Melihat Warga Muslim di Inggris Mengenang Ratu Elizabeth II

14 September 2022 12:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga Muslim di London, Inggris, saat wabah virus corona.  Foto: AFP/Aniel Leal Olivas
zoom-in-whitePerbesar
Warga Muslim di London, Inggris, saat wabah virus corona. Foto: AFP/Aniel Leal Olivas
ADVERTISEMENT
Ratu Elizabeth II mangkat pada Kamis (8/9). Kepergian penguasa monarki tertua dan terlama di Inggris itu telah menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat, terutama warga beragama Islam.
ADVERTISEMENT
Elizabeth mewarisi takhta pada 1952 setelah kemangkatan ayahnya, Raja George VI. Dia menempati posisi penguasa monarki dan kepala negara dari tujuh negara. Ketika meninggal dunia, Elizabeth masih menjadi kepala negara Inggris dan 14 negara Persemakmuran.
Selama masa kekuasaannya, dia menyaksikan pergantian hingga 15 perdana menteri di Inggris. Berkat pengaruhnya, Elizabeth kerap digambarkan sebagai fondasi Inggris.
Pemakamannya pun diperkirakan akan mendatangkan jutaan orang menuju Inggris. Jutaan orang lainnya diprediksi akan menonton pemakaman kenegaraan itu melalui siaran televisi.
Bagi masyarakat setempat, keluarga kerajaan adalah bagian yang melekat pula. Hingga 2,5 juta orang Muslim ikut pengaruh keluarga kerajaan Inggris. Salah satunya adalah seorang mahasiswa muslim di University College of London, Junayd ul Islam.
ADVERTISEMENT
"Tidak peduli siapa Anda atau apa yang Anda lakukan, monarki Inggris memasuki alam bawah sadar Anda," tutur Junayd, dikutip dari Al Jazeera, Rabu (14/9).
Ratu Inggris Elizabeth II meninggalkan Istana Buckingham dalam perjalanan ke Istana Westminster untuk Pembukaan Parlemen Negara, di London, pada 3 Desember 2008. Foto: Adrian Dennis/AFP
Bagi sebagian warga Muslim lainnya, Elizabeth merupakan sosok yang menyatukan beragam komunitas agama. Sekretaris Jenderal Muslim Council of Britain (MCB), Zara Mohammed, menyetujui hal itu. MCB adalah salah satu organisasi muslim paling terkemuka di Inggris.
"Pemerintahan Yang Mulia melihat perubahan luar biasa di negara kita. Lebih dari tujuh dekade [masa pemerintahannya], Inggris telah melihat dirinya berubah menjadi masyarakat multikultural dan multi-agama," tulis pernyataan Zara.
Shaahid Ashraff mengungkapkan pernyataan serupa. Menurut Shaahid, Inggris menciptakan ruang aman untuk mempraktikkan keyakinannya secara bebas selama kekuasaan Elizabeth.
"Dibandingkan dengan pengalaman saya di negara-negara Barat lainnya, termasuk mayoritas daratan Eropa dan Australia, saya menemukan Inggris sebagai tempat paling aman untuk menjalankan agama saya," ungkap Shaahid.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak akan ragu untuk mengeluarkan sajadah di taman umum," sambung dia.
Mahasiswa di Inggris lindungi Muslim salat Foto: Twitter/@MiddleEastEye
Kendati demikian, penguasa monarki kini telah digantikan oleh sosok lain. Setelah kepergian Elizabeth, Pangeran Charles meneruskan kekuasaan dengan mengambil gelar Raja Charles III.
Charles tampak menaruh prioritas terhadap agama Kristen. Namun, Shaahid dan Junayd meyakini, sikap tersebut tidak akan merusak komitmen negaranya dalam merangkul keragaman beragama.
"Raja baru telah menunjukkan minat yang mengesankan dalam Islam dan keterbukaan untuk belajar," ujar Junaid.
"Tanggung jawab juga ada pada kami untuk menjembatani dan merangkulnya dengan tangan terbuka," imbuh dia.
Walau begitu, kenyataan yang bertolak belakang tercermin dalam survei dari University of Birmingham pada 2021. Survei tersebut mencatat, prasangka anti-Muslim justru telah meningkat di Inggris.
ADVERTISEMENT
Pihaknya menggambarkan populasi muslim di negara itu sebagai salah satu kelompok yang paling tidak disukai. Hingga 25,9 persen masyarakat memiliki pandangan negatif terhadap mereka, sedangkan 9,9 persen lainnya memandang mereka dengan 'sangat negatif'.
Ratu Inggris Elizabeth II bersama Pangeran Philip dari Inggris, Duke of Edinburgh melambai ke kerumunan, setelah dinobatkan di Westminter Abbey di London pada 2 Juni 1953. Foto: AFP
Sebagian Muslim lantas teringat dengan warisan-warisan lainnya dari kerajaan Inggris. Aqsa Ahmed mengingat rasisme yang ditunjukkan dengan gamblang oleh mendiang suami Elizabeth, Philip.
Dia juga menyinggung perihal kontroversi seputar Megan Markle yang menikahi cucu Elizabeth, Pangeran Harry. Mahasiswa dari School of Oriental and African Studies itu menganggapnya sebagai contoh dari kekolotan monarki Inggris.
"Histeria seputar pernikahan seorang wanita non-kulit putih ke dalam keluarga kerajaan itu sendiri merupakan pernyataan tentang sifat institusi yang sudah ketinggalan zaman," jelas Aqsa.
ADVERTISEMENT
Bila beberapa orang melihat Elizabeth sebagai jangkar yang mengukuhkan persatuan negara selama masa sulit, yang lain menganggapnya sebagai peninggalan dari sejarah kolonial Inggris.
"Warisan kolonial yang diwakili [Elizabeth] memiliki dampak yang bertahan lama, sementara dia secara langsung mendapat manfaat dari warisan yang sama," terang Aqsa.
"Ratu menjalani kehidupan yang sarat privilese dibandingkan dengan sebagian besar negara dan bahkan dunia," tambahnya.
Warga melihat iring-iringan mobil jenazah Ratu Elizabeth II berangkat dari Katedral Saint Giles menuju Bandara Edinburgh, Skotlandia, Selasa (13/9/2022). Foto: LOUISA GOULIAMAKI/Pool via REUTERS
Elizabeth juga mengingatkan tentang sejarah kolonial bagi seorang mahasiswa kedokteran di University College London, Shaahid Ashraff. Menelusuri asal-usul keluarganya ke Sri Lanka, dia menemukan perasaan campur aduk keluarganya terhadap kerajaan Inggris.
Elizabeth sempat menjadi kepala negara di 32 negara selama masa pemerintahannya. Hingga 17 negara kemudian memutuskan hubungan, termasuk Ceylon yang kini menjadi Sri Lanka.
ADVERTISEMENT
Shaahid merasa bangga akan keberhasilan Sri Lanka meraih kemerdekaan dari Inggris. Meski demikian, dia mengaku tidak memiliki perasaan mendalam apa pun terhadap kerajaan Inggris.
Shaahid menganggap kemangkatan sang ratu sebagai peristiwa yang tidak memengaruhi perasaannya pula. Pernyataan yang mencerminkan sentimen Shaahid juga diungkap oleh Aqsa.
"Secara emosional, ini tidak terlalu memengaruhi saya. Namun, saya memahami signifikansi historis dari peristiwa tersebut," terang Aqsa.
"Bagi saya, secara pribadi, [Elizabeth] tidak pernah benar-benar berarti apa pun," pungkasnya.