Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Memahami Alasan Kemenag Ubah Kriteria Hilal Jadi 3 Derajat
6 April 2022 13:47 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Tahun ini umat Islam di Indonesia berbeda dalam memulai Ramadhan. Pemerintah mengumumkan 1 Ramadhan pada 3 April 2022, sedangkan Muhammadiyah memulai pada 2 April 2022.
ADVERTISEMENT
Perbedaan ini tak lepas dari metode yang dipakai dalam menentukan awal Ramadhan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab atau perhitungan astronomis dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
Sementara pemerintah menggunakan metode manual melihat awal bulan dengan pemantauan di 101 titik se-Indonesia, yang disebut rukyatul hilal.
Ada hal yang menuai sorotan dalam sidang isbat tahun ini. Yaitu adanya perubahan kriteria dalam menentukan masuknya bulan baru di atas ufuk yang dipedomani Kemenag.
Awalnya, Kemenag menggunakan kriteria minimal ketinggian hilal 2 derajat, kini menggunakan syarat ketinggian 3 derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Kriteria merujuk pada kesepakatan Menteri Agama di Malaysia, Brunei, dan Singapura, Indonesia yang disebut dengan MABIMS.
Lalu, apa yang mendasar perubahan kriteria itu?
Tim Unifikasi Kalender Hijriah, Thomas Djamaluddin, mengatakan, kriteria MABIMS lama sudah berlaku selama 30 tahun sejak 1990. Kemudian para anggota MABIMS menilai perlu adanya perubahan kriteria karena secara global tidak ada kriteria 2 derajat. Alasannya, cahaya syafaq masih terlalu kuat.
ADVERTISEMENT
Lalu, elongasi 3 derajat masih terlalu dekat dengan matahari. Begitu juga dengan umur bulan 8 jam dinilai masih terlalu muda.
"Nah, kriteria MABIMS itu dasarnya apa? Jadi tadi disebutkan kriteria itu mestinya menggambarkan kondisi fisis bulan dalam menghadapi cahaya syafaq, dari data global dari publikasinya di tahun 2006, itu disebutkan bahwa elongasi minimal 6,4 derajat," kata Thomas dalam paparannya di sidang isbat dikutip dari Youtube Bimas Islam Kemang, Rabu (6/4).
Selain itu, data analisis hisab selama 180 tahun untuk titik uji di Banda Aceh dan Pelabuhan Ratu itu menunjukkan dengan elongasi 6,4 derajat itu secara umum bulan setidaknya di Indonesia itu sudah di atas ufuk.
"Jadi angka 6,4 ini bukan angka yang tidak berarti, tapi memiliki makna fisis. Kemudian ada yang bertanya kenapa angka 6,4 tidak dibulatkan saja menjadi 6 atau 7 derajat, nah ini untuk menjaga originalitas karena ini merujuk pada makalahnya ODED pada tahun 2006," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Lalu, ketinggian hilal 3 derajat juga didasari berbagai data global. Selain itu, hilal di bawah 3 derajat dinilai masih sangat tipis dan kalah dengan cahaya syafaq.
"Dari berbagai makalah pengamatan rukyat secara global antara lain Ilyas tahun 1988 kemudian dari makalah tahun 2001 yang bawah itu tidak menunjukkan adanya rukyat yang sahih yang tingginya di bawah 3 derajat. Oleh sebab itu diusulkan minimal 3 derajat," tutur Thomas.
"Alasan fisisnya apa? Di bawah 3 derajat itu cahaya syafaq masih cukup kuat, hingga tidak mungkin hilal yang tipis itu bisa mengalahkan cahaya yang kuat," imbuh dia.
Data juga menunjukkan di bawah kriteria itu sangat sulit untuk melihat hilal. Bahkan, data di Madinah menunjukkan hilal tetap tidak yakin terlihat padahal sudah menggunakan teleskop.
ADVERTISEMENT
"Buktinya ada, pada saat Ramadhan 1440 H yang lalu ada kesaksian hilal ini pada gambar yang kanan bawah, ini gambar dengan menggunakan teleskop dan kamera," kata dia sambil menunjuk gambar.
"Ini hilal tipis sekali, sudah diperbesar juga cuma goresan tipis. Barangkali yang melihat tidak meyakini itu hilal. Itu hilal cukup tinggi, tingginya sekitar 4 derajat, elongasinya sekitar 6 derajat, dan itu teramati di Madinah," ucap dia.