SQR- LIPSUS Korban Klitih Muhammad Awan Saktiyanto

Luka dan Trauma Korban Klitih

10 Februari 2020 16:13 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Awan, korban pembacokan di Yogyakarta yang biaya berobatnya tidak ditanggung BPJS Kesehatan.  Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Awan, korban pembacokan di Yogyakarta yang biaya berobatnya tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Foto: Dok. Istimewa
Bekas jahitan di bagian sikut lengan kanan dan kirinya masih tampak jelas. Di bagian lain, balutan perban membungkus pergelangan tangan kanan dan dua jarinya. “Yang pertama kan nancep di sini celuritnya,” ucap Awan Saktiyanto menunjuk bagian kepalanya. Ia kemudian mempraktikkan bagaimana tangannya melepaskan celurit itu dari kepalanya.
“Terus dia bacokin lagi, saya nahan gini,” ujar pemuda 21 tahun itu sembari menyilangkan kedua tangan di depan kepala, memperlihatkan upaya menahan serangan dari sekelompok pemuda yang tak dikenalnya. “Tangan saya hampir mau putus kayak gini,” lanjutnya menunjuk tangan kanannya yang masih bengkok menekuk ke dalam ditahan perban.
“Baru saya kabur dari motor, sambil megang tangan gini biar gak putus tangan saya,” lanjutnya mulai terbata. Setitik air mata mengalir bersama ingatan akan petaka malam itu yang jelas tertancap di benaknya.
Awan adalah salah satu korban beringasnya klitih di jalanan Yogyakarta. Hari itu, 10 November 2019, usai menghabiskan malam minggu bersama dua teman lainnya, ia pulang lewat tengah malam. Menggunakan motor berpelat T, Awan melintasi Jalan Kenari, Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Di situ ia tiba-tiba dicegat tujuh orang pemuda berboncengan menggunakan tiga motor.
Salah satu dari tiga orang yang menghadang di depannya bertanya, “Kuliah di mana?” Awan pun menjawab UST (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa). Sementara empat orang lain berjaga di belakang, orang di depan bertanya lagi dari mana asal daerah Awan. “Orang Karawang, Kak,” jawab Awan. Tapi mendadak si pelaku mengayunkan celurit dan menghantam kepala Awan. Diserang oleh lebih dari tiga orang bersenjata tajam, Awan mencoba menangkis dan mencari celah untuk kabur.
Belum satu semester Awan tinggal di Kota Pelajar itu. Ia tak kenal satu pun dari para penyerangnya. Awan hanya ingat bahwa si pelaku masih menggunakan celana seragam SMA dan tampak muda belia. Di malam buta itu, sambil memegangi tangan kanannya yang hampir putus, Awan berlari menuju area pemukiman.
“Warga melihat ada yang membawa senjata tajam, tidak berani membantu,” ucap Awan menghapus air yang kembali menitik dari matanya. Ia tak paham mengapa tragedi itu menimpanya, mengapa dia tiba-tiba diserang dan dibacok oleh orang yang baru pertama kali ia lihat.
“Seenggaknya, di mana rasa kemanusiaannya? Main asal bacok kayak gitu aja,” pelan dan lirih suaranya mencoba protes.
Malam itu, teman Awan yang pergi lebih dulu sebelum motornya ikut diberhentikan oleh para pelaku melapor ke Polsek Umbulharjo. Awan segera dilarikan ke Rumah Sakit Hidayatullah untuk mendapat pertolongan pertama sebelum kemudian dirujuk ke RSUP Dr. Sardjito karena parahnya luka yang ia derita.
Tujuh lokasi mulai dari jari, tangan, siku, hingga kepala Awan mesti dijahit. Setelah terbaring 11 hari lama di RSUP Sardjito, Awan memilih pulang ke Karawang. Di sana ia harus menjalani fisioterapi setiap dua kali seminggu di RS Thamrin, Purwakarta, dan sebulan sekali mengunjungi ortopedi juga kontrol bulanan di RS Mitra Keluarga, Bekasi. Pengobatan yang membuatnya mesti keluar duit puluhan juta rupiah.
Tak cuma rasa sakit akibat luka dan besarnya biaya yang mesti ia keluarkan, Awan terpaksa mengambil cuti kuliah selama satu semester lamanya hingga ia pulih. “Ya gimana, kondisi kayak gini. Kemarin ada dosen bilang, ‘gak usah cuti kuliah, pake laptop aja.’ Sedangkan saya ngetik aja hanya bisa dengan tiga jari, yang dua jari masih gak bisa,” ucapnya pelan menahan air mata yang hampir mengalir.
Selain luka fisik yang kudu ditanggung, trauma atas tragedi malam itu pun membekas jelas di ingatannya. “Saya udah kapok pulang malem, udah gak berani lagi,” kata Awan bersama air mata yang akhirnya tumpah di pipi.
Muhammad Awan Saktiyanto, Korban Klitih. Foto: Adimas Herdian/kumparan
Klitih yang mulanya hanya bermakna jalan-jalan untuk cari angin, kini mengandung teror yang menakutkan. Entah terkait pertikaian antargeng sekolah atau penyerangan secara acak di jalan, aksi kriminal itu telah menelan korban luka bahkan nyawa.
Di masa geng-geng sekolah menjamur, klitih dimaknai sebagai aksi konvoi memutari kota lalu melewati sarang geng musuh dengan tujuan memprovokasi terjadinya tawuran. Tapi ketika geng-geng sekolah itu lenyap, aksi klitih bertransformasi menjadi syarat keanggotaan geng tanpa identitas asal sekolah.
“Ketika korbannya acak, itu bukan (menyerang) musuhnya. Bisa jadi hanya sebagai sarana untuk memperkuat modal kultural si pelaku di dalam kelompok,” kata Ariefah, sosiolog UNY, saat ditemui kumparan di Yogyakarta, Jumat (7/2). Menurut hipotesis Ariefah, aksi kekerasan itu kemungkinan membuat reputasi si pelaku di antara anggota gengnya meningkat. “Semakin berani, dia kemudian bisa menjadi leader di kelompoknya.”
Dalam salah satu wawancaranya dengan pelaku, Ariefah mendapat jawaban bahwa kekerasan dinilai jadi satu-satunya kemampuan yang bisa dia banggakan. “Saya tuh nggak pinter, mau ngarep opo. Prestasi juga nggak punya, ya udah punyanya ini saja,” ucap Ariefah menirukan jawaban si pelaku. Artinya, menurut Ariefah, bisa jadi mereka yang secara akademis termarginalkan. Namun kondisi tersebut juga tak selalu berlaku seperti itu.
“Saya lebih melihat ke modal sosial kultural, dia (pelaku) merasa itu tempatnya, memperoleh social support di situ.” Karena ia merasa diakui dan mendapat tempat di geng itu, Ariefah melihat seseorang yang telah masuk dalam geng seperti itu cenderung akan sulit keluar. “Ketika dia mau keluar, dia dapat risiko dipukuli oleh teman-temannya dan kehilangan social support itu.”
Menurut hipotesis Ariefah, pelaku aksi kekerasan jalanan itu tak melulu berasal dari kelas ekonomi bawah. “Tapi lebih karena disfungsi keluarga, maka dia mencari dukungan sosial di luar keluarganya.”
Klitih, Dulu dan Kini. Foto: Masayu Antarnusa/kumparan
Salah satu jalan yang ditempuh pihak kepolisian Yogyakarta kemudian dengan mengadakan patroli setiap malamnya. Tapi aksi klitih, kriminalitas remaja, kejahatan jalanan, atau apapun namanya telah menjelma horor bagi banyak orang di kota itu. Bisakah Yogya kembali menjadi Kota yang Berhati Nyaman?
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten