Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Malam itu, 20 Mei 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi arahan kepada para menterinya di sebuah ruangan di Gelora Bung Karno, Jakarta. Kala itu GBK baru saja menjadi lokasi gelaran kolosal peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Pada acara tersebut, beberapa menteri SBY menjadi panitia, termasuk M. Nuh .
“Selesai acara, Pak SBY bilang pada kami (panitia Harkitnas), ‘Mulai sekarang, coba kita pikirkan 100 tahun Indonesia merdeka—2045,’” kata Nuh, menceritakan pesan SBY itu kepada kumparan, Kamis (16/2). Pada 2008 itu Nuh masih menjabat sebagai Menkominfo.
Ia masih ingat betul rangkaian peristiwa malam itu, karena itulah momen Indonesia mempersiapkan diri jelang 100 tahun kemerdekaan. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pascapemilu 2009, Nuh kembali dipercaya masuk kabinet oleh SBY, kali ini sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia pun mempersiapkan sejumlah program untuk meningkatkan kapasitas SDM Indonesia, misalnya lewat beasiswa Bidikmisi yang menarget mahasiswa berprestasi dari keluarga tidak mampu.
“Bagaimana caranya agar anak miskin bisa kuliah. Dalam program 100 hari, kami luncurkan Bidikmisi. Tahun 2010 kami alokasikan kira-kira 75.000 beasiswa,” kata Nuh.
Nuh juga ingin cakupan penerima beasiswa diperluas. Begitu pula tujuan beasiswa bukan hanya perguruan tinggi dalam negeri, melainkan juga perguruan tinggi luar negeri.
Semua itu agar kapasitas SDM RI meningkat signifikan. Apalagi Bappenas dan BPS memproyeksikan demografi penduduk Indonesia yang berusia produktif (15–64 tahun) pada 2045 mencapai 70% dari total populasi Indonesia.
Demografi tersebut bisa jadi modal bagi Indonesia untuk menjadi negara maju. Namun, bisa juga jadi bumerang apabila SDM produktif tersebut tidak berkualitas. Bahkan, kualitas SDM RI yang minim ini pernah membuat Sri Mulyani minder ketika bertemu sesama Menteri Keuangan di kawasan ASEAN.
“Ngobrol sama Menteri Keuangan Malaysia dan Singapura; mereka dengan bangga cerita kirim 100 orang ke Development School of Economics. Terus saya balik ke [kantor] Kementerian Keuangan, saya tanya berapa S-3 di tempat saya yang lulusan luar negeri. Waktu itu tidak sampai 5 orang,” kata Sri Mulyani dalam sambutannya di acara Studium Generale LPDP 2020.
Mimpi menyekolahkan anak muda Indonesia ke jenjang lebih tinggi, S-2 dan S-3, khususnya di luar negeri, jelas membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Dari visi jangka panjang tersebut, tercetuslah ide dana abadi pendidikan.
Pada awal kabinet SBY jilid II terbentuk, Nuh kerap berdiskusi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai model dana abadi pendidikan. Keduanya sepakat dana abadi diambil dari 20% anggaran pendidikan di APBN.
Rencana menyisihkan anggaran pendidikan bukan tanpa tantangan. Saat itu, Komisi X DPR sempat mempertanyakan urgensi dana abadi di tengah masih banyaknya sekolah yang rusak. Menjawab skeptisisme itu, Nuh pun menyampaikan argumen.
“Saya bilang, ‘Mbah saya dulu berpesan: kalau kamu punya uang, jangan kamu habiskan semuanya; kamu sisihkan sebagian, bisa jadi suatu saat ada kebutuhan yang lebih mendesak, lebih penting’. Akhirnya disepakati setiap tahun sisihkan anggaran Kemdikbud Rp 4–5 triliun [untuk dana abadi pendidikan],” kata Nuh.
Anggaran pendidikan mulai disisihkan untuk dana abadi pendidikan saat pembahasan APBN-Perubahan 2010. Saat itu Menteri Keuangan dijabat Agus Martowardojo.
Kala itu Nuh enggan bila kementeriannya menjadi pengelola dana abadi pendidikan meski dana tersebut jelas-jelas untuk “pendidikan”. Menurut Nuh, pengelolaan uang di Kemdikbud akan menjadi sumber fitnah.
Diskusi soal siapa yang patut diserahi tanggung jawab mengelola dana jumbo tersebut sampai melibatkan SBY. Akhirnya, disepakatilah untuk membentuk Badan Layanan Umum agar lebih fleksibel dalam mengelola anggaran.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang bertujuan melayani masyarakat melalui penyediaan barang dan/atau jasa tanpa mengedepankan keuntungan.
Penetapan BLU untuk mengelola dana abadi itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Pendidikan yang diteken Menkeu Agus Martowardojo pada 28 Desember 2011.
BLU tersebut kini dikenal dengan nama: Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
LPDP ditugaskan menyalurkan dana abadi pendidikan tersebut untuk 3 kepentingan: pemberian beasiswa S-2 dan S-3 di dalam dan luar negeri, pendanaan riset strategis, dan penyediaan dana darurat untuk renovasi sekolah atau perguruan tinggi yang terkena bencana.
Sejauh ini, LPDP telah mengelola dana abadi pendidikan sebesar Rp 120 triliun. Dari jumlah itu, dana yang sudah dikucurkan untuk beasiswa S-2 dan S-3 sejak 2013 mencapai Rp 18 triliun.
Total jumlah penerima beasiswa atau awardee LPDP sepanjang 2013–2022 sebanyak 35.536 orang. Mayoritas (52%) menempuh S-2 dan S-3 di luar negeri. Tiga negara yang paling banyak dituju awardees yaitu Inggris (4.738 orang), Australia (2.659 orang), dan Belanda (1.947 orang).
Harus Kembali ke Indonesia
Bagi calon penerima beasiswa yang berencana kuliah di luar negeri, mereka sejak awal proses seleksi diminta meneken surat pernyataan berisi komitmen untuk kembali ke Indonesia setelah lulus—maksimal 90 hari sejak tanggal kelulusan.
Pendaftar beasiswa juga harus menulis esai mengenai rencana kontribusinya untuk Indonesia selepas masa studi.
LPDP mensyaratkan awardee untuk kembali ke Indonesia dan mengabdi di Indonesia dengan perhitungan: 2 kali masa studi ditambah 1 tahun. Artinya, apabila masa studi awardee 2 tahun, maka ia harus bekerja di Indonesia selama: 2 x 2 tahun + 1 tahun = 5 tahun.
“Begitu mereka lulus, maka harus kembali [ke Indonesia] karena sebenarnya mereka berutang [kepada negara],” kata Direktur Beasiswa LPDP Dwi Larso kepada kumparan, Jumat (17/2).
Namun, belakangan tiap tahun muncul kabar bahwa ada saja awardee yang tak kunjung pulang meski masa studinya di luar negeri telah usai. Sejak awal beasiswa digelontorkan pada 2013, LPDP mencatat awardee yang belum kembali ke Indonesia sebanyak 419 orang. Artinya, selama satu dekade terakhir, rata-rata 41 awardees tiap tahunnya tak pulang usai studi.
LPDP telah menghubungi dan menyurati 419 awardees tersebut. Dari jumlah itu, 155 orang bersedia kembali, 33 orang mengatakan sedang studi lanjutan, 6 orang tengah mengambil magang selama setengah sampai satu tahun.
“Magang diizinkan, cuma kadang-kadang mereka enggak minta izin,” kata Dwi Larso.
Berdasarkan data terkini, awardees yang belum menindaklanjuti teguran LPDP untuk segera pulang berjumlah 164 orang. Beberapa di antaranya beralasan sedang berobat. Ada pula yang hendak menunggu istrinya melahirkan dua bulan lagi.
Dari 164 awardees itu, 4 orang di antaranya disanksi mengembalikan dana beasiswa. Termasuk di antara mereka adalah aktivis HAM Veronica Koman yang jadi buronan Interpol. Menurut Dwi Larso, Veronica dan dua awardees lain telah melunasi biaya beasiswa, sementara sisa satu awardee belum ada kabar.
“Yang sudah kami beri hukuman memang kecil [jumlahnya], tapi kami anggap ini masalah serius karena dia mengingkari perjanjian padahal [beasiswanya] menggunakan dana rakyat Indonesia,” ujar Dwi Larso.
Para awardee yang enggan kembali ke Indonesia atau menunda-nunda kepulangan punya ragam alasan. Argumen yang paling sering muncul ialah: keahlian yang tak terpakai ketika kembali ke Indonesia, perbedaan pendapatan yang jomplang antara di Indonesia dan luar negeri, serta iklim riset di Indonesia yang tidak mendukung.
“Awardee pasti bilangnya ‘Saya punya potensi—di luar negeri saya dipakai, di Indonesia malah ditelantarkan,’” kata M. Farhan Azis, alumni LPDP yang menempuh studi kebijakan publik di Universitas Edinburgh, Skotlandia.
Persoalan generasi muda yang memilih berkarier di luar negeri karena iklim domestik yang tidak mendukung merupakan bagian dari fenomena brain drain yang kerap terjadi di negara-negara berkembang. China tak terkecuali.
Dikutip dari situs web Stanford University, jumlah mahasiswa China yang belajar di luar negeri mencapai lebih dari 1 juta orang, namun hanya sekitar 275 ribu orang yang kembali. Mereka beralasan standar hidup di China rendah, situasi politik tidak stabil, kesempatan kerja dan pendapatan tidak menarik, serta sistem pendidikan dan lingkungan kerja tidak menawarkan banyak peluang untuk masa depan anak-anak mereka.
Pemerintah China kemudian menawarkan program Thousand Talents Plan kepada para pemuda mereka di luar negeri untuk mengubah brain drain menjadi brain gain. Program China ini menawarkan peningkatan kualitas sekolah dan standar hidup, pendapatan di atas rata-rata, dan insentif 1 juta yuan atau Rp 2 miliar bagi mereka yang terpilih.
Brain drain juga terjadi di Indonesia, terutama pada 1960-an imbas peristiwa politik. Kala itu, mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ikut program Beasiswa Ikatan Dinas dan dikirim pemerintah Sukarno untuk belajar ke negara-negara Blok Timur seperti Rusia dan Ceko, mendadak tidak bisa atau tidak boleh pulang lantaran dituduh komunis.
Sementara dalam program beasiswa yang diluncurkan B.J. Habibie saat ia menjabat Menristek, ratusan remaja potensial dikirim belajar ke luar negeri. Namun, beberapa di antara mereka tak langsung pulang dan memilih bekerja di berbagai perusahaan di Amerika Serikat.
Pemerhati pendidikan dan Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS) Indra Charismiadji berpendapat, keputusan penerima beasiswa untuk tak segera pulang dan berkarier di luar negeri bukanlah kesalahan dia semata.
Indra menilai, pertimbangan awardees juga realistis. Ekosistem domestik yang tak mendukung tentu dapat membuat masa depan suram, termasuk pula gaji yang jauh lebih rendah, fasilitas riset yang tak memadai, dan jenjang karier yang belum jelas.
M. Nuh menyatakan, para awardee LPDP memang sudah terikat kontrak untuk kembali ke Indonesia usai studi, namun ekosistem domestik juga harus mampu memaksimalkan penyerapan keahlian mereka. Dengan demikian, keinginan pulang membangun negeri dengan sendirinya menjadi panggilan jiwa, bukan keterpaksaan.
Ia menganalogikan hal iniseperti memindah tanaman subur dari tempat lama ke tempat baru. Apabila ekosistemnya sudah disiapkan dengan baik, maka tanaman akan tetap tumbuh subur. Sebaliknya, jika dipindah asal saja, tanaman bisa layu bahkan mati.
“Perlu menyiapkan ekosistem yang bottom-up… sehingga mereka (awardees) bukan diminta untuk kembali, tapi justru mereka yang ingin kembali,” ucap Nuh.
Pakta integritas yang mewajibkan awardee kembali usai studi di luar negeri memang harus dihormati. Meski demikian, menurut alumni LPDP Farhan Azis, batas maksimal awardee untuk kembali seharusnya bisa lebih longgar.
Saat ini batas waktu awardee untuk kembali ke Indonesia maksimal 90 hari usai kelulusan. Dalam pandangan Farhan, batas tersebut perlu ditarik hingga 1 tahun agar awardee bisa menimba pengalaman lebih matang melalui riset atau magang.
“Supaya punya pengalaman yang cukup ketika kembali,” ujar Farhan.
Direktur Beasiswa LPDP Dwi Larso menyatakan, lembaganya pasti mengizinkan awardee tinggal lebih lama di luar negeri untuk magang atau riset dengan syarat: 1) Riset/magang tersebut dapat berkontribusi untuk Indonesia; 2) Awardee harus melapor lebih dulu ke LPDP.
Bahkan, lanjut Dwi, hitungan 2 kali masa studi plus 1 tahun bisa berjalan sejak masa tersebut, tidak menunggu masa magang selesai.
Namun, apabila praktik magang atau riset itu tidak memiliki kontribusi atau manfaat untuk Indonesia, LPDP tidak akan mengizinkan, sebab saat ini Indonesia masih kekurangan lulusan S-2 dan S-3.
“Kalau [proporsi lulusan S-2 dan S-3 di Indonesia] sudah besar, mungkin bisa agak longgar. Tapi karena kecil, apalagi beasiswa ini memakai dana rakyat, tentu [awardee] harus kembali,” ucap Dwi.
Mengenai keengganan awardee kembali karena ekosistem domestik yang belum mendukung, Dwi memandangnya sebagai tanggung jawab semua pihak untuk memperbaiki hal tersebut.
Mata Garuda sebagai wadah alumni LPDP pun siap membantu para awardee yang mengalami kesulitan sepulangnya ke Indonesia.
Peta Jalan Kebutuhan SDM
Sepuluh tahun sudah triliunan rupiah anggaran negara disalurkan kepada para awardee LPDP. Jumlahnya jelas tak sedikit.
M. Nuh berpendapat, kini saatnya LPDP mengubah cara pandang dalam pemberian beasiswa dengan merancang peta jalan kebutuhan SDM. Dari situ, bisa diketahui keahlian apa saja yang masih kurang di Indonesia. Setelahnya, barulah beasiswa digelontorkan sesuai bidang yang dibutuhkan tersebut.
Perencanaan ketenagakerjaan (manpower planning) juga menyesuaikan dengan fokus pemerintah seperti digitalisasi, hilirisasi nikel untuk industri mobil listrik, sampai pengembangan energi baru terbarukan seperti panas bumi. Dengan demikian, porsi beasiswa diperbesar pada kebutuhan SDM di sektor-sektor tersebut.
“Kalau di awal [pembentukan LPDP] kan yang penting beasiswanya ada dulu. Tapi di tahap berikutnya, enggak cukup sekadar kasih beasiswa. Harus dipikir bidang apa saja yang paling urgen, dan SDM yang kita inginkan seperti apa,” jelas Nuh.
“Dan khusus bidang-bidang strategis, harus disiapkan beasiswa strategis, sehingga begitu awardee pulang, di sini keahliannya dinanti,” imbuh Nuh.
Menurut Indra Charismiadji, beasiswa memang tak perlu dikucurkan di semua bidang. Utamakan sektor-sektor yang dianggap krusial, lalu siapkan kebutuhan SDM sampai jenjang kariernya.
“Saya enggak pernah lihat dokumen Indonesia [yang berisi rencana] akan mengembangkan bidang tertentu sehingga butuh ahli sekian banyak, penempatannya di mana, dan pengembangan karier mereka bagaimana,” kata Indra
Ia menambahkan, awardee setelah lulus juga harus siap ditempatkan di luar kota-kota besar. Semisal seseorang mendapatkan beasiswa untuk menjadi ahli nikel, maka ia tak boleh menolak bila ditempatkan di Morowali, Sulawesi Tengah, yang merupakan daerah penghasil nikel.
Dwi mengakui LPDP belum memiliki manpower planning dalam penyaluran beasiswa. Peta jalan tersebut sedang disusun bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan ditargetkan selesai tahun ini.
Pada Desember 2021, Presiden Jokowi telah membentuk gugus tugas penyusunan Grand Design Manajemen Talenta Nasional 2022-2045, dengan fokus di bidang riset dan inovasi, seni budaya, serta olahraga. Di dalamnya, Bappenas menjadi leading sector. Namun, hingga kini grand design tersebut belum selesai disusun.
“Insyaallah [manpower planning] tahun ini [selesai]. Kami baru mulai prosesnya 2–3 bulan yang lalu,” kata Dwi.
Meski peta jalan masih disusun, LPDP sudah memiliki program beasiswa targeted khusus untuk memenuhi kekurangan SDM di area tertentu seperti dokter spesialis/subspesialis dan wirausaha. Beasiswa dokter spesialis diluncurkan untuk menutupi kekurangan 25.000 dokter spesialis di Indonesia.
“Jumlah dokter spesialis di Indonesia sangat kecil, memprihatinkan. Kami berikan beasiswa 1.000—500 untuk beasiswa pendidikannya dan 500 untuk dokter spesialis yang akan pergi fellowship maupun observership di luar negeri maupun dalam negeri,” terang Dwi.
Ada pula beasiswa targeted untuk PNS, TNI-Polri, dan ulama. Ke depannya apabila peta jalan kebutuhan SDM tela rampung, porsi beasiswa targeted akan diperbesar.
Sejauh ini, porsi beasiswa LPDP mayoritas (50% lebih) masih didominasi oleh program seleksi umum.
Mengukur Kontribusi Awardee
Tantangan lain yang perlu diperbaiki LPDP ialah membuat indikator untuk mengukur kontribusi awardee. Terlebih, LPDP sejak awal ingin mengembangkan kualitas SDM untuk menunjang percepatan pembangunan di Indonesia. Masalahnya, kriteria “menunjang percepatan pembangunan bangsa” ini dinilai masih abu-abu.
Farhan Azis sebagai alumni LPDP berpendapat, kontribusi awardee sebenarnya bisa ditakar dari implementasinya atas esai rencana kontribusi yang ia tulis ketika mendaftar beasiswa.
Sementara M. Nuh menyatakan, indikator untuk mengukur keberhasilan bisa dinilai dari “kontrak” antara LPDP dan awardee. Ini bisa termasuk esai rencana kontribusi sebagai janji yang harus ditepati awardee.
“Harus ditetapkan indikator apa yang menjadi kontrak antara penerima beasiswa dengan pemberi beasiswa sebagai konsekuensi integritas. Evaluasi: janjinya dulu apa, sekarang [kenyataannya] bagaimana? Kalau tidak bisa memenuhi janji, minta maaf dan diberi sanksi—bisa sanksi finansial atau nonfinansial,” usul Nuh.
Namun, menurut Dwi, menilai kontribusi awardee dari esai yang ia tulis saat mendaftar beasiswa tidaklah realistis, sebab sangat mungkin rencana awardee berubah selama kurun waktu ia menempuh studi.
Selama ini LPDP mengukur kontribusi awardee lewat tracer study atau survei alumni. Dalam survei itu, LPDP bertanya ke setiap alumni apakah pemasukan, kepangkatan, dan usaha yang mereka dapatkan/jalankan menjadi lebih baik setelah menjalani studi lanjutan.
Jika alumni tersebut seorang wirausaha, ia akan ditanya seberapa banyak karyawan dan seberapa luas jangkauan produk/jasa yang ia hasilkan. Sementara bila alumni itu PNS, ia akan diukur kepangkatannya; begitu pula dengan alumni yang bekerja di perusahaan swasta.
“Kami tanya: dulu posisi apa, kemudian sekarang apa? Apakah secara pangkat maupun pendapatan positif [naik]? Pendapatan pribadi kan untuk bayar pajak juga, jadi ada nilai tambah—yang ukurannya sebetulnya kemakmuran,” jelas Dwi.
Dwi menyatakan, LPDP berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas SDM Indonesia melalui pemberian beasiswa kepada generasi penerus bangsa. Sebagai gantinya, awardee wajib menuntaskan syarat berkontribusi untuk Indonesia.
M. Nuh sepakat alumni LPDP harus bermanfaat bagi bangsa. Namun, ia tak sependapat apabila awardee yang berkarier di luar negeri dianggap tidak nasionalis. Menurutnya, nasionalisme tidak diukur dari domisili, melainkan kontribusi bagi Indonesia.