Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lukisan Dewi Sukarno dan Ketelanjangan dalam Seni
14 Maret 2017 9:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Oke.
Itu tadi adalah sebuah komentar seorang netizen Indonesia saat Pevita Pearce mengunggah foto sebuah lukisan berjudul Under My Umbrella di akun Instagram pribadinya. Pada lukisan karya perupa Ronald Manullang itu, Presiden Sukarno digambarkan sedang bersama istrinya, Nemoto Naoko alias Ratna Sari Dewi Sukarno yang tidak mengenakan pakaian sehelai pun.
Alih-alih mengenakan busana, kain hanya tersampir di lengan kanan Dewi, sedangkan tangan kirinya memegang payung Jepang yang memayungi Sukarno --yang digambarkan berpakaian formal lengkap dalam lukisan, komplet dengan peci bertengger di kepala.
Soal karya seni, apalagi lukisan telanjang, memang sudah pasti bakal membelah netizen bak Pilkada Jakarta. Sebagian netizen, tak peduli foto yang diunggah Pevita Pearce itu karya seni atau tidak, pasti akan menentang diumbarnya ketelanjangan via media sosial.
ADVERTISEMENT
Banyak alasannya, misalnya karena menuding postingan foto lukisan itu berbau pornografi, dan bahwa jagat maya adalah punya semua orang termasuk anak-anak belum cukup umur --yang juga jadi follower Pevita sehingga bisa jadi akan menonton gambar itu.
Pevita sampai memohon maaf kepada netizen secara resmi lewat akun Instagram-nya itu --setelah juga menghapus postingan lukisan Sukarno dan istri telanjangnya tersebut.
Sementara sang pelukis Under My Umbrella, Ronald Manullang, menurut laman Digital Archive of Indonesian Contemporary Art, dikenal dengan karya-karya lukisannya yang bergaya hiperrealis sehingga mirip dengan foto. Lukisan-lukisan Ronald yang lebih banyak dipamerkan di galeri-galeri luar negeri itu dinilai terpengaruh oleh karya seni masa klasik Eropa.
Karya seni telanjang sendiri memang punya sejarah panjang di dataran Eropa. Ketelanjangan sebagai karya seni bisa dilacak hingga zaman pra-sejarah, tepatnya 35.000 tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Sembilan tahun lalu, tim arkeologis pimpinan Nicholas J. Conard dari Universität Tübingen Abteilung Ältere Urgeschichte und Quartärökologie menemukan sebuah arca kecil yang menyerupai tubuh manusia. Arca yang dibuat dari gading gajah pre-historis tersebut dinamai Venus of Hohle Fels karena ditemukan di gua bernama Hohle Fels di bagian Jerman barat daya.
Bentuk arca yang serupa perempuan telanjang itu diklaim sebagai bentuk ketelanjangan dalam seni pertama, jauh dari figur Venus of Willendorf --patung yang ditemukan lebih dulu pada 1908 oleh Johann Veran atau Josef Veram saat melakukan ekspedisi di Austria.
Meski manusia telah digambarkan terbuka pada zaman pra-sejarah, ketelanjangan dalam seni baru populer ribuan tahun setelahnya. Hal tersebut terlihat pada patung-patung Yunani Kuno di abad ke-7 Sebelum Masehi. Saat itu, patung laki-laki telanjang memenuhi lanskap seni Yunani Kuno.
ADVERTISEMENT
Pemilihan laki-laki dan ketelanjangan saat itu punya banyak penjelasan. Di antaranya, bahwa saat itu kompetisi atletik dan festival keagamaan merayakan tubuh manusia, khususnya laki-laki.
Atlet yang beraksi di kompetisi berlaga secara telanjang, dan Yunani pada masa itu menganggap patung laki-laki tersebut merupakan perwujudan kesempurnaan dalam batasan kemanusiaan. Saat itu pula, dengan alami masyarakat Yunani menganggap bentuk laki-laki telanjang sebagai simbol kemenangan, kedigdayaan, dan keunggulan moral, yang mana tergambar dalam patung telanjang laki-laki.
Tak hanya menggambarkan para atlet, patung laki-laki atletis yang telanjang juga menggambarkan dewa-dewa dan pahlawan dalam kepercayaan Yunani Kuno.
Meski begitu, anggapan bahwa ketelanjangan dekat dengan nilai-nilai luhur tak diterima secara universal. Di luar Yunani misalnya, dalam cerita Injil Adam dan Eve, pasangan manusia pertama di bumi tersebut merasa malu saat menyadari keduanya telanjang.
ADVERTISEMENT
Penggambaran lelaki di patung-patung Yunani pada masa itu berbeda dengan perempuan --yang ketimbang dilekatkan dengan nilai heroisme dan kekuatan, lebih didekatkan dengan nilai-nilai kesuburan dan bersifat life-giving.
Patung-patung perempuan seperti Aphrodite (Venus) pun awalnya menggunakan pakaian, tidak seperti patung laki-laki. Keadaan di Yunani itu berbeda dengan Ishtar, dewa kesuburan perempuan yang berasal dari Mesopotamia (kini Irak dan Kuwait).
Pada masa berikutnya, ketelanjangan terus mengambil tempat dalam seni. Bahkan hal ini menjadi sebuah kelumrahan dan mendapatkan julukan classical sculpture. Gaya seni ini bertahan hingga setidaknya permulaan masa medieval pada tahun 500-an, ketika kekristenan mendominasi Eropa.
Pada zaman medieval, nilai-nilai Kristen yang dominan memengaruhi posisi ketelanjangan dalam seni. Tak seperti kepercayaan pagan yang memerlukan ketelanjangan sebagai wujud kesucian dan keilahian dalam ritualnya, agama Kristen tidak memerlukan itu.
ADVERTISEMENT
Titik tekan Kekristenan terhadap kesucian dari nafsu dan kebutuhan berselibat menekan munculnya produk seni yang mengandalkan ketelanjangan.
Bahkan di masa ini, karya seni seperti sarkofagus yang membungkus jasad Junius Bassus (tahun 359) dinilai oleh Vatikan sebagai contoh vulgar dari sebuah dosa. Kesan lemah dan ketidakberdayaan manusia yang telanjang begitu ditekan hingga abad ke-15, dalam karya Giovanni di Paolo berjudul Expulsion from Paradise tahun 1445.
Baru ketika era Renaissance tiba, ketelanjangan menemukan panggungnya kembali. Pada masa Renaissance, atau tahun 1300-an hingga 1500-an, kebudayaan Greco-Roman dikembalikan ke jantung kreasi para seniman. Figur telanjang kembali muncul di Italia pada pertengahan abad 13.
Menginjak abad ke-15, ketelanjangan dalam seni telah menjadi simbol dari nilai-nilai klasik dan reinkarnasi. Ini misalnya ditunjukkan oleh rekaan ulang artis-artis seperti Donatello dan Michelangelo yang kembali menampilkan karakter-karakter klasik dalam Injil dengan gaya baru. Misalnya Adam yang digambarkan, meski tetap atletis, namun tidak berlebihan dan menggunakan imaji lebih luas.
ADVERTISEMENT
Pada masa ini pulalah lukisan telanjang perempuan kembali menggeliat. Pelukis-pelukis Venezia menemukan gambaran baru dari Venus sebagai figur telanjang yang terlentang di depan sebuah lanskap atau dalam ruangan.
Berbeda dengan masa klasik yang mengandalkan geometri, penggambaran perempuan pada masa ini lebih menonjolkan sisi sensual. Artis-artis seperti Direr, Giorgione, dan Raphael menggunakan metode penggambaran baru seperti: angle yang berbeda dari sebuah lukisan, pose, dan perspektif penampilan.
Memasuki masa modern, tren ketelanjangan dalam seni terus mengalami perubahan. Kedua gender terus direpresentasikan: laki-laki masih didominasi bentuk pahlawan seperti Hercules dan Samson, sementara perempuan dalam bentuk Venus dan Three Graces.
Lukisan terakhir itu dibuat oleh Peter Paul Rubens, menampilkan sosok perempuan yang tak lagi bertubuh ramping dan liat, namun memiliki figur lebih besar. Ini sekaligus jadi awal dari sifat karya seni Rubenesque yang mewajibkan objek seni berfigur lebih besar.
Pada abad ke-18 dan 19, subjek klasik masih tetap populer, dengan objek telanjang di lukisan-lukisan historis. Pada paruh kedua abad ke-19, pelukis akademik melanjutkan tema-tema klasikal realis.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, kelahiran teknologi seperti fotografi memunculkan gaya seni baru impresionis. Ketimbang memunculkan karya seni yang sedekat mungkin dengan kenyataan, impresionis membuat suatu karya berdasarkan apa yang ia rasa ketika ia melihat objek tersebut.
Misalnya saja ketika Eduard Manet mengejutkan publik dengan lukisan telanjangnya Le Déjeuner sur l'herbe (1863) dan Olympia (1865). Lukisan Olympia misalnya, menunjukkan perempuan putih yang telanjang (Olympia) tergeletak di kasur sementara pelayan berkulit hitam membawakannya bunga. Pandangan dari Olympia yang mengonfrontasi menumbuhkan kontroversi di kalangan pengamat karena menggambarkan perempuan tersebut sebagai seorang pelacur.
Gustave Courbet juga menuai kritik keras akibat lukisannya berjudul Woman with a Parrot, yang menunjukkan pelacur telanjang tanpa kesan anggun dan suci seorang dewi.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, teknologi fotografi semakin luas digunakan masyarakat. Penggunaan gaya ekspresionisme semakin meningkat dan realisme mulai tergantikan oleh fotografi. Meski demikian, ketelanjangan dalam seni tetap ada.
Dalam dunia fotografi, ketelanjangan mulai dilakukan oleh Gaudenzio Marconi, Frank Eugene, dan Alfred Stieglitz. Sampai abad ke-21 pun, fotografi telanjang masih terus berlanjut, seperti dengan David Hamilton yang terkenal dengan Twenty Five Years of an Artist dan The Age of Innocence.
Punya sejarah yang panjang, ketelanjangan dalam seni lahir jauh sebelum ikatan-ikatan seperti norma, agama, atau hukum itu sendiri.
Tapi setuju atau tidak anda dengan perkataan Jalaluddin Rumi, teologian muslim yang masyhur itu, tentu terserah anda. Seperti juga terserah anda masing-masing hendak berpendapat apa soal postingan Pevita.
ADVERTISEMENT
Masih penasaran dengan perkara telanjang? Simak di sini