Masyarakat Sulit Partisipasi Berantas Korupsi, Ini Alasannya Menurut ICW

9 Desember 2024 13:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat diwawancarai wartawan di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Minggu (19/5/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat diwawancarai wartawan di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Minggu (19/5/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana membongkar tiga alasan masyarakat sulit berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Ketiga alasan tersebut adalah pemolisian, minim akses, dan ancaman digital.
ADVERTISEMENT
Yang pertama, soal pemolisian, Kurnia menilai polisi seringkali mengabaikan masyarakat sipil yang ingin membuat laporan. Berbeda dengan pejabat yang langsung cepat ditangani saat datang melaporkan kasus pencemaran nama baik.
“Yang sering dialami oleh organisasi masyarakat sipil, kalau pejabat misalnya melaporkan pencemaran nama baik, hitungan menit keluar itu LP-nya. Hitungan menit. Kita di masyarakat, melaporkan dugaan tindak pidana berjam-jam berdebat sama pegawai di Mabes Polri,” ujarnya di STIK-PTIK, Jakarta pada Senin (9/12).
Kurnia pun membagikan pengalaman pribadinya dalam membuat laporan yang katanya harus berdebat dulu selama dua jam. Berbeda dengan rekannya di ICW yang dilaporkan oleh pejabat dengan pencemaran nama baik, langsung cepat ditangani.
“Pengalaman saya sendiri misalnya. Ketika melaporkan dulu salah satu mantan pimpinan KPK, dua jam itu berdebat,” ujarnya.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat memaparkan hasil temuan ICW terkait tren vonis pelaku korupsi sepanjang tahun 2023, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (14/10/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
“Tapi ketika rekan saya di ICW namanya Mas Egi Primayogha dilaporkan saat itu oleh KSP Pak Jenderal Purnawirawan Moeldoko, tujuh menit itu keluar LP-nya. Nah, itu kan menjadi harus diperbaiki. Jadi, selaras dengan jargonnya presisi. Jangan jargonnya presisi tapi implementasinya masih banyak masalah,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, yang kedua, menurut Kurnia, masyarakat sulit dalam mengakses informasi dari pemerintah.
“Yang kedua minim akses. Ketika kita ingin mengakses informasi kepada pemerintah itu seringkali tertutup. Harus sengketa dulu ke Komisi Informasi misalnya,” ujarnya.
Yang ketiga, Kurnia menyebut masyarakat acap kali mendapat ancaman digital. Salah satunya adalah mendapat serangan buzzer sampai diretas.
“Pertama soal pendengung atau buzzer. Bahkan, banyak yang menyebut buzzer ini sebagai hama demokrasi. Menyuarakan pendapat no problem di sana, tapi fenomena selama ini dibongkar identitasnya, disebarluaskan, itu kan menjadi masalah,” tuturnya.
“Timbul juga kekhawatiran di masyarakat ini, ‘oh kalau kita advokasi isu anti korupsi nanti WhatsApp-nya dibobol. Kalau kita advokasi anti korupsi Email-nya hilang, Facebook-nya hilang,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Kurnia mengungkap bahwa WhatsApp-nya pernah diretas saat mengadvokasi masalah calon pimpinan (Capim) KPK. Hal serupa juga pernah dirasakan akademisi lainnya.
“Dulu ketika advokasi Capim KPK WhatsApp saya 3 jam hilang. Ketika advokasi revisi undang-undang KPK, akademisi-akademisi diretas. Enggak mungkin polisi enggak baca itu beritanya. Deliknya ada kok bisa ditangani. Tapi, enggak ada sampai sekarang penyelesaiannya,” tuturnya.
Kurnia menyebut masalah-masalah ini harus diselesaikan bila penegak hukum tak mau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) anjlok di kemudian hari.
“Jadi, tentakel-tentakel yang menghambat partisipasi masyarakat itu harus diberesin. Karena kalo gak, bisa terjadi ya IPK-nya tetap segitu-segitu aja, IPK-nya anjlok,” tuturnya.