Melihat Perppu Kontroversial di Era SBY dan Jokowi

13 Oktober 2019 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jokowi bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Foto: Antara/Rosa Panggabean
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi bertemu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Foto: Antara/Rosa Panggabean
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) menjadi salah satu keistimewaan seorang presiden. Meski begitu, hak ini bisa menjadi bumerang. Sebab, belum tentu keputusan mengeluarkan Perppu diterima publik.
ADVERTISEMENT
Ahli Tata Hukum Negara, Bivitri Susanti menambahkan, salah satu permasalahan dari penerbitan Perppu adalah proses dan kedudukannya sendiri. Karena berasal dari pertimbangan presiden, Perppu bisa ditetapkan terlebih dahulu. Kemudian baru dibahas di persidangan DPR untuk diputuskan apakah diterima atau ditolak.
“Perppu levelnya sama dengan Undang-undang dalam tata perurutan perundang-undangan,” ucap Bivitri kepada kumparan, Jumat (11/10).
Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Kemenkumham mendefinisikan Perppu sebagai Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai Undang-undang. Dalam pembentukannya UU dilakukan oleh dua lembaga, DPR dan presiden. Dalam UUD 1945 Pasal 22 disebutkan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu.
Lebih lanjut, ketentuan menerbitkan Perppu diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Perppu serta Perpres No. 87 Tahun 2014. Meski begitu, kedua aturan tersebut belum menyebutkan definisi hal ihwal kegentingan yang memaksa hingga kemudian presiden diperbolehkan mengeluarkan Perppu.
Ilustrasi hukum Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Bivitri mengungkapkan, definisi kegentingan yang memaksa dapat dilihat dari putusan MK No. 138/PUU-VII/200, yang terdiri dari:
Meski sudah didefinisikan melalui putusan MK, jalan presiden untuk menerbitkan Perppu kadang tak mulus. Ada pro dan kontra dari pihak tertentu. Di antaranya adalah proses menuju penerbitan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Perppu No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Kedua Perppu tersebut merupakan cikal bakal Pilkada secara langsung, bukan lagi perwakilan dari DPRD.
ADVERTISEMENT

Konteks Perppu No. 1 dan No. 2 Tahun 2014

Sebelum masa jabatan SBY berakhir, pemerintah dan DPR sepakat untuk menerbitkan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dalam UU tersebut dijelaskan, bahwa pemimpin daerah dipilih secara langsung melalui DPRD, bukan rakyat.
Penetapan UU ini, menurut Bivitri mendapat kritikan dari masyarakat. Bivitri menyebut dengan demo ‘kecil’. Hingga akhirnya SBY mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014. Dengan terbitnya Perppu tersebut, maka tugas DPRD menjadi berubah, tidak lagi memilih kepala daerah.
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
Lalu, SBY mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2014 terkait UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang isinya mencabut kewenangan DPRD untuk melaksanakan pemilihan daerah. Tujuannya, agar tidak terjadi kekosongan hukum terhadap UU No. 23 Tahun 2014 setelah keluarnya Perppu No. 1 Tahun 2014.
ADVERTISEMENT
Keputusan SBY mengeluarkan Perppu ini dinilai bagus karena mengikuti aspirasi masyarakat. Artinya masyarakat setuju Pilkada dipilih langsung oleh rakyat. “SBY melakukan itu dengan mengoreksi UU tersebut dengan Perppu,” tambah Bivitri.
Meski begitu, ulasan dalam laman Kemenkumham menyebut, penerbitan Perppu No. 1 Tahun 2014 ditujukan untuk menyelamatkan citra SBY karena terdesak kritikan. Sebab, proses pembentukan UU harus dipertimbangkan secara matang mulai dari naskah akademik hingga analisis partisipasi publik.
Selain SBY, Presiden Jokowi juga pernah mengalami pro dan kontra pada saat menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas).
Salah satu alasan utama Jokowi menerbitkan Perppu tersebut karena UU No. 17 Tahun 2013 belum mengatur dengan jelas mengenai Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kekurangan ini dinilai menjadi kekosongan hukum bagi pemerintah, hingga akhirnya diterbitkan Perppu.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan Dosen Hukum UGM, Sudjito yang berjudul ‘Membaca Kepentingan Politik di Balik Perppu Ormas dan Implikasi Sosiologisnya pada Masyarakat’ (2017) disebutkan, Perppu ini membuat kegaduhan sosio-politik dan turbulensi hukum, banyak pro dan kontra.
Pantauan Massa Aksi Tolak Perppu Ormas Foto: Adhim Mugni/kumparan
Pihak yang kontra di antaranya adalah HTI, Yayasan Sharia Law Alqonuni, dan Dewan Dakwah Islamiyah. Sementara, golongan yang setuju dengan Perppu tersebut di antaranya Forum Advokat Pengawal Pancasila dan Sekretariat Advokat Nasional Indonesia.
Selain itu, laporan Sudjito menyebutkan setidaknya sebanyak 50 ribu orang terlibat dalam Aksi Demo 299 untuk menolak Perppu tersebut. Ia menambahkan, Perppu ini merugikan kepentingan publik karena dinilai kaku dan arogan aturannya.
Menurut Bivitri, penerbitan Perppu ini juga tidak mengandung adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa. Ia menilai, UU ini bisa diterbitkan melalui prosedur yang biasa. “Karena memang DPR tidak bisa sidang saja, karena masa reses,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Bivitri mengungkapkan, justru Perppu atas Revisi KPK ini yang harus cepat diatasi. Sebab, tidak ada jalan lain, melihat DPR akan berganti yang membuat waktu persidangan lama.
“Kondisinya memungkinkan mengeluarkan Perppu karena KPK bisa dibilang akan mati dalam konteks penindakan, hanya akan menjadi lembaga pencegahan korupsi,” tambah Bivitri.
Salah satu kewenangan KPK yang dilemahkan, menurut Bivitri adalah terkait penyadapan yang harus minta izin kepada Dewan Pengawas. Untuk melakukan hal ini, pihak KPK harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu.
“Padahal penyadapan itu tahapan penyelidikan, dan gelar perkara itu di tahap penyidikan, hampir mustahil izin itu diberikan,” tambah Bivitri.
Karena adanya ketidakpastian hukum ini, Perppu atas UU KPK sangat mendesak untuk dikeluarkan, tutup Bivitri.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, perwakilan mahasiswa Universitas Trisakti memberi tenggat waktu hingga 14 Oktober kepada Jokowi untuk segera mengeluarkan Perppu tersebut. Jika tidak, mahasiswa akan turun kembali ke jalan dengan massa yang lebih besar.
"Sebenarnya tanggal 14 itu kita menunggu pernyataan Pak Presiden perihal kondisi nasional hari ini, minimal ada statement akan keluarkan Perppu," kata Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Dinno Ardiansyah usai menemui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Istana pada Sabtu (12/10).