news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membedah Self-Plagiarism, Isu yang Menerpa Rektor Terpilih USU

19 Desember 2020 8:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rektor USU terpilih Muryanto Amin. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Rektor USU terpilih Muryanto Amin. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Rektor terpilih Universitas Sumatera Utara (USU) Muryanto Amin diterpa isu plagiarisme. Muryanto dituding melakukan self-plagiarism karya ilmiah untuk kenaikan pangkat. Kasus ini bermula dari laporan masyarakat ke Kemendikbud pada 6 Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Rektorat USU telah membentuk tim khusus untuk menyelidiki dugaan kasus plagiat tersebut. Ada empat jurnal ilmiah Muryanto yang dikaitkan dengan unsur plagiarisme. Muryanto diduga melakukan publikasi ganda pada lebih dari satu media atau jurnal.
”Jadi ada satu karya terbit beberapa kali di tiga jurnal yang berbeda. Kita telusuri ke belakang, ada jurnal yang pernah terbit dalam Bahasa Indonesia. Itu yang diterjemahkan (ke Bahasa Inggris) terbit lagi,” kata Jonner Hasugian kepada kumparan, Jumat (18/12)
Jonner merupakan dosen jurusan Ilmu Perpustakaan USU. Dia ditunjuk menjadi ketua tim khusus penelusuran dugaan plagiat Muryanto. Meski begitu, Jonner dan timnya tidak memiliki hak untuk menentukan apakah karya yang dimaksud plagiat atau tidak. Mereka hanya melakukan penelusuran data-data. Hasil kajian pun telah diserahkan ke rektorat USU pada Sabtu pekan lalu (12/12).
ADVERTISEMENT
Sedianya, Muryanto akan dilantik menjadi Rektor USU pada Januari 2021. Namun, isu tudingan self-plagiarism terlanjur menyambar. Keputusan kasus ini akan disampaikan setelah rapat pleno pekan depan.
Lantas, apa sebenarnya self-plagiarism itu?

Empat Tipe Plagiarisme

Secara historis, kata 'plagiarisme' berakar dari bahasa Latin ‘plagiarius’ yang artinya penculik. Sementara pada abad ke-17, kata 'plagiari' merujuk pada 'penculik atau penculikan, pencurian atau pencuri ide.
Ilustrasi seseorang mengedit konten di laptop. Foto: Shutterstock
Masyarakat kemudian memahami plagiarisme sebagai upaya mengakui karya orang lain sebagai milik pribadi. Khususnya menjiplak sepenuhnya karya orang lain dan mengklaimnya sebagai hasil jerih payah diri sendiri.
Meski demikian, plagiarisme ternyata memiliki definisi yang lebih luas dari itu. Menurut Bowdoin University, ada empat tipe plagiarisme dalam dunia akademik yang tidak dapat ditolerir. Yakni, Direct Plagiarism, Mosaic Plagiarism, Accidental Plagiarism, dan Self-Plagiarism.
Ilustrasi kampus Foto: Pixabay
Pertama, direct Plagiarisme atau plagiarisme langsung merupakan tindak plagiarisme yang lazim dipahami masyarakat. Di sini seseorang benar-benar mengambil karya orang lain dan mengakuinya. Aksi copy-paste (copas) tulisan orang lain mentah-mentah. misalnya, merupakan direct plagiarism.
ADVERTISEMENT
Kedua, mosaic plagiarism atau plagiarisme tambalan terjadi saat seseorang meminjam frasa dari suatu sumber tulisan tanpa menggunakan tanda kutip. Selain itu, seseorang yang mencari-cari sinonim terhadap bahasa penulis asli dengan tetap mempertahankan struktur umum tulisan penulis asli juga dapat disebut sebagai mosaic plagiarism.
Ketiga, accidental plagiarism atau plagiarisme tidak sengaja. Ini bisa terjadi saat seseorang lalai mengutip sumber atau secara tidak sengaja mengubah sumber tulisan dengan menggunakan kata-kata, kelompok kata, atau struktur kalimat yang serupa tanpa atribusi.
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Dok. Freepik
Keempat, self-plagiarism atau plagiarisme diri sendiri terjadi saat seseorang menyerahkan satu karya akademik ke dua institusi yang berbeda. Selain itu, mengutip sebagian karya yang pernah dibuat ke institusi lain tanpa mencantumkan sumber karya sebelumnya juga termasuk self plagiarism.
ADVERTISEMENT

Dilema Self-Plagiarism

Gagasan tentang bahaya self-plagiarism disebarkan oleh Committee on Publication Ethics (COPE). Organisasi nonprofit yang berdiri tahun 1997 itu berkomitmen untuk mendefinisikan etika akademik untuk ilmuwan, penerbit, hingga kampus. Kini ada lebih dari 11.500 jurnal ilmiah yang berjanji untuk menegakkan standar yang ditetapkan oleh COPE.
Dalam situs resminya publicationethics.org, COPE mewanti-wanti penulis yang ingin mengirim karyanya ke jurnal ilmiah. Disebutkan bahwa penulis mesti terus terang tentang tema-tema yang pernah ditulis dalam tulisan yang di-submit. Bahwa si penulis harus memastikan tulisannya adalah sintesis dari apa yang pernah dikerjakannya, bukan menjiplak karyanya sendiri.
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
Jika dilihat sekilas, rasanya etika tersebut berlebihan. Rasanya tak ada yang salah saat seseorang menjiplak hasil karyanya sendiri. Namun Irving Hexham dalam 'The Plague of Plagiarism: Academic Plagiarism Defined (2013)' meyakinkan publik bahwa tindakan itu akan mengkhianati seluruh usaha ilmiah.
ADVERTISEMENT
Mengutip gagasan Paul Brian dari University of Montreal, Hexham menggambarkan self-plagiarism sebagai sebuah pencurian. Seolah-olah penulis mengarahkan pembeli buku untuk berpikir bahwa ada buku barunya di pasaran. Padahal kenyataannya tak ada buku baru.
Di komunitas akademik, kata Hexham, plagiarisme bermasalah saat satu karya yang sama dikirim ke institusi yang berbeda demi kenaikan gaji atau tujuan promosi. Hexham melihat ada unsur penipuan yang dilakukan si penulis tersebut. Oleh sebab, itu self-plagiarism tidak dapat dibenarkan.
Ilustrasi kuliah bisnis Foto: Akson/unsplash
Etika ini diterima hampir di seluruh kampus dunia. Dalam Harvard College Handbook for Students 2020-2021, misalnya, disebutkan bahwa hukuman terberat bagi mahasiswa yang melakukan plagiarisme, termasuk self-plagiarisme, adalah dikeluarkan dari kampus ivy league tersebut.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, masih banyak mahasiswa yang belum memahami bahwa self-plagiarism adalah suatu kesalahan. Dalam riset yang dilakukan Colleen M. Halupa, ada sekitar 60 persen dari 250 mahasiswa di tiga kampus AS yang merasa self-plagiarism bukanlah tindakan yang melanggar etika akademik. Riset Colleen itu dipublikasikan dalam jurnal berjudul 'Exploring Student Self-Plagiarism' (2014).
Persoalannya, self-plagiarism memang tak sepenuhnya dianggap fakta putih dan hitam. Sejumlah akademisi masih melihatnya berada di zona abu-abu. Bahkan sebagian kecilnya lagi menilai ada kepentingan korporasi di balik self-plagiarism. Pendek kata ada agenda kapitalisme.
Harvard University Foto: Commons Wikimedia
Jamie Callahan, misalnya, menilai wajah buruk self-plagiarism merupakan hal yang mengada-ada. Profesor dari Northumbria University itu justru, salah satunya, menuding perusahaan software plagiarism detector yang memiliki kepentingan atas etika ini.
ADVERTISEMENT
“Perusahaan pendeteksi plagiarisme ingin menciptakan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pasar produk mereka; memproduksi 'kebutuhan' baru untuk mendeteksi lebih banyak contoh plagiarisme yang sesuai dengan kepentingan kapitalis,” tulis Callahan.
Di sisi lain, kata Callahan, penerbit juga ingin mempersempit jangkauan setiap naskah yang masuk. Dengan begitu, mereka memiliki hak eksklusif untuk menghasilkan uang dari pasar.
Gagasan Callahan itu termuat dalam esainya yang berjudul ‘The Retrospective (Im)moralization of Self-Plagiarism: Power Interests in The Social Construction of New Norms for Publishing’ (2017). Uniknya, esai itu terbit di Sage Journals yang secara prinsipil tunduk pada etika akademik COPE.
Ilustrasi buku catatan. Foto: Shutterstock
Namun uniknya lagi, Callahan di esainya itu membeberkan bahwa dia mengutip tulisannya sendiri sebanyak 10 persen. Callahan menyebut tengah menggunakan cara plagiarisme gerilya (guerrilla plagiarism) untuk menunjukkan dia tak tunduk pada self-plagiarism.
ADVERTISEMENT
“Saya terlibat dalam format 'plagiarisme gerilya' untuk menolak perampasan suara kepenulisan saya oleh elit kekuasaan di bidang kelembagaan penerbitan,” kata dia.
Terlepas dari perdebatan konseptual soal self-plagiarism, Indonesia memiliki kepastian hukum soal plagarisme. Itu diatur pada Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
Dalam permen itu, sanksi yang diatur adalah mulai dari teguran ringan, pencabutan ijazah, hingga pemberhentian dengan tidak hormat dari status sebagai tenaga kependidikan.
Jadi bagaimana menurut kamu? Apakah self-plagiarism merupakan kesalahan?
***