news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membandingkan Teknik Modifikasi Cuaca di RI dan Proyek Stromfury AS

15 Januari 2020 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi awan mendung. Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi awan mendung. Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
ADVERTISEMENT
Pemerintah saat ini tengah melakukan teknik modifikasi cuaca dengan penyemaian awan (cloud seeding) untuk mengantisipasi cuaca ekstrem. Secara umum proses rekayasa ini dilakukan dengan penyemaian awan dengan garam.
ADVERTISEMENT
Pada umumnya penyemaian ini bertujuan untuk meningkatkan atau menurunkan jumlah curah hujan.
Deni Septiadi, peneliti petir dan atmosfer yang juga dosen meteorologi pada Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Jakarta, menjelaskan mengenai rekayasa cuaca ini.

Mikrofisis pembentukan awan dan hujan

Ilustrasi awan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Deni menjelaskan perlu diketahui terlebih dahulu mikrofisis pertumbuhan awan hingga akhirnya menghasilkan hujan. Proses ini diawali pemanasan permukaan oleh radiasi matahari yang datang ke permukaan bumi.
"Sehingga menghasilkan perbedaan tekanan yang kontras (pressure gradient) antara daratan dan lautan kemudian menghasilkan alih radiasi melalui proses konveksi ke atas (thermal convection)," jelas Deni dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/1).
Deni mengatakan, proses konveksi melalui aliran udara ke atas (updraft) akan membawa serta partikel aerosol atmosferik berupa debu vulkanik atau garam-garaman yang terangkat melalui percikan air laut ke udara.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, partikel yang ke udara tersebut akan terseleksi berdasarkan ukuran, kemudian menjadi Inti Kondensasi Awan (IKA) yang bersifat higroskopis.
"Proses ini mampu mengikat air untuk terangkat melalui konveksi dalam bentuk uap dan mengalami kondensasi untuk berubah wujud dari uap air menjadi tetes-tetes air pada bagian bawah awan (bottom cloud) di bawah titik beku isothermal 0 °C," jelasnya.
Ilustrasi awan mendung. Foto: ANTARA FOTO/Yusran Uccang
Kemudian, partikel awan yang berubah bentuk menjadi tetes air akan dipaksa naik ke udara untuk didinginkan menjadi partikel yang lebih dingin di bawah 0 °C.
"Sehingga pada lapisan awan berikutnya terjadi pengintian es/Inti Es (IES) yang akan membentuk tetes-tetes yang sangat dingin (supercooled water) dan kristal-krstal es (ice crystal). Ini merupakan lapisan kedua awan, paras terpenting tempat sirkulasi dan turbulensi berlangsung," ungkap Deni.
Ilustrasi Cuaca Buruk. Foto: Shutter Stock
Menurut Deni, saat energi ke udara masih tersedia melalui aliran udara ke atas (updraft), partikel awan tersebut akan terus naik untuk kembali didinginkan mencapai temperatur udara di bawah -40 °C. Sehingga pada lapisan atas awan partikel itu menjadi padat dalam bentuk kristal es.
ADVERTISEMENT
"Bahkan membentuk embrio atau batu es hujan (hail stone) yang nantinya siap jatuh ke bawah menjadi partikel presipitasi melalui aliran udara ke bawah (downdraft). Embrio batu es hujan (hail stone) akan naik mengikuti arus udara ke atas (updraft) sepanjang arus masih cukup besar untuk menopang massa es, sebaliknya akan jatuh ketika kecepatan terminal mengikuti gaya gravitasi lebih besar dibandingkan arus udara ke atas," kata Deni.
Partikel presipitasi berupa hail yang keluar dari sistem sirkulasi konvektif internal awan dan menuju ke bawah sepanjang penguapan di luar sistem awan akan terurai dari bentuk padat (es) menjadi cair dan jatuh ke permukaan sebagai curah hujan.

Teknik Modifikasi Cuaca di Indonesia dan AS

Ilustrasi cuaca. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Deni mengatakan, berbagai proses mikro dalam pertumbuhan awan dan hujan di atas secara tidak langsung memberi gambaran bahwa penambahan partikel garam (NaCL) pada awan jauh dari sifat fisis pembentukannya. Bahkan tidak bermakna dan cenderung mengancurkan pertumbuhannya.
ADVERTISEMENT
"Secara fisis terlihat bahwa, garam-garaman dari laut yang terangkat ke atas kemudian karena sifat hiogroskopisnya mengikat air dan menguap menjadi bagian IKA. Proses tersebut terjadi pada level di bawah awan jauh sebelum IKA terbentuk," jelasnya.
Deni menjelaskan, di luar negeri rekayasa cuaca ini umumnya dilakukan untuk melemahkan potensi terjadinya badai, tornado bahkan siklon.
Sejumlah petugas mempersiapkan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Pangkalan Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (3/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Ia pun mencontohkan Project Stormfury, salah satu contoh proyek rekayasa cuaca di Amerika Serikat (AS) yang dilakukan pada 1962-1983 di Amerika Serikat.
"Saat itu, ilmuwan menggunakan Perak Iodida (AgI), senyawa yang diinjeksikan ke dalam awan, mengingat bentuknya yang menyerupai kristal es sehingga memudahkan untuk pembentukan inti es dan membekukan tetes kelewat dingin (super cooled water)," terangnya.
ADVERTISEMENT
Penaburan Perak Iodida (AgI) dilakukan dengan pesawat atau menembakkan langsung dari permukaan. Secara fisis jika dibandingkan dengan partikel garam (NaCL), maka Perak Iodida (AgI) ini justru lebih sesuai ketika diinjeksikan langsung atau disemai ke awan.
Sejumlah petugas mempersiapkan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Pangkalan Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (3/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Selain itu, Deni menyoroti masalah validasi atau verifikasi keberhasilan rekayasa cuaca di Indonesia. Sebab menurutnya, hujan merupakan kejadian yang memiliki sifat ketidakpastian yang tinggi.
"Meskipun teknologi penginderaan jauh baik menggunakan radar maupun satelit dengan mudah kita dapat mengetahui berapa potensi air di udara menjadi hujan. Namun demikian menurutnya, berbagai faktor seperti penguapan angin dan faktor lainnya menjadikan air yang jatuh tidak linier dengan volumenya di awan,"pungkasnya.