
Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina tengah bersilaturahmi dengan Joko Widodo, Rabu (16/4), di kediaman Presiden ke-7 RI itu di Surakarta. Silfester yang mengobrol empat mata dengan Jokowi membahas sejumlah hal, mulai dari keadaan negara, tantangan yang dihadapi, serta komitmen mendukung Prabowo-Gibran hingga 2029.
Di tengah pembicaraan tersebut, Silfester menyelipkan saran dari para koleganya agar Jokowi mengambil langkah hukum terhadap sejumlah pihak yang menuding ijazah SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi miliknya palsu.
Silfester lantas menyebut nama-nama penyebar isu yang ia usulkan digeret ke ranah pidana. Mendengar usulan dari loyalisnya itu, Jokowi—menurut Silfester—tertawa santai. Ia hanya tak habis pikir masalah ini terus dibincangkan. Padahal ia sudah beberapa kali maju kontestasi pemilihan.
“Waktu nyalon Wali Kota Solo sudah diperiksa oleh partai, KPU, bahkan sekolah-sekolah beliau (Jokowi) sudah didatangi. Waktu maju cagub DKI Jakarta juga sama. Waktu pilpres dua kali, hampir semua ketua partai yang mendukung Pak Jokowi juga tahu. Masak sih semua orang ini bisa dibohongi [kalau ijazahnya palsu]?” tutur Silfester kepada kumparan usai bertemu Jokowi.
Pada hari yang sama, Jokowi di hadapan wartawan mengamini saran Silfester. Ia mengatakan tengah menimbang untuk mengambil langkah hukum, sebab perkara ini sudah mencemarkan nama baiknya.
Kuasa hukum Jokowi, Firmanto Laksana, mengonfirmasi bahwa kliennya memintanya mengkaji pihak-pihak yang menuding ijazahnya palsu. Menurut Firman, kajian itu sudah bersifat final. Ia tinggal menunggu momen untuk membawa para pihak yang bersangkutan ke ranah hukum.
“Kalau [mereka] masih terus melakukan persangkaan tanpa dasar; sudah diverifikasi, diklarifikasi, dan dikonfirmasi oleh Fakultas Kehutanan UGM tapi masih juga ngotot, maka kami akan lakukan langkah hukum,” ujar Firmanto.
Menurutnya, Jokowi selama ini sudah cukup sabar dituding berijazah palsu. Apalagi tuduhan soal itu sudah muncul berulang kali. Pertama-tama, pada Januari di tahun pengumutan suara Pilpres 2019, seorang pria bernama Umar Kholid ditangkap polisi karena menyebarkan isu ijazah Jokowi palsu di Facebook.
Berikutnya, pada 2022, seorang pria asal Blora, Bambang Tri Mulyono, membuat buku berjudul Jokowi Undercover 2: Lelaki Berijazah Palsu (SD-SMP-SMA-UGM).
Bambang bersama kuasa hukumnya, Ahmad Khozinudin, pada tahun yang sama mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 592/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst yang menyatakan bahwa ijazah Jokowi palsu.
Meski demikian, sebelum Bambang bersidang, ia ditangkap karena diduga menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian. Ia pun divonis 6 tahun penjara di Pengadilan Surakarta pada 2023 karena perkara itu. Belakangan, Mahkamah Agung mengurangi vonisnya menjadi 4 tahun bui.
Khozin mengatakan, gugatan perdata Bambang soal ijazah Jokowi palsu pun berakhir dicabut lantaran ia kadung dipenjara terkait kasus hoaks dan tidak mendapat penangguhan penahanan.
Pada 2023, Bambang Tri dkk kembali mengajukan gugatan ke Jokowi di PN Jakarta Pusat dengan nomor perkara 610/Pdt.G/2023/PN JKT.Pst atas perbuatan melawan hukum. Namun gugatan itu ditolak oleh PN Jakpus.
Teranyar, pada 2025, ijazah Jokowi kembali digugat oleh pengacara asal Solo, M Taufik, di PN Surakarta.
“Ijazah Palsu” Riuh di Medsos hingga Geruduk Rumah Jokowi
Dua hari berturut-turut, 15–16 April 2025, isu ijazah palsu Jokowi membuat sejumlah pihak yang mengatasnamakan diri Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) “menggeruduk” Universitas Gadjah Mada dan kediaman Jokowi di Solo untuk mengklarifikasi dan melihat langsung ijazahnya.
Aksi itu terjadi setelah perbincangan soal ijazah palsu Jokowi kembali viral di media sosial. Isu ini, menurut Lead Analyst Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, mengemuka pada momen-momen tertentu dalam enam bulan terakhir.
“Tanggal 16 April itu paling tinggi, di Twitter (X) saja sekitar 7.000 pos (unggahan). Saya tidak menghitung retweet dan share, murni pos yang omongin Jokowi, UGM, dan ijazah Jokowi. Kejadian geruduk rumah Jokowi itu juga ramainya di situ,” kata Nova di Depok, Kamis (17/4).
Saat didatangi TPUA, Jokowi menerima mereka tanpa memperlihatkan ijazahnya. Dalam pernyataan persnya, Jokowi mengatakan hanya akan memperlihatkan ijazah itu apabila diminta hakim di pengadilan untuk menunjukkannya.
Namun, usai pertemuan TPUA dengan Jokowi, ada 11 wartawan yang diundang Jokowi untuk melihat langsung ijazah-ijazahnya, dari SD hingga universitas. Meski boleh melihat lembar-lembar ijazah itu, para wartawan tidak diperkenankan memotretnya.
Kontributor kumparan, Ismail, juga ikut melihat ijazah-ijazah itu. Berdasarkan pengamatannya, ijazah perguruan tinggi milik Jokowi yang dikeluarkan UGM terlihat sama dengan foto ijazah yang diunggah politisi PSI asal Lombok, Dian Sandi Utama, di medsos pada 1 April, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Menurut Khozin, Jokowi berbohong karena nyatanya ia menunjukkan ijazahnya kepada wartawan yang bukan atas perintah pengadilan. Lebih lanjut ia mengatakan, pada persidangan Bambang Tri di PN Surakarta tahun 2023, pihaknya sudah pernah meminta jaksa melalui hakim untuk menghadirkan ijazah asli Jokowi demi mengonfirmasi benar atau tidaknya Bambang menyebarkan hoaks. Namun ijazah itu tak pernah dihadirkan di sidang.
“Kalau memang dia (Jokowi) konsisten, ya harusnya enggak dia keluarkan juga [ijazahnya]. Itu kan seolah-olah dia mau membangun persepsi, narasi [bahwa] wartawan sudah membuktikan. Padahal wartawan enggak bisa membuktikan. Dia hanya hadir, melihat, udah. Enggak bisa ngecek ini benar nggak fon-nya seperti yang dikatakan Rismon,” kata Khozin.
Pangkal kembali viralnya isu ijazah palsu Jokowi belakangan ini salah satunya didorong oleh analisis ahli forensik digital yang juga alumni Teknik Elektro UGM, Rismon Hasiholan Sianipar, di YouTube Balige Academy. Sejak 10 Maret sampai 15 April ketika Rismon bersama TPUA mendatangi UGM, ia sudah membuat 37 video yang menyoal keaslian skripsi dan ijazah Jokowi.
Keraguan bermula dari model huruf pada ijazah tersebut (keluaran 1985, tahun lulus Jokowi) yang—menurut Rismon—menggunakan fon Times New Roman. Kesimpulan soal fon itu didapat Rismon menggunakan metode algoritma pencocokan string/pola lekukan pada teks.
“Times New Roman harusnya ada pada versi Windows 3.1 yang baru dirilis tahun 1992,” kata Rismon kepada kumparan, Jumat (18/4).
Laman Microsoft (perusahaan pencipta sistem operasi Windows) menulis bahwa versi perdana fon Times New Roman memang ada pada Windows 3.1 dan Windows for Workgroups 3.11 yang dirilis tahun 1992.
Namun, dalam buku Anatomy of Typeface karya Alexander Lawson (terbitan 1990), Times New Roman sebenarnya pertama kali muncul pada koran Inggris, The Times, pada 3 Oktober 1932. Surat kabar itu mendapat hak eksklusif atas fon yang dibuat oleh Stanley Morison dari Monotype Corporation tersebut. Setelahnya, desain tersebut dirilis untuk penjualan komersial ke perusahaan mesin percetakan lain seperti Linotype dan Intertype.
Bagaimanapun, menurut Rismon, teknologi pemrosesan kata secara digital yang digunakan sebelum atau pada 1985 seperti Wordstar, WordPerfect, dan Macwrite belum memiliki fon tersebut.
Rasa penasaran Rismon tak berhenti sampai perkara ijazah. Pada Maret 2025, ia dan istrinya pergi ke UGM untuk mengecek langsung skripsi Jokowi. Rismon lantas menemukan bahwa lembar pengesahan skripsi tersebut juga ditulis dalam fon Times New Roman yang juga ia ragukan keasliannya.
Pada 21 Maret, UGM membuat rilis pers yang membantah analisis Rismon. Menurut Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta, fon Times New Roman pada sampul, lembar pengesahan, dan ijazah sudah jamak digunakan mahasiswa, terutama mereka yang mencetak lembar itu di tempat percetakan.
“Fakta adanya mesin percetakan di Sanur dan Prima juga seharusnya diketahui yang bersangkutan (Rismon) karena ia juga kuliah di UGM,” ujar Sigit.
Percetakan Sanur dan Prima di Yogya kerap menjadi tempat pencetakan tugas akhir para mahasiswa UGM. Namun, menurut alumni UGM Dokter Tifauzia Tyassuma, Percetakan Prima baru berdiri tahun 1986.
Klarifikasi UGM tak membuat percakapan di medsos mereda. Rismon kembali membuat argumen balasan dalam video baru berjudul “KLARIFIKASI ABAL-ABAL UGM! Memalukan! Tak Ada ILMIAH SAMA SEKALI!” Isi video itu menyoroti lembar pengesahan skripsi Jokowi yang ia anggap bukan berasal dari teknologi tahun 1985.
Ketika percakapan di publik soal ijazah menghangat, muncullah—untuk pertama kalinya—foto ijazah Jokowi yang berwarna. Foto itu diunggah Dian Sandi Utama di akun X miliknya, @DianSandiU, saat Lebaran 1 April.
Kepada kumparan, Dian mengatakan tidak memotret ijazah Jokowi secara langsung. Ia beroleh foto ijazah Jokowi itu dari seorang sumber yang tak ingin disebut namanya. Dian pun membandingkan foto ijazah Jokowi itu dengan ijazah kawan angkatan Jokowi yang sama-sama lulus tahun 1985, yakni Andi Pramaria yang pernah menjabat Kepala Dinas Kehutanan NTB.
“Saya komparasikan [foto] ijazah Pak Jokowi dengan ijazah Pak Andi dalam satu postingan yang sama. Bersebelahan, baik itu tanda tangan dekan, tanda tangan lain-lain, sama semua. Hanya beda penomoran dan nama,” kata Dian.
Bagaimanapun, unggahan foto ijazah berwarna Jokowi oleh Dian justru memicu perdebatan panjang di X—yang hingga 21 April pukul 00.30 WIB sudah mencapai 7,9 juta tayangan.
Meragukan Skripsi & Ijazah Jokowi hingga Datangi UGM
Bersama perwakilan TPUA Tifauzia Tyassuma dan Roy Suryo, Rismon turut menemui pimpinan Fakultas Kehutanan dan perwakilan Rektorat UGM pada 15 April. Dalam forum tersebut, dihadirkan sejumlah dokumen, yaitu skripsi Jokowi, skripsi teman-teman seangkatannya di Fakultas Kehutanan, serta foto-foto yang menunjukkan bahwa Jokowi pernah kuliah dan KKN di UGM.
Ada sejumlah poin yang disoal Rismon berkaitan dengan skripsi, ijazah, dan jejak akademik Jokowi di UGM selain soal fon Times New Roman pada lembar pengesahan skripsi dan ijazahnya.
Pertama, pada 2017 Jokowi pernah menyebut bahwa dosen pembimbingnya bernama Kasmudjo yang ia kesankan sebagai dosen galak. Namun, nama Kasmudjo tidak ada dalam lembar pengesahan skripsi Jokowi. Di situ justru tercantum Achmad Soemitro sebagai dosen pembimbing utama.
Kedua, tidak ada nama penguji dalam lembar pengesahan skripsi Jokowi, padahal pada sejumlah skripsi teman-teman satu fakultasnya yang lulus tahun 1985, tertulis nama penguji.
Rismon turut mempersoalkan ijazah teman-teman seangkatan Jokowi yang ditunjukkan pada pertemuan itu karena pada salah satunya justru tertulis bahwa skripsinya telah dipertahankan di depan penguji tesis (karya ilmiah akhir untuk lulus S2). Selain itu, skripsi kawan seangkatan lulus Jokowi seperti Sigit Hardwinarto hingga Sri Daminingsih juga tidak bertanda tangan pada nama-nama yang ada di lembar pengesahannya.
“Menurut saya, ada dua kemungkinan. Satu, [skripsi] mereka fiktif. Kedua, [skripsi] mereka tidak fiktif, lulus dari Fakultas Kehutanan, tetapi lembar pengesahan skripsinya ini disobek, lalu digantikan agar sesuai dengan teknologi [fon] yang ada pada lembar pengesahan skripsi Joko Widodo,” kata Rismon.
Sebelumnya, Rismon pun mempertanyakan data Electronic Theses & Dissertations skripsi dari Fakultas Kehutanan UGM tahun 1985, sebab di situ yang ada hanya data skripsi Jokowi (lembar sampul, daftar isi, dan daftar pustaka). kumparan kemudian mencoba mencari skripsi UGM lain keluaran 1985 melalui situs etd.repository.ugm.ac.id dan mendapati hasil serupa.
kumparan lalu mengajukan surat permohonan akses untuk melihat skripsi Jokowi dan kawan-kawan sefakultasnya yang menjalani sidang skripsi tahun 1985, namun Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius menyebut skripsi-skripsi itu kini disimpan untuk kepentingan penyidikan Bareskrim Polri.
Ketiga, Jokowi diragukan mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai salah satu syarat kelulusannya. Menurut Rismon, dalam forum 15 April itu, Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM Prof. Dr. Wening Udasmoro menyampaikan bahwa jejak akademik terkait KKN tersebut masih dicari.
“Yang ada adalah pengakuan dari rekan alumninya sesama satu angkatan. Jadi [bukti Jokowi KKN] dari pengakuan temannya,” ujar Rismon.
Di luar poin-poin meragukan yang disampaikan pada forum UGM tersebut, Rismon dan Roy Suryo juga meragukan foto yang dipajang di ijazah Jokowi sebagai Jokowi. Pasalnya, berdasarkan alat pemrograman deepface dengan bantuan Artificial Intelligence, Rismon menyebut foto Jokowi di ijazah justru lebih cocok dengan wajah sepupunya, Dumatno Budi Utomo. Kecocokan itu di atas 70–80%.
Sebaliknya, ketika dicocokkan antara foto ijazah dengan foto Jokowi saat menjabat presiden, Rismon justru mendapati hasil di bawah 50% yang artinya tidak match atau bukan orang yang sama.
“Itu melakukan pencocokan titik-titik kunci di wajah. Memang kurva di bibir bawah dan kelancipan tepi hidung itu lebih cocok ke Dumatno, tetapi saya disclaimer, ini petunjuk saja, bahwa kami dapat bukan dari sumber pertama, tapi dari [foto-foto] yang beredar di medsos,” kata Rismon.
Beberapa poin keraguan tersebut satu per satu dijawab UGM dan teman-teman Jokowi, termasuk loyalisnya. Usai pertemuan dengan TPUA, Dekan Fakultas Kehutanan Sigit Sunarta mengatakan bahwa skripsi Jokowi yang diserahkan ke UGM merupakan skripsi asli. Adapun ijazah aslinya ada di tangan Jokowi, sedangkan UGM hanya memegang salinannya saja.
Sigit menegaskan, UGM memiliki dokumen yang membuktikan Jokowi pernah mendaftar di UGM, menempuh pendidikan, mengambil mata kuliah, ikut serta di KKN, ujian skripsi, dan dinyatakan lulus. Namun dokumen-dokumen itu baru dibawa jika diperintahkan pengadilan.
“Kami akan bawa bukti-bukti itu. Kami tidak bisa melayani [permintaan untuk melihatnya] satu per satu. Yang akan kami layani adalah yang nanti sudah masuk ke ranah pengadilan,” ujar Sigit.
Sementara soal KKN, kawan seangkatan Jokowi, Frono Jiwo dan Andi Pramaria, mengatakan kepada kumparan bahwa Jokowi KKN di Boyolali, Jawa Tengah, medio 1984–1985. Mereka tidak satu desa dengan Jokowi, tetapi Frono menyebut seorang kawannya pernah membuat plang bersama Jokowi saat KKN dan ada fotonya.
“Teman saya, Eko Susilo Adi Utomo, angkatan 19809 Fakultas Teknik Geodesi UGM, dan Pak Joko Widodo sedang membuat papan-papan nama. Nama dusun ada di plang tersebut,” ujar Frono sambil mengirim foto Eko dan Jokowi saat KKN kepada kumparan.
Dalam foto tersebut, plang tempat menunjukkan Jokowi kemungkinan KKN di Desa Ketoyan, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali, lantaran sejumlah tulisan penanda menunjukkan subwilayah di desa itu seperti Seworan dan Gagatan.
Andi dan Frono juga bicara senada mengenai format skripsi dan ijazah mereka yang sama persis dengan Jokowi. Keduanya bercerita bahwa skripsi mereka diketik dengan mesin ketik, kecuali halaman judul (sampul) dan lembar pengesahan yang dibuat oleh percetakan Perdana.
“Kami tidak tahu bentuk fon tersebut Times New Roman dan kami tidak tahu dari mana percetakan mendapatkannya,” ujar Frono.
Ijazah Frono, Andi, dan Jokowi yang sama-sama lulus tahun 1985 memiliki kekhasan, yakni menggunakan materai pada tanda tangan dekan. Pada 7 Juni 2020, Roy Suryo melalui akun X-nya @KRMTRoySuryo2 bahkan pernah mengunggah ijazah 1985 dari jurusan Fisika UGM yang juga menggunakan materai di nama dekan.
Jokowi, menurut keduanya, dulu aktif di senat mahasiswa pecinta alam bernama Silvagama. Meski Frono jarang naik gunung, ia tahu karena dulu ia Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM periode 1983–1985.
Perihal foto Jokowi yang disebut cocok dengan foto Dumatno, Silfester Matutina menyebut hal itu tak logis karena jarak umur keduanya yang terpaut jauh, yakni 16 tahun.
Jokowi lahir tahun 1961 dan ketika lulus pada 1985 berusia 24 tahun, sedangkan Dumatno kelahiran 1977 dan pada 1985 berusia 8 tahun.
Terkait foto ijazahnya yang berkacamata, Jokowi menyebut bahwa dulu matanya minus, lalu kacamatanya pecah, dan ia tak mampu membeli kacamata lagi.
Soal foto ini, Dian Sandi bertanya balik: jika memang foto di ijazah bukan Jokowi, lantas mengapa foto yang sama ada di buku alumni UGM dan buku nikah Jokowi?
PDIP pada 2014 pernah mengunggah foto akta nikah Jokowi dan Iriana di Facebook, dan di situ Jokowi menggunakan foto yang sama seperti di ijazah. Unggahan itu kini tak bisa diakses di bekas tautan ini, tetapi jejak digitalnya muncul di berbagai pemberitaan.
Konsekuensi Jika Ijazah Jokowi Palsu
Ahmad Khozinudin menyebut persoalan dugaan palsunya ijazah Jokowi tak pernah tuntas karena persidangan tak pernah masuk ke pokok perkara: ijazah asli dan saksi-saksi belum pernah dihadirkan.
Khozin menekankan, meski Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden, ada konsekuensi hukum jika ia terbukti memalsukan ijazah. Khozin mengutip kemungkinan pelanggaran pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan keterangan palsu dalam akta autentik yang masing-masing dapat diancam 6 tahun penjara.
Selain itu, ada pula implikasi lain yang tak remeh bila ijazah SMA-nya pun palsu.
Karena hukum tak berlaku surut (ke belakang), setidaknya menurut Khozin, jika isu ijazah palsu ini terbukti, maka hal itu bisa menjadi pelajaran bahwa verifikasi politik untuk mencari calon pemimpin harus dilakukan lebih hati-hati.
Pengacara Jokowi, Firmanto Laksana, menegaskan bahwa siapa yang menuding, dialah yang mesti membuktikan tudingannya: di mana letak kepalsuannya?
Oleh sebab itu, pihaknya menilai tidak wajib menunjukkan ijazah Jokowi tersebut kepada pihak penuding.
Firmanto sudah dua tahun diberi kuasa Jokowi untuk menghalau isu ijazah palsu ini. Jokowi berpesan kepadanya untuk mengkaji kasus ini dan memberi pilihan.
“Kaji dulu apakah ini harus dihentikan sampai mereka (penuding) puas, atau dihentikan dengan cara-cara sesuai hukum,” kata Firmanto menirukan ucapan Jokowi.
Sementara Silfester menyatakan isu ini muncul dengan dugaan ada pihak yang ingin mengadu domba antara Jokowi, Prabowo, Gibran, hingga SBY.
“Saya pikir saudara-saudara kita [yang menuding itu] memang hanya mau cari popularitas atau sakit hati karena enggak dapat jabatan atau kemarin kalah pilpres. Intinya, sakit hatinya dari dulu penuh kebencian,” ujar Silfester.
***