Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Membedah Sejarah Kemacetan di Jalan Margonda, Depok
10 April 2018 17:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Siapapun yang bertandang ke Kota Depok, Jawa Barat, pasti pernah memiliki kenangan dengan Jalan Margonda. Jalan tersebut merupakan ruas utama yang menghubungkan Kota Depok dengan Jakarta dan Bogor.
ADVERTISEMENT
Dari Jalan Margonda itu, roda pemerintahan kota berputar. Di sana terdapat kantor Wali Kota Depok yang berdiri dan menjadi saksi bagi kendaraan yang melintasi jalan tersebut. Tepat di seberang jalan, tampak kantor Polres Depok yang tak pernah sepi dari aduan masyarakat.
Sejumlah tempat kuliner, perbankan, mall, hingga apartemen dan hotel berjejer rapi di ruas jalan tersebut. Akses utama menuju kampus Universitas Indonesia pun melewati Jalan Margonda. Tak salah bila Margonda disebut sebagai jantungnya Kota Depok.
Persoalannya, jantung kota itu menyisakan masalah klasik berupa kemacetan bagi para pengendara yang melaluinya. Melalui jalan sepanjang 6,5 km itu menjadi sangat melelahkan terutama di kala jam pergi dan pulang kerja.
Terkait dengan kemacetan itu, baru-baru ini berembus wacana untuk menerapkan skema jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) untuk mengurai kemacetan di Margonda. Wacana itu datang dari Pemprov Jawa Barat yang tengah melakukan kajian terhadap kemungkinan diterapkannya ERP di ruas jalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Menariknya, jauh sebelum Jalan Margonda dipadati kendaraan bermotor, jalan tersebut pernah berada dalam “kesepian”. kumparan menelusuri jejak sejarah kemacetan yang ada di Margonda.
Penetrasi Universitas Indonesia ke Depok
Berdasarkan buku berjudul “Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950—1990-an” yang ditulis oleh Tri Wahyuning M. Irsyam, disebutkan bahwa Jalan Margonda pada tahun 1960-an tak lebih dari sekadar lahan pertanian.
Saat itu, Depok bukanlah sebuah kota mandiri seperti yang kita kenal saat ini. Nama Depok sendiri merujuk pada sebuah kota kecamatan yang berada dalam wilayah Kabupaten Bogor.
Wajah lahan pertanian di Jalan Margonda Depok itu kemudian mulai berubah ketika status Depok ditingkatkan menjadi kota administratif pada 1982. Konsekusi dari peningkatan status itu adalah dibangunnya Kantor Walikota Kota Administratif Depok di Jalan Margonda.
ADVERTISEMENT
Pembangunan kantor pemerintahan itu kemudian diiringi dengan dibangunnya sejumlah infrastruktur lain seperti rumah sakit, pusat perbelanjaan dan kantor polisi. Sejak pertengahan 1980-an itu, Jalan Margonda ditingkatkan statusnya menjadi jalan utama.
Kepadatan di Jalan Margonda kemudian mulai bertambah semenjak Universitas Indonesia (UI) dipindahkan ke Depok pada 1987, dari yang sebelumnya berada di Rawamangun, Jakarta Timur. Dengan adanya perpindahan itu, tempat pemondokan (kos-kosan) mahasiswa, karyawan dan dosen UI kian menjamur di sepanjang Jalan Margonda.
Perpindahan kampus UI sendiri juga berakibat pada mata pencaharian warga di sekitaran Margonda yang tak lagi menjadi petani. Warga lebih memilih meninggalkan pekerjaannya dan beralih di sektor jasa dan perdagangan, seperti membuka warung dan rental komputer.
ADVERTISEMENT
Berubahnya wajah Jalan Margonda itu rupanya tak hanya dilihat oleh warga sekitar. Warga Jakarta pun ada yang melirik tempat tersebut untuk dijadikan lahan berbinis baru.
Selain permukiman mahasiswa, ada juga orang kaya dari Jakarta yang merasa tertarik dengan ekonomi di Depok untuk berbisnis dalam bidang pemondokan atau rumah makan.
Ruang Hunian bagi Warga Jakarta
Pada awal berdirinya, Depok sebetulnya telah disiapkan untuk menanggulangi masalah sempitnya lahan dan rumah di Jakarta. Kala itu, Depok disiapkan sebagai rumah bagi penduduk Jakarta yang ingin melakukan kegiatan pulang-pergi ke Jakarta.
Pada tahun 1974, rencana tersebut mulai direalisasikan. Hal itu ditandai dengan dibangunnya 1.480 unit rumah murah yang dibangun oleh Perumnas (Perumahan Nasional) di Depok 1 dan Depok Utara.
ADVERTISEMENT
Dipilihnya kawasan itu pun bukan tanpa alasan. Sebab, wilayah tersebut dekat dengan jalur rel kereta api listrik dari Bogor ke Jakarta. Lokasi tersebut juga tak jauh dari pusat pemerintahan Kota Depok yang sudah direncanakan berada di Jalan Margonda.
Tak hanya di Depok I dan Depok Utara, Perumnas juga kemudian membangun perumahan bagi para PNS di Depok II tengah dan Depok Timur. Keberadaan para PNS itu kemudian dilihat oleh para pengusaha. Kala itu, dibangun sebuah pusat perbelanjaan modern bernama Toko target di Depok Timur.
Keberhasilan Toko Target pun diikuti oleh pengusaha lainnya. Peluang ekonomi yang semakin membaik mendorong hadirnya pusat perbelanjaan lainnya di Jalan Margonda. Saat itu, pusat perbelanjaan pertama di sana bernama Ramanda.
ADVERTISEMENT
Adanya kenyamanan berbelanja di pusat perbelanjaan modern kemudian menjadi gaya hidup tersendiri bagi warga di Depok. Warga mulai beralih dari pasar tradisonal dan memilih untuk memadati pusat perbelanjaan modern di sekitar Jalan Margonda tersebut.
Berdasarkan data yang ada dimiliki Badan Kerjasama Pengembangan Jabotabek, adanya penetrasi pembangunan pemukiman Perumnas itu mengakibatkan jumlah warga yang tinggal di Depok mengalami kenaikan signifikan.
Pada 1982, pendatang baru yang mendiami Depok tercatat ada sebanyak 124.320 orang. Dengan rincian penghuni Perumnas sebanyak 114.426 orang dan sisanya yang merupakan penghuni nonperumnas berjumlah 9.894 orang. Padahal, warga lama Depok kala itu hanya berjumlah 106.430 orang.
Melesatnya modernitas di Depok juga mengakibatkan gelombang migrasi besar-besaran warga dari berbagai daerah untuk tinggal di Depok. Pada 1995, tercatat bahwa terdapat 75.639 migran yang datang ke Depok.
Dari data tersebut, jumlah migran yang datang ke Depok paling banyak didominasi oleh warga DKI Jakarta dan Jawa Barat. Adapun warga Jawa Barat yang datang ke Depok itu berasal dari Sukabumi, Bogor, Bekasi dan Bandung. Migrasi itu sendiri didasari oleh alasan keluarga berupa ikut suami/istri/anak/orang tua, serta alasan pekerjaan karena dekat dengan Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan Jalan Margonda saat ini? kini Jalan Margonda menjadi jalur utama bagi masuk dan keluarnya kendaraan bermotor. Di samping menjadi pusat pemerintahan dan pusat hiburan bagi warga Depok.
Dikutip kumparan dari situs Pemerintah Kota Depok , Selasa (10/4), tingkat volume perkapasitas kendaraan di Kota Depok sudah berada di titik 0,8 dan akan berada di titik 0 pada 2021.
Titik 0 sendiri menandakan kendaraan yang tidak akan bisa berjalan karena volume kendaraan yang sudah terlalu banyak. Dengan kapasitas jalan yang tidak bertambah.
Adapun jumlah sepeda motor di Kota Depok terus meningkat. Pada tahun 2010 terdapat 613.487 unit, angka itu kemudian melonjak menjadi 817.850 pada tahun 2014. Sementara itu, pada 2010 terdapat 87.503 unit mobil pribadi. Jumlahnya kemudian melonjak menjadi 155.510 unit pada 2014. Angkutan umum dari tahun 2010-2014, jumlahnya tetap di angka 6.508 unit.
ADVERTISEMENT