LIPSUS Klitih Yogya (krispi)

Mencari Jati Diri lewat Klitih

10 Februari 2020 11:56 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Geger klitih di Yogyakarta. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Geger klitih di Yogyakarta. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Klitih. Kata ini terkait erat dengan kejahatan jalanan remaja di Yogyakarta. Semua demi mencari eksistensi. “Saya melakukan kekerasan, maka saya ada.”
“Aku kudu nglitih, kudu iso nyabet,” begitu pikir Wawan ketika menjalani ritual klitih dalam geng sekolah yang ia ikuti. Sebagai anggota baru di geng itu, ia harus membuktikan “keberanian”.
Pemuda 17 tahun tersebut akan “dirayen” atau diuji coba oleh seniornya. Berbekal senjata tajam, ia diantar dan diturunkan dekat tongkrongan geng lawan. Sang senior berpesan, “Lukai satu atau dua orang. Kalau sajam belum sampai ada darahnya, belum boleh pulang.”
Wawan menurut. “Kalau udah dirayen, kenal sama kakak kelas, itu seneng. Udah ngerasa hebat,” ujarnya.
Keberanian untuk melukai orang lain jadi tolak ukur untuk mendapat pengakuan di internal geng. Ia akan dipandang bukan hanya oleh rekan sebaya, tapi juga kakak-kakak angkatannya. Itu sebabnya Wawan memilih menjadi fighter alias petarung, ketimbang “jongki” yang duduk di boncengan motor saat aksi klitih.
Tapi gara-gara itu, Wawan dikeluarkan dari sekolah. Di SMA barunya, ia hanya bertahan tiga bulan sebelum akhirnya memilih keluar. Wawan kewalahan. Jumlah anggota geng musuh di sekolah itu lebih banyak dari yang ia perkirakan. Setiap hari ia berkelahi sampai babak belur.
“Karena tahu aku anggota geng lain (di sekolah lama), aku dipukulin (sama geng di sekolah baru),” tuturnya.
Setelahnya, Wawan memilih SMA yang dikenal netral di Yogya. Tak ada satu pun geng di sekolah itu. Tapi, bukan berarti ia keluar dari geng di sekolah lamanya, meski niat itu sempat ada. Ia sulit keluar dari lingkaran perkawanan toksik itu.
Geng motor. Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra
Pada satu Minggu sore di September 2019, Wawan bersama sembilan teman segengnya, Respek—akronim dari Religius/Remaja Islam Perempatan Kapten Tendean, berboncengan dengan lima motor. Mereka terbakar amarah akibat ejekan anggota geng musuh saat menonton pertandingan futsal antarsekolah.
Maka sepulang dari kompetisi futsal hari itu, Wawan mengejar sejumlah anggota geng musuh berbekal celurit dan gir yang diikatkan dengan tali. Aksi itu menewaskan Egy Hermawan. Siswa sepantaran Wawan itu terkena luka bacok di perut dan rusuk.
Wawan ditangkap polisi, kembali dikeluarkan dari sekolah, dan dihukum empat tahun penjara. Ia kini menyesal dan tak ingin anak-anak lain terjebak hal yang sama dengannya.
“Nggak usah (ikut-ikutan geng), nggak dapet apa-apa juga sebenarnya. Rugi sendiri,” ucapnya kepada kumparan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Wonosari, Yogyakarta, Jumat (7/2).
Geger klitih di Yogyakarta. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Klitih ala geng-geng sekolah itu, menurut Wawan, berbeda dengan klitih yang belakangan marak lagi di Yogya. Klitih yang dulu ia lakukan punya tujuan dan target jelas, yakni geng musuh. Sasarannya bukan sembarang orang. Mereka tidak merusak warung makan atau membacok driver ojek online seperti yang baru-baru ini terjadi.
Kurang dari 40 hari pertama di 2020, kejahatan jalanan di Yogyakarta kian meresahkan. Pada malam Minggu pembuka awal tahun, 4 Januari, dua orang remaja jadi korban.
Rezafianto Bondan Pratama Putra dan Muhammad Zaidan Zafran sedang berboncengan ketika berpapasan dengan 20 orang rombongan pemotor. Kontak mata terjadi, dan gerombolan besar itu tersinggung. Dari mata ke ancaman nyawa. Reza dan Zaidan dikejar. Mereka terluka.
Selang beberapa jam, Minggu dini hari 5 Januari, insiden berdarah terjadi di Warung Makan Penyetan Mas Torres, Condongcatur, Sleman. Warung itu dirusak sekelompok orang yang mengendarai sepuluh motor. Seorang pembeli dicelurit. Kepalanya sobek. Pelakunya ditangkap Polres Sleman lima hari kemudian. Mereka remaja tanggung berusia 17-21 tahunan.
Tragedi belum berakhir. Tepat sebulan kemudian, 1 Februari dini hari, Enriko Christanto juga disabet senjata tajam. Pengemudi ojek online itu berpapasan dengan beberapa pemotor usai mengantar penumpang. Senjata terayun ke arahnya dan wajahnya sobek. Pelaku belum tertangkap sampai saat ini.
Aksi terbaru sebulan belakangan, menurut Kasat Reskrim Polres Sleman AKP Rudy Prabowo, tak sama dengan klitih meski modusnya serupa, yakni bermotor dan bersenjata tajam.
“Dia (pelaku) senang kalau diberitakan sebagai klitih. Sebut saja penganiayaan, pengeroyokan, dan sebagainya,” ujar Rudy di Polda DIY, Jumat (10/1).
Rata-rata pelaku adalah pelajar berusia belia. Ada yang duduk di bangku SMA, SMP, bahkan kelas 6 SD.
Klitih pada mulanya merujuk pada Pasar Klithikan Jogja. Kemudian, jalan-jalan untuk berburu barang bekas atau sekadar berkeliling disebut klitikan. Dalam perkembangan selanjutnya, nglitih bermakna jalan-jalan santai atau cari angin. Istilah ini bertransformasi lagi menjadi kegiatan berkeliling mengendarai sepeda motor.
Ketika masing-masing sekolah punya geng, para anggotanya kerap melakukan klitih dengan berkonvoi bersepeda motor. Lalu saat berpapasan dengan geng musuh, konflik tak terhindarkan. Klitih jadi lekat dengan konfrontasi antargeng sekolah. Mereka bergerombol datang menggunakan sepeda motor ke area lawan, lalu melukai musuh.
“Sekitar enam-tujuh tahun lalu, klitih dimaknai sebagai bagian dari kontestasi, konflik, persaingan antargeng sekolah. Tapi sekarang nggak seperti itu lagi,” kata Najib Azca, sosiolog UGM, kepada kumparan di Yogya.
Kini, Najib melihat klitih jadi semacam ritual untuk masuk geng tertentu. “Seseorang dianggap lulus sebagai anggota setelah melakukan kekerasan pada siapa pun di jalan. (Polanya) jadi acak,” ujarnya berhipotesis.
Modus kekerasan klitih meluas. Tak cuma pertarungan antargeng demi kebanggaan kelompok.
“Klitih sekarang mungkin lebih bermotif eksistensial. Saya melakukan kekerasan, maka saya ada,” ucap Najib.
Ilustrasi mahasiswa Yogya. Tak ada yang ingin jadi korban kekerasan jalanan. Foto: Deshana/kumparan
Ariefah, sosiolog UNY, memandang kekerasan jalanan di Yogya bukannya tanpa motif sama sekali. Seperti cerita Wawan, aksi itu jadi modal kultural untuk meningkatkan reputasi dalam lingkaran geng. Sementara para pelaku tak selalu berasal dari kelas menengah ke bawah.
“Bisa karena disfungsi keluarga, dia lalu mencari support system di luar keluarga,” kata Ariefah.
Sekali masuk ke lingkaran kekerasan itu, lanjutnya, seorang anak cenderung sulit keluar. Ia menghadapi banyak risiko, mulai kehilangan teman dan lingkungan yang menerimanya, sampai takut dipukuli oleh anggota geng sendiri.
Aksi unjuk rasa Stop Klitih di Polda DIY, 3 Februari 2020. Foto: ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Wakapolda DIY Brigjen Karyoto menyatakan, aparat melakukan berbagai upaya untuk menghentikan aksi kriminalitas jalanan ini, mulai preventif hingga represif. Salah satunya dengan bekerja sama dengan sekolah-sekolah untuk mendeteksi geng-geng yang ada.
Polisi juga berpatroli di jam-jam rawan pada dini hari hingga subuh. Mereka minta bantuan para orang tua untuk mengawasi anak-anaknya di malam hari, apakah sudah di rumah atau belum.
Tak ketinggalan, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X akan mempersiapkan regulasi untuk menangani klitih di Yogyakarta. Peraturan gubernur itu akan fokus pada penyelesaian masalah dari sisi sosial dengan melibatkan guru, orang tua, dan akademisi.
Klitih, Dulu dan Kini. Desainer: Masayu Antarnusa/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten