Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Membangun Tanpa SNI, Banyak Rumah di Indonesia Tidak Tahan Gempa
29 Januari 2018 12:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
ADVERTISEMENT
Ancaman gempa bumi sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Sebab, dengan letak geografis di pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang bergerak aktif dan saling bertumbukan, menyebabkan gempa kerap terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebut saja, gempa berskala 6,1 magnitudo yang baru-baru ini melanda Lebak, Banten . Bukan hanya merusak ratusan rumah di Banten, gempa ini rupanya juga terasa hingga Ibu Kota.
Timbul pertanyaan, apakah bangunan-bangunan di Indonesia bisa tahan apabila diguncang gempa?
Guru besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Prof Iswandi Imran, menyebutkan sebenarnya, pemerintah melalui kementerian terkait sudah menyiapkan beberapa Standar Nasional Indonesia (SNI) dan beberapa pedoman yang harus dijadikan acuan dalam merancang bangunan rumah ataupun gedung tahan gempa.
“Kalau ketentuan itu diikuti dan dipenuhi, ya mestinya bangunan bisa tahan gempa. Itu ada SNI, kan,” ucap Iswandi kepada kumparan (kumparan.com), Senin (29/1).
Ia menjelaskan, jika berbicara soal bangunannya, sebenarnya bisa dibagi menjadi dua; bangunan gedung dan bangunan rumah. Untuk gedung, biasanya dirancang secara khusus oleh building engineer dengan perhitungan beban gempa sebagai salah satu parameternya.
ADVERTISEMENT
“Di Jakarta, sebagai contoh, untuk bangunan gedung delapan lantai ke atas, harus ada proses review oleh TABG (Tim Ahli Bangunan Gedung). Di situ dilihat, apakah rancangannya memenuhi ketentuan-ketentuan SNI, termasuk ketentuan terkait ketahanan terhadap gempa,” tambahnya.
Sementara, untuk bangunan jenis rumah, Iswandi bangunan rumah umumnya dibangun tanpa ada perhitungan khusus, atau tanpa melibatkan tenaga ahli (non-engineered). Meski pemerintah sudah menyiapkan beberapa pedoman untuk rumah tahan gempa, namun banyak yang tidak menggunakan pedoman tersebut.
“Dalam pedoman itu ada ketentuan-ketentuan khusus untuk bangunan tahan gempa, misal ketentuan tulangan longitudinal dan transversal yang harus dipasang pada elemen balok ataupun kolom. Elemen-elemen struktur bangunan harus lengkap dan menyatu, jadi harus ada rangkaian elemen kolom dan balok yang membentuk kesatuan yang kompak. Jadi dia kokoh. Sayangnya enggak semua orang mengikuti ini,” ungkap Iswandi.
ADVERTISEMENT
Dengan elemen-elemen struktur yang tidak lengkap ataupun tidak membentuk rangkaian yang utuh, rumah-rumah tersebut akan rentan roboh jika diguncang gempa. Iswandi melihat, rumah yang roboh saat diguncang gempa biasanya elemen strukturnya tidak lengkap dan tidak terangkai dengan utuh, bahkan ada yang hanya berupa dinding bata saja.
“Padahal jika bicara rumah, jika dia dari dinding bata, harus ada pengikatnya. Ini yang harus terpenuhi. Ada kolom, ada balok, sehingga sistem itu jadi terikat, menjadi satu kesatuan, membentuk sistem struktur yang disebut sebagai confined masonry,” jelasnya.
Jika berbicara soal bahan bangunan, menurut Iswandi, yang ideal adalah yang ringan dan memiliki daya tahan beban yang baik, serta tidak mudah pecah dan retak. Dengan kriteria seperti itu, kayu bisa menjadi bahan baku rumah yang cukup baik.
ADVERTISEMENT
“Kayu kan lebih baik, lebih ringan, dan sifatnya sama baiknya waktu menahan tarik dan menahan tekan. Baja juga sama, baja kan ringan juga. Yang agak kurang ideal itu bahan seperti batu bata atau beton, berat itu,” ucapnya.
Padahal, di Indonesia, ada persepsi jika bukan dibangun dari bata atau dinding, rumah tersebut berkesan non-permanen dan kurang mantap. Iswandi menyebutkan, sebenarnya pemikiran tersebut tidak masalah jika konsisten dalam merancangnya. Ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti agar bangunan yang dihasilkan tetap bisa tahan gempa walaupun menggunakan bahan bangunan yang kurang ideal.
"Artinya, elemen-elemen penumpunya harus lebih gedhe, ini konsekuensinya. Cuma kadang konsekuensinya enggak dijalankan, karena akan meningkatkan biaya. Ini yang jadi masalah. Mau pakai bata boleh, tapi ada penguatan di tempat-tempat tertentu. Karena bebannya lebih besar, harus menyesuaikan juga," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Iswandi menyebutkan, di Aceh, usai gempa besar tahun 2004 silam, bangunan-bangunan -- utamanya rumah -- yang hancur kemudian dibangun ulang dengan perhitungan yang matang. Termasuk, aspek ketahanan terhadap gempa.
"Ya, bentuknya bangunan biasa aja, tapi ada kolom, ada balok, ada tulangan. Dan itu diperhitungkan sesuai kebutuhan, bentuknya seperti rumah biasa saja, tapi sudah lebih kokoh dan lebih tahan gempa," ujar Iswandi.
Selain masalah dana, menurut Iswandi, kurangnya pengetahuan soal SNI atau pedoman bangunan tahan gempa menjadi kendala bagi masyarakat dalam membangun rumah yang benar. Apalagi, jika bicara soal rumah di daerah pedalaman, pedoman-pedoman dari pemerintah tersebut seringkali tidak diikuti.