Membedah Metode ‘Cuci Otak’ Dokter Terawan

9 April 2018 7:59 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Pagi itu, lorong-lorong lantai dua Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto terlihat sunyi. Dari kejauhan, lamat-lamat terdengar alunan lagu merdu menenangkan. Di lantai ini, terdapat ruangan khusus tempat Dokter Terawan “mencuci otak” para pasiennya.
ADVERTISEMENT
Di depan salah satu kaca, terpampang selembar kertas bertuliskan “Alur Tindakan DSA/Brain Wash: mendaftar di poliklinik untuk konsultasi dengan dr. Terawan dan tim → pemeriksaan MRI dan konsultasi spesialis radiologi & intervensi → konsultasi spesialis saraf & brain mapping → penjadwalan tindakan DSA/brain wash.
Metode cuci otak yang dimaksud pada keterangan itu ialah Intra Arterial Heparin Flushing (IAHF) atau penyemprotan heparin--cairan penangkal penggumpalan darah--ke otak melalui pembuluh darah dengan menggunakan Digital Subtraction Angiography (DSA).
Terawan dan kawan-kawan, dalam jurnal ilmiah yang dipublikasikan oleh Bali Medical Journal, Intra Arterial Heparin Flushing Increases Manual Muscle Test – Medical Reserch Councils (MMT-MRC) Score in Chronic Ischemic Stroke Patient, menjelaskan bahwa metode IAHF atau cuci otak adalah untuk pengobatan stroke jenis iskemik. Di situ, ia tidak menyebutkan jenis stroke lainnya.
ADVERTISEMENT
Stroke iskemik tersebut bisa muncul jika terjadi penyumbatan di cabang pembuluh darah yang biasanya disebabkan oleh kolestrol dan racun dalam tubuh seperti radikal bebas.
Prosedur DSA Terawan memiliki beberapa tahap. Pertama, dokter akan melakukan diagnosis menggunakan DSA. Selang kecil yang disebut kateter dimasukkan ke dalam pembuluh nadi melalui pangkal paha. Dari selang ini dialirkan cairan kontras untuk memperlihatkan dengan jelas kondisi pembuluh darah, misal melihat lokasi yang tersumbat.
Kedua, cairan heparin disemprotkan ke arteri otak (karotis dan vertebralis) di bagian kiri dan kanan melalui pembuluh darah. Heparin diyakini Terawan dapat menghilangkan atau menghancurkan bekuan yang menyumbat aliran darah yang berpotensi menyebabkan stroke. Setelah bekuan tersebut hancur, menurut Terawan, aliran darah akan lancar dan kekuatan gerak otot-otot meningkat.
ADVERTISEMENT
Dalam jurnal ilmiahnya, Terawan menjelaskan melakukan manual muscle test (MMT) atau tes peningkatan kontraksi otot sebelum dan sesudah pasiennya melakukan cuci otak. Ia kemudian melihat peningkatan skor pada beberapa sampel, dan menyimpulkan bahwa metode cuci otaknya memiliki efek signifikan pada pasien dengan stroke iskemik.
Metode cuci otak Dokter Terawan. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Digital Subtraction Angiography (DSA) diperkenalkan tahun 1980 sebagai metode injeksi kontras guna mengetahui gambaran pembuluh darah. Ini prosedur untuk mendeteksi kelainan pada arteri seperti bengkak, membesar, atau buntu.
DSA di rumah sakit umum seperti RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan, biasanya gratis untuk pasien BPJS, sedangkan di rumah sakit swasta bisa memakan biaya Rp 15-25 juta. Di RSPAD Gatot Soebroto yang dikepalai Terawan, DSA memakan biaya paling sedikit Rp 30 juta.
Biaya cuci otak di RSPAD. (Foto: Johanes Hutabarat/kumparan)
“Yang namanya DSA itu di semua rumah sakit ada, dan setiap hari dipakai. Yang mengerjakan ya ahli radiologi seperti dr. Terawan. Nah, sama Dokter Terawan metode DSA itu diganti nama menjadi metode ‘cuci otak’,” kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Prof. DR. dr. M. Hasan Machfoed, Sp. S (K).
ADVERTISEMENT
“Padahal DSA hanya alat yang mestinya untuk diagnosa, malah jadi untuk terapi bahkan prevensi,” kata Hasan.
DSA, ujarnya, bukan temuan Terawan, dan bisa dilakukan hampir di setiap rumah sakit. Namun begitu, tegasnya, DSA memiliki efek samping membahayakan.
Dokter spesialis saraf RSUP Fatmawati dr. Fritz Sumantri Usman, Sp.S, FINS memaparkan tentang efek samping tesebut dalam jurnal ilmiah dia dan dua rekannya yang berjudul Safety of celebral digital substraction angiography: complication rate analysis.
“Dari 200 pasien yang menjalani prosedur, ada 0,5 persen yang mengalami komplikasi neurologis permanen, baik komplikasi neurologis reversibel (bolak-balik) maupun transien (berlangsung cepat dan singkat).”
Efek samping itulah, ujar Fritz, yang membuat tindakan DSA hanya dilakukan untuk pasien yang benar-benar membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Jadi, DSA ialah alat diagnosa, bukan temuan Terawan. Yang merupakan temuan Terawan adalah “cuci otak” atau Intra Arterial Heparin Flushing, yakni metode menyemprotkan heparin ke pembuluh darah untuk dialirkan ke arteri otak.
Heparin, yang disebut Terawan mampu memperlancar aliran darah yang tersumbat, menjadi kunci. Namun menurut Dokter Fritz, heparin tidak memiliki fungsi sebagai penghancur penggumpalan darah.
“Heparin adalah antikoagulan. Hanya bisa mencegah terjadinya penyempitan baru, bukan penyempitan yang sudah ada, kata Fritz kepada kumparan, Jumat (6/4), di RS Fatmawati.
“Kalau sudah jadi bekuan, ya obatnya itu alteplase dan lain sebagainya yang untuk menghancurkan (bekuan), bukan heparin,” tutur Hasan, lalu menambahkan, “Terawan pasti paham bahwa heparin tidak bisa digunakan sebagai terapi stroke.”
ADVERTISEMENT
Cairan heparin ini lazim digunakan oleh dokter mana pun saat melakukan DSA, untuk mencegah penggumpalan selama prosedur berlangsung.
Lipsus Dokter Terawan. (Foto: Johanes Hutabarat/kumparan)
Pada 2016, Hasan, Fritz, dan ahli saraf lain--Achmad Firdaus Sani, Amiruddin Aliah, Abdul Muis, Susi Aulina, Andi Kurnia Bintang, Ashari Bahar, Jumaraini, Mohammad Kurniawan, dan Fenny Yudiarto--menuliskan jurnal imiah berjudul Is the Cerebral Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF), Benefical for the Treatment of Ischemic Stroke? untuk membedah apakah benar IAHF alias “cuci otak” bisa menyembuhkan stroke iskemik.
Berdasarkan hasil riset para ahli saraf itu, disimpulkan bahwa tidak ada yang bisa membuktikan heparin mampu menghancurkan bekuan yang terjadi pada stroke iskemik, dan belum ada satu pun penelitian ilmiah yang bisa mendukung jurnal Terawan yang menyebut heparin berfungsi sebagai metode penyembuhan stroke iskemik.
ADVERTISEMENT
“Dapat disimpulkan bahwa IAHF dalam prosedur pencucian otak, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ilmiah yang diterapkan, dan tidak memiliki literatur dan pedoman yang mendukung manfaat heparin pada stroke iskemik akut dan kronis,” tulis jurnal Is the Celebral Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF), Benefical for the Treatment of Ischemic Stroke? tersebut.
Sanggahan untuk Dokter Terawan (Foto: Putri Sarah A./kumparan)
Dokter Terawan kini tersandung prahara. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia mengeluarkan surat pemecatan terhadapnya. Ia disebut melakukan pelanggaran etik serius menyangkut dua pasal dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yakni Pasal 4 dan Pasal 6.
Pasal 4 KODEKI berbunyi, “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.” Sementara Pasal 6 berbunyi, “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.”
ADVERTISEMENT
Soal bahwa metode cuci otak Terawan disebut belum dibuktikan secara ilmiah, bukan hal baru. Kontroversi itu terjadi sudah lama. Terawan pun telah menjawab, bahwa menurutnya, metode cuci otaknya itu sudah terbukti secara ilmiah dalam penulisan disertasi yang mengantarkan dia meraih gelar doktor di Universitas Hasanuddin.
Jawaban Terawan tersebut disanggah beberapa ahli lain dengan pendapat serupa. Pengurus PB IDI, Dr. Riza Omar Kastanya, menyatakan bahwa cuci otak Terawan, meski sering dipraktikkan, “belum dibuktikan secara ilmiah.”
ADVERTISEMENT
Disertasi Terawan, menurutnya, baru teruji ilmiah sebatas pada kajian akademis, dan belum tentu teruji secara klinis karena masih banyak tahapan pengujian yang harus dilewati.
“Kalau hasil penelitian itu sudah didisertasi melalui sidang ilmiah, bukan berarti dia langsung valid,” ujar Fritz.
Hasan Machfoed mengatakan, suatu metode bisa dikatakan teruji secara klinis dan bisa dipraktikkan ke manusia dengan melalui beberapa tahapan.
“Ada tahapan-tahapannya, mulai dari percobaan kepada binatang, (dicoba) ke jaringan binatang. Kemudian ke jaringan manusia, dan sebagainya. Baru nanti kalau sudah berhasil, (dipraktikkan) pada manusia yang volunter (mau jadi sukarelawan),” kata Hasan.
ADVERTISEMENT
Jadi, ujarnya, semua tahapan itu harus lebih dulu dilalui, tidak langsung dipraktikkan kepada manusia tanpa melalui uji coba klinis yang kemudian dibawa ke forum ilmiah dokter. Hal senada diucapkan Dekan Fakultas Kedokteran UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., SpOG(K)., Ph.D.
Tahapan-tahapan itu, menurut dokter spesialis saraf Fritz Sumantri Usman, berlaku sama di seluruh dunia berdasarkan aturan kedokteran.
ADVERTISEMENT
Kini, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada--yang merupakan almamater Terawan dalam meraih gelar sarjana--berniat mengkaji metode cuci otak sang dokter.
“Kita harus melihat secara utuh. Tidak bisa terus menyatakan ini salah atau benar. Harus melihat dari berbagai sisi secara proporsional supaya tidak mengembuskan isu yang pro-kontra. Ini akan menjadi ujian bagi kredibilitas UGM untuk objektif,” ujar Prof. Ova Emilia seperti dilansir Antara.
Menurutnya, “Perlu dilihat secara mendalam, apakah metode yang diterapkan Dokter Terawan itu untuk menghilangkan penyakit, hanya mengurangi gejala, atau hanya untuk mencegah suatu penyakit.”
Ilustrasi Cuci Otak Terawan. (Foto: Bagus Permadi-Faisal Nu'man/kumparan)
------------------------
Ikuti terus perkara Geger Terawan di Liputan Khusus kumparan.