Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pengamat penyiaran, Muhamad Heychael, heran dengan wacana Agung Suprio, Ketua Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI ) periode 2019-2022. Heychael tak sepakat dengan keinginan Agung agar KPI bisa mengawasi konten digital macam YouTube, Netflix, bahkan Facebook.
Wacana itu Agung lontarkan saat dirinya dan delapan komisioner KPI lain periode 2019-2022 dilantik di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin (5/8) kemarin. Ide Agung tersebut menuai kritik pedas sana-sini.
Heychael, mantan peneliti juga direktur di lembaga pemantauan media remotivi, beranggapan bahwa tak ada dasar hukum di KPI yang melegitimasi impian Agung.
"Mengurusi digital itu bukan tupoksinya KPI," kata Heychael saat ditemui kumparan di Ruru Radio, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Kamis (15/8) malam. “Kalau dilihat dari wawancara Agus Suprio, kayaknya dia salah paham.”
Senada dengan Heychael, Koordinator Regional SAFEnet Damar Juniarto menganggap wacana yang dilempar Agung melenceng dari kewenangan KPI saat ini. Menurutnya, berdasar UU Penyiaran No 32 tahun 2002, KPI hanya memiliki wewenang untuk mengawasi televisi dan radio.
“Ini dua wilayah yang berbeda. Kalau lihat regulasi, apa yang berlari di atas broadcast pakai UU penyiaran, sementara broadband hanya UU ITE,” ujar Damar Juniarto kepada kumparan di Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (15/8).
Untuk memahami duduk permasalahan terkait sengkarut pengawasan lembaga penyiaran ini, kumparan mewawancarai Muhamad Heychael dan Damar Juniarto secara terpisah. Kedua pengamat yang sama-sama tergabung dalam Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) ini membagikan pandangannya soal komentar Agung Suprio, batasan kewenangan KPI-Kominfo, ribut pemilihan calon anggota komisioner KPI 2019-2022, sampai kinerja KPI selama ini yang tak sesuai harapan.
Bagaimana pendapat Anda soal wacana Ketua Komisioner KPI mengawasi konten digital semacam Netflix, YouTube, dan Facebook?
Heychael: Mengurusi digital itu bukan tupoksinya KPI. Kalau gue liat dari wawancaranya Agung Suprio, kayaknya dia salah paham gitu. Jadi dia itu menganggap, karena di UU Penyiaran itu tertulis televisi, radio, dan lainnya.
Gue bilang, “Kalau lu ngomong jenis-jenis soto, kayak soto mie, soto kudus, soto apa, lain-lain itu enggak mungkin steak. Karena dia harus mengikuti konteks persotoan. Enggak bisa tiba-tiba jadi YouTube. Menurut gue cara berpikirnya agak aneh. Jadi itu enggak bisa jadi justifikasi bahwa mereka punya hak mengatur digital.
Pertama, kesalahpahamannya itu soal UU Penyiaran televisi (yang) sekarang lagi berbicara digitalisasi penyiaran. Digitalisasi penyiaran itu sebenarnya berbicara infrastruktur. Agung kayaknya menganggap digitalisasi penyiaran itu membuat KPI punya ranah melingkupi digitalisasi. Ini menurut gue ngaco. Misalnya dia punya kewenangan, dia memaksakan dengan yang ‘lainnya’, itu berbahaya. Karena pengaturan media digital sama media penyiaran beda.
Bedanya?
Heychael: Media penyiaran karena pakai frekuensi publik. Dia itu lebih ketat, dia lebih kayak, misalnya, tayangan anak harus bersih dari kekerasan. Tidak boleh ini tidak boleh itu. Ketat banget, karena pakai frekuensi publik, kalau diterapkan ke media penyiaran enggak make sense.
Ambil satu kasus, misalnya jam tayang anak. Enggak ada konsep jam tayang di digital. Itu enggak bisa diterapkan. Gue nonton kartun di YouTube dengan kartun yang sama, lu (bisa) malam, gue (bisa nonton) siang, gitu kan.
Kedua, misalnya UU Penyiaran itu masih pakai konsep sensor, walaupun yang menyensor bukan KPI tapi Lembaga Sensor Film (LSF). Sekarang kalau di digital, lu mau menyensor jutaan tayangan? Gimana caranya?
Jadi buat gue bahayanya itu kalau paradigma UU Penyiaran dipakai ke digital. Itu akan memberangus kebebasan berekspresi. Karena digital ruangnya harus lebih free. Beda cara lu memperlakukan penyiaran dengan cara lu memperlakukan digital, buat gue concern-nya di situ.
Bagaimana Anda melihat klausul ‘media lainnya’ di UU Penyiaran? Ketua KPI, mencontoh Dewan Pers yang menganggap ‘media lainnya’ bisa mencakup media online, beranggapan lembaga penyiaran digital bisa masuk ranah pengawasan mereka.
Damar: Keliru. Salah arah karena "media lainnya" masih dalam konteks penyiaran. Memanfaatkan frekuensi publik. Ada amanat kayak begitu karena pengatur penyiaran tidak bisa disandarkan pada pemerintah langsung. Butuh suatu lembaga independen yang menjembatani industri dengan pemerintah sebagai regulator dan publik.
Kewenangan khusus itu sebetulnya namanya, kalau dalam UU, partisipasi peran masyarakat. Partisipasi peran masyarakat itu akhirnya dibakukan dalam lembaga yang namanya KPI. Kenapa perlu lembaga khusus? Karena penyiaran punya kekhasan karena dia berada pada frekuensi. Lalu kalau dia kiriman harus ada alat penerima. Jadi karena frekuensinya menyebar, dia harus ditangkap. Ini disebut dengan broadcast.
Sementara kalau dengan teknologi informasi yang baru muncul internet, di mana informasi disebarkan bukan disebarkan dengan cara menyebar seperti itu, bukan dipancarkan, tapi berlari di atas jaringan internet, broadband. Perbedaan dasarnya itu broadcast dan broadband. Itu dua hal yang secara teknologi dan ranah berbeda.
Kalau frekuensi itu milik publik karena terbatas. Kalau broadband dari nature-nya bisa siapa saja yang pakai, tanpa batas.
Heychael: Itu salah kaprah. Tinggal baca UU Pers Pasal 1 ayat 1, jelas itu bahwa pokoknya Dewan Pers itu mengawasi semua kegiatan jurnalistik dalam bentuk sarana komunikasi apapun.
Kata kuncinya jurnalistik. Selama lu ngaku pers, ya lu jadi subjeknya dewan pers. Jadi bukan karena ada “lainnya”.
Wacana yang dilontarkan Agung Suprio ini baru atau atau sebenarnya sudah disiapkan sebelumnya?
Heychael: Gue membaca (soal ini dalam) berita Yuliandre Darwis setahun yang lalu, dia sudah berbicara soal ini.
Damar: Setahun yang lalu. Cuma enggak dikeluarkan dia (ke publik), itu untuk internal mereka (KPI).
Yuliandre Darwis merupakan ketua KPI periode 2016-2019. Ia menjadi satu dari empat orang petahana yang kembali terpilih sebagai komisioner KPI di periode 2019-2022. Tiga komisioner lainnya adalah Agung Suprio, Hardly Stefano, dan Nuning Rodiyah.
Menurut Anda mengapa KPI ingin mengawasi konten digital seperti Netflix dan YouTube?
Damar: Kita hanya bisa menduga-duga. Dugaan pertama bisa jadi karena kedekatan KPI dengan televisi swasta yang barangkali keberatan dengan pengaturan yang sangat ketat pada siaran televisi swasta, dan dia dengan mudah mengatakan, “Itu yang di internet lebih berbahaya kenapa enggak diatur?” Bisa saja dugaan pertama karena itu.
Atau dugaan kedua, kalau kita melihat, dari katakanlah dari logika yang disampaikan Agung Suprio, ada perpindahan penonton dari tadinya menonton televisi sekarang bergeser ke streaming. Berarti disadari atau tidak, dia berbicara tentang kue penonton, atau begitu juga maka kita bicara tentang kue ekonominya juga yang sekarang dibagi antara penguasa broadcast dan penguasa broadband.
Penguasa broadband itu siapa? Kalau di digital bukan mereka yang memiliki akses, tapi mereka mereka yang konten provider, platform. Jadi penguasan broadband bukan misalnya internet service provider, tapi terpusat pada GAFA (Google, Apple, Facebook, Amazon).
Memang kita lihat bergeser. Pergeseran itu terjadi dengan angka pendapatan yang mulai tumbuh secara pesat digital daripada broadcast. Broadcast menurun dan digital mulai naik. Meskipun belum mengalahkan ya. Tapi ini sebuah, saya menafsirkan ini dugaan, apakah itu kemudian berarti KPI merasa perlu menyuarakan apa yang dirasakan temen-temen penyiaran.
Bagaimana pengawasan broadband, atau penyiaran digital, yang berjalan selama ini?
Damar: Yang membedakan broadcast dan broadband. Ini berbeda. Pengawasan pada broadcast berarti terhadap isi siaran. Sebetulnya bukan hanya itu, kalau wewenang KPI termasuk infrastruktur lalu juga tentang orang orang di dalamnya, pelatihan dan sebagainya.
Tapi di broadband yang diawasi itu lebih luas daripada ini. Karena yang diawasi bukan cuma sekedar infrastruktur, bukan sekadar konten, banyak banget. Karena banyak sekali hal yang berlari di atas internet.
Kedua, apa yang berlari di atas broadcast tidak bisa dilaporkan sewaktu dia harus direkam dulu. Sementara apa yang dilaporkan di broadband bisa langsung ditunjuk yang mana. File yang mana, foto yang mana, video yang mana.
Ketiga, tanggung jawab di atas siaran broadcast pada televisi dan produksi. Kalau di internet pada penyedia konten, bukan penyedia platform. Konten kreatornya. Sehingga ini lebih besar tanggung jawabnya. Lebih complicated. Kalau orang suka bilang, internet itu tidak bisa dicondongkan pada negara, tidak bisa dicondongkan pada korporasi, hanya bisa dicondongkan pada multi stakeholder pendekatannya.
Jadi harus semua pemangku kepentingan. Jadi akan sangat membingungkan disodorkan pada satu pihak saja. Bisa, tapi modelnya karena China, jadi pada negara. Termasuk juga bikin operating system, termasuk bikin peramban, search engine dan sebagainya.
Menurut Anda, bagaimana fungsi ideal dari KPI?
Heychael: Paling sederhana, KPI paling kerasa kalau kita ngomongin isi siaran. Isi siaran tegakkan saja P3SPS itu aja dulu paling gampang. Lu bisa cek misalnya di remotivi kami pernah bikin infografik riset tentang sanksi-sanksi KPI, kami sesuaikan dengan P3SPS. Itu banyak yang enggak sesuai.
Cuman kita enggak bisa mengecek lebih jauh, kayak misalnya mungkin ada main mata sama lembaga penyiaran. Kayak yang harusnya sanksinya penghentian sementara, malah jadi pembinaan, atau malah jadi peringatan, atau apa. Padahal itu gampang, bisa dicocokan saja.
Misalnya kayak kata-kata kasar, kalau mengacu P3SPS, itu langsung ke penghentian sementara. Langsung gitu, enggak bisa enggak. Itu ada di P3SPS, gampang banget kita cek. Tapi banyak deskripsinya menggunakan kata-kata kasar, sanksinya teguran. Mengerti enggak maksud gue? Berarti enggak jalan ya, sederhananya dari sisi arahan. Itu yang paling berdampak pada penonton.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). P3SPS merupakan pedoman dan standar bagi kegiatan penyelenggaraan penyiaran baik tv maupun radio di Indonesia. P3SPS disusun berdasarkan masukan dari masyarakat, akademisi, ormas dan praktisi penyiaran.
Dalam P3SPS, terdapat beberapa hukuman yang diberikan pada lembaga penyiaran apabila melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh KPI, yaitu: teguran satu, teguran dua, teguran tiga, penghentian sementara mata acara, lalu penghentian tetap, pengurangan durasi siar keseluruhan dari program tv, dan pencabutan izin.
Terkait sanksi KPI ini, Heychael menyoroti pula adanya “kebijakan” tanpa dasar berbentuk pembinaan. Menurutnya, pembinaan ini tak memiliki dasar hukum dan membuka ruang untuk terjadinya “main mata”. “Lu cari aja di P3SPS, nggak ada pembinaan. Itu konsep yang dibikin sendiri,” kata Heychael.
Berbicara soal proses seleksi calon komisioner KPI 2019-2022. Bagaimana Anda melihat prosesnya? Ombudsman bilang ada maladministrasi. Ada kejanggalan?
Heychael: Kejanggalannya salah satunya gini, pansel mengumumkan 27 nama. Di sana hanya ada nama Ubaidillah (sebagai petahana) kalau enggak salah. Terus tiba-tiba, itu dibilang, 'Oh (data) itu salah. Enggak resmi.’
Tiba-tiba muncul 34 nama. Enam orang (di antaranya petahana), yang tadinya dari 27 orang itu enggak masuk artinya enggak lolos, tiba-tiba masuk namanya jadi 34 orang. Itu kemudian kalau gue di Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) sempat mengirim surat ke pansel, dan terakhir Kami ke DPR dan Kominfo minta keterangan. ‘Ini apa yang terjadi?’ Enggak ada jawaban. Makanya kami di KNRP bilang, 'Kok enggak transparan?'
Menurut informasi yang kami terima, Pansel menolak memasukkan enam nama itu karena ada temuan PPATK?
Heychael: Enggak, jadi gini. Intinya, pansel itu bilang mereka akan cek PPATK, mereka akan cek sosmed, apalah gitu-gitu. Maksud gue, kenapa mereka enggak buka ke publik? Ada isu, ada yang enggak lolos PPATK. Cuma masalahnya enggak ada keterbukaan kan?
Apakah kejanggalan itu bisa menjadi dasar delegitimasi komisioner KPI periode 2019-2022?
Heychael: Kalau ada data, iya. Kalau ada bukti kecurangan. Tapi inget aja tuh, waktu 2013 aja udah jelas di laporan Tempo, ada kecurangan. Itu kan Bekti Nugroho yang nilainya paling bawah, malah lolos, nilainya paling tinggi malah enggak lolos. Tapi juga gak jadi. Gue gak ngerti sih hukumnya. Maksudnya apakah bisa dibatalkan apa enggak ya.
Bagaimana Anda melihat formasi pansel KPI sendiri?
Heychael: Banyak yang enggak mengerti penyiaran. Misalnya kayak Komarudin Hidayat. Mungkin dia seseorang yang kita tahu ahli di bidang agama. Tapi dia enggak punya peta di penyiaran. Dia diambil ketokohannya. Kayaknya panselnya juga jatah gitu, ada jatah kelompok mana, gitu-gitu. Kita mengkritik lebih ke kompetensi panselnya.
Bagaimana menurut Anda kompetensi Komisioner KPI periode 2019-2022?
Damar: Saya enggak tahu latar belakang mereka. Prosesnya (seleksi) enggak transparan. Jadi yang disampaikan ombudsman itu pemilihan komisioner KPI sekarang tidak setransparan dulu. Di mana kita bisa tahu mereka itu dari mana, mewakili aspirasi apa, lalu bagaimana dia sampai terpilih. Itu kan ada rapat-rapat tertutup. Jadi kita punya pengalaman komisioner KPU sebelumnya di zaman Yuliandre Darwis, komisioner itu biasa dititip dari stasiun televisi. Pengalaman yang lalu itu, apakah itu terjadi di sini atau tidak kita tidak tahu bahkan kita tidak bisa membaca.