atau ilegal seperti vila di kawasan lindung atau bangunan ilegal di perkebunan.
Soal perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor yang tak menopang kawasan hutan lindung di Puncak itu, menurut Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Bogor Ajat Rochmat Jatnika, daerah hanya mengikuti pusat.
“Mengikuti aturan di atas yang ditetapkan melalui SK (Surat Keputusan) Menteri (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan kondisi di lapangan,” ujar Ajat di Cibinong, Bogor, Selasa (27/2). SK kementerian itu lebih menekankan penggunaan hutan untuk produksi.
Kabupaten Bogor tak mau disalahkan sendiri dalam kisruh tata ruang Puncak. Dan pengelolaan kawasan Puncak memang berada di tangan sejumlah pihak seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Perum Perhutani, serta Pemerintah Kabupaten Bogor.
ADVERTISEMENT
Sementara KLHK mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Berdasarkan Perpres tersebut, ujar Direktur Rencana Penggunaan dan Pembentukan Wilayah Pengelolaan Hutan KLHK Kustanta Budi Prihatno, cakupan kawasan hutan lindung di Puncak “tidak hanya kawasan hutan, tapi juga permukiman, kebun teh, dan lahan garapan masyarakat.”
Lebih lanjut, menurut Ernan, oleh karena Puncak berpengaruh besar pada wilayah Jakarta, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus ikut bekerja sama dalam menjaga kawasan Puncak.
“Biaya pengendalian harus jadi tanggung jawab bersama, Kabupaten di Bogor maupun pemerintah pusat di hilir. Kabupaten Bogor tidak mau menanggung semua karena ini kepentingan bersama,” kata Ernan.
ADVERTISEMENT
Sengkarut Puncak tak hanya buah dari saling lempar tanggung jawab antara pihak terkait, namun juga karena tumpang tindihnya peraturan antara Peraturan Presiden, SK Menteri, dan Peraturan Daerah.
Akibatnya, fungsi 1.700 hektare lahan di Puncak tak jelas, apakah sebagai hutan lindung atau hutan produksi. Dan ujungnya: masyarakat jadi korban.
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.