Membuka Kembali Lahan “Neraka” Orde Baru

9 Mei 2020 15:35 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kebakaran lahan gambut dan hutan di Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
zoom-in-whitePerbesar
Kebakaran lahan gambut dan hutan di Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti
Kiamat sepertinya baru saja lewat di Kalimantan Tengah. Paling tidak, itulah yang dirasakan Peter Aldhous ketika melintas di persimpangan dua kanal drainase bekas Proyek Pembukaan Lahan Gambut (PPLG) Sejuta Hektare pada 2004 lalu.
Pandangannya ke daratan di balik kanal terhalang oleh gambut kering setinggi empat meter. Tak ada tanaman bisa tumbuh di sana. Asap dari beberapa titik kebakaran membubung di langit, sedangkan api yang sudah padam menyisakan bercak kuning dan endapan asam, di atas gambut. Udara sesak oleh asap. Matahari hanya sesekali terlihat di balik asap itu.
“Di atas, matahari menggantung merah oranye mengintip suram melalui selubung asap. Itu seperti gurun pasca-apokaliptik. Tentu saja ‘kiamat’ adalah deskripsi yang tepat untuk apa yang terjadi di sini,” tulis Peter.
Pengalamannya berada di titik api kebakaran hutan tahun 2004 itu ia tuliskan dalam artikel berjudul Borneo is Burning di Majalah Nature edisi November 2004. Api nyaris melumpuhkan permukiman di sekitar lahan PPLG. Bahkan Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah, turut dikepung api.
Pinggiran kota itu sudah berselimut kabut asap. Nyala api kemudian memang berkurang, tapi gambut tetap membara berhari-hari.
“Pada satu titik, pohon tumbang menghalangi jalan. Gambut tempat ia tumbuh habis terbakar. Berdiri di pinggir jalan, air mata saya mengalir,” lanjutnya.
Sebuah gubuk kayu ikut terbakar kala kebakaran hutan terjadi di Palangka Raya. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Proyek PPLG berawal dari keinginan Presiden Soeharto menggenjot produksi padi di Indonesia pada 1995. Kalimantan Tengah dipilih sebagai jantung produksi padi, menggantikan Jawa yang kian sesak. Keputusan untuk membabat hutan di atas lahan gambut pun lalu dilaksanakan.
Pemerintah kala itu menggunakan teknik pengairan sawah di Jawa untuk mengolah gambut. Mereka membangun sistem irigasi dengan maksud menguras air di lahan itu. Peter mencatat, setidaknya sekitar 4.600 kilometer saluran drainase digali, dengan saluran terbesar memiliki lebar 30 meter.
Namun, proyek besar ini menemui kegagalan dan membawa bencana ekologi. Puluhan ribu transmigran Jawa penggarap sawah gambut terlanjur datang dan memperoleh lahan yang buruk. Sementara penduduk asli, Dayak, kehilangan mata pencaharian tradisional mereka karena hilangnya ekosistem hutan di atas gambut.
Guru Besar Pertanian UGM, Tejoyuwono Notohadiprawiro, menyebutkan PPLG Sejuta Hektare Gambut menjadi program ambisius Orde Baru soal pangan. Kala itu, keberhasilan swasembada pangan tahun 1984 berakhir pada 1993. Indonesia pun harus mengimpor padi sebesar dua ton setiap tahun.
Kalimantan kemudian dipilih sebagai penyedia padi agar tak perlu lagi impor. Asumsinya, penduduk Kalimantan masih jarang sehingga pertanian padi berskala besar dapat dibentang. Corat-coret di atas kertas menghasilkan rancangan persawahan di hamparan dataran Sungai Sebangau, Kapuas, Kahayan, dan Barito, yang berakhir di Laut Jawa. Berbagai saluran saling tegak lurus menyambungkan pengairan di antara sungai itu.
Lahan sawah rawa di Desa Kolam Kiri Dalam, Kalimantan Selatan. Foto: Deshana Ryan Prasastya/kumparan
Ada lima wilayah kerja PPLG Sejuta Hektare Gambut, yakni wilayah A yang terletak di antara Sungai Kapuas dan Barito seluas 227.100 ha, wilayah B di antara Sungai Kahayan dan Kapuas seluas 161.480 ha, wilayah C antara Sungai Sebangau dan Kahayan seluas 568.635 ha, wilayah D antara Sungai Kahayan dan Kapuas seluas 162.278 ha, dan wilayah E di Saluran Primer Induk seluas 337.607 ha. Total bentang lahan pun mencapai 1,45 juta hektare.
Rancang bangun ini buyar karena lebih banyak mengandalkan asumsi, bukan sains. Tejoyuwono menuliskan dalam makalahnya, Proyek Pengembangan ‘Lahan Gambut Sejuta Hektare’ Keinginan dan Kenyataan, data mengenai tanah, topografi, hidrologi, hidrolika, dan AMDAL regional dikesampingkan. Karakter wilayah sebagai tanah basah (wetland) tak dihiraukan sehingga pembangunan saluran salah kaprah dan ekosistem ikut hancur.
“Rancangannya memang indah, tetapi kenyataan di lapangan mengatakan lain. Kenyataan yang menyimpang dari keinginan disebabkan karena perancangan terlalu banyak menggunakan asumsi,” tulis Tejoyuwono.
Ia menuliskan, berbagai kerusakan lingkungan terjadi akibat pengesampingan data-data ilmiah seperti pengurasan kubah gambut, pembentukan cekungan, hingga peracunan tanah karena salah pengairan dan sedimentasi. Hasilnya, ekosistem gambut hancur.
Pada 1998 pun tim kaji ulang merekomendasikan penghentian proyek ini. Tim ini hanya menyisakan kelanjutan pembukaan di wilayah A seluas 31.000 ha karena sudah terlanjur ditempati 13.500 keluarga transmigran dan pembukaan 17.000 ha untuk transmigran baru.
Selebihnya, sekitar 1,41 juta ha harus direhabilitasi dengan vegetasi primer alami. Saluran primer utama pun harus ditutup supaya gambut tak mengering dan terbakar.
Bencana terus menyusul di lahan itu. Peter Aldhous menjalani pengalaman di titik api bekas PPLG pada 2004. Ia menyebutkan saluran PPLG sebagai kanal neraka.
Kebakaran lahan gambut di Kalimantan Tengah. Foto: AFP/Bay Ismoyo
Gelapnya pengelolaan lahan gambut untuk pertanian skala besar tak membendung pemerintah merencanakan ekstensifikasi besar-besaran kini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebutkan rencana pemerintah memanfaatkan potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah sebagai persawahan.
“Yang di Kalteng diperkirakan ada lebih 900.000 ha, yang sudah siap 300.000 ha. Juga yang dikuasai BUMN ada sekitar 200.000 ha. Supaya dibuat perencanaan agar bisa ditanami padi,” ucapnya via telekonferensi, Selasa (28/4).
Kementerian Pertanian menyebutkan, terdapat 600.000 ha lahan yang bisa dimanfaatkan untuk program ini. Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Sarwo Edhy menyebutkan sebagian lahan itu ada di kawasan PPLG Sejuta Hektare.
“Itu kan di lahan yang eks satu juta hektare di Kalimantan Tengah. Itu mau dioptimalkan lagi,” jelasnya kepada kumparan, Rabu (6/5).
Saat ini pemerintah tengah mengevaluasi program tersebut. Sarwo menyebutkan, survei tengah dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Ia akan melihat sendiri kondisi lahan itu.
Ide awal pembukaan lahan ini sudah terjadi pada 2017. Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran mengirim surat kepada Menteri Kehutanan Siti Nurbaya, meminta persetujuan pengembangan food estate di Kalimantan Tengah.
Surat Gubernur Kalteng ke Menteri LHK terkait Optimalisasi Lahan Pertanian. Foto: Dok. Istimewa
Surat bernomor 522/102/Dishut bertarikh 20 Februari 2017 itu menyebutkan ada beberapa wilayah kehutanan yang akan diajukan sebagai lahan tanaman pangan skala besar.
Beberapa wilayah tersebut antara lain lahan seluas 300.000 ha untuk pengembangan padi organik di Pulang Pisau; 273.287 ha untuk pengembangan tebu di Barito Utara, Barito Selatan, dan Barito Timur; 40.000 ha untuk pengembangan singkong di Seruyan; 20.000 ha untuk cokelat di Barito Selatan dan Barito Utara; 20.000 ha untuk bambu di Seruyan; serta 10.000 ha untuk peternakan sapi seluas di Sukamara.
Sugianto Sabran tak merespons telepon dan pesan yang disampaikan kumparan. Namun Menteri Siti menyebutkan bahwa surat itu memang sampai ke mejanya. Ia sudah meminta dirjen terkait untuk mengecek persyaratan.
Kala itu, usulan untuk kebun seperti layang tersebut tak lazim menggunakan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan, dan belum bisa diproses lebih lanjut.
“Saya minta dirjen untuk mengarahkan Pemda Kalteng bahwa usulan tersebut harus dilengkapi dengan kelengkapan persyaratan. Yang beliau sampaikan sangat sumir dan belum bisa diproses,” ucap Siti melalui pesan tertulis, Kamis malam (7/5).
Siti menambahkan, kondisi saat ini mungkin bisa berubah karena infrastruktur yang lebih baik. Selain itu, regulasi bisa mengacu pada Peraturan Menteri LHK No. 81 Tahun 2016 tentang Kerjasama Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan. Dan sudah lebih mudah, ucap dia, dengan perizinan di BKPM.
Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuk Presiden Joko Widodo pada awal 2016, mewanti-wanti optimalisasi ini. Pemetaan citra satelit menunjukkan bahwa sawah di lahan gambut Kalimantan Tengah ada sekitar 27 ribu ha. Sementara keberadaan gambut tipis dengan kedalaman kurang dari satu meter dan telah terdegradasi mencapai 61 ribu ha. Lahan ini berpotensi menjadi lahan pertanian.
Kepala BRG Nazir Foead mengatakan tak masalah dengan optimalisasi lahan, tetapi kajian matang perlu dilakukan, karena banyak lahan gambut merupakan area konservasi.
“Sesuai dengan apa yang ditekankan presiden, harus dikaji dan hati-hati,” ucap dia.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, memantau lahan gambut di Dumai, Riau. Foto: Raga Imam/kumparan
Namun, ide membuka kembali lahan gambut untuk pertanian berskala besar ini menuai kritik dari Walhi. Manajer Kampanye, Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana, menyatakan pembukaan lahan tanaman pangan skala besar di kawasan gambut itu jelas akan merusak ekosistem gambut.
Menurutnya, lahan bekas PPLG seharusnya terus dilindungi. Peta satelit kebakaran hutan menunjukkan area itu masih menjadi penyumbang titik panas. Apalagi di sepanjang 2019 lalu, ada 36.952 titik panas berada di Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG).
“Belum lagi karbon yang terlepas dari ekosistem gambut yang rusak, memperbesar risiko bencana,” ucap dia.
Selain itu, budi daya dengan benih yang tidak genuine akan membutuhkan pemupukan sehingga tanah dan gambut akan terpengaruh. Hal ini tentu akan mempengaruhi ekosistem.
Peta sebaran hotspot di hutan Kalimantan Tengah. Foto: Dok. Walhi
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Kalimantan Tengah, Dimas N. Hartono, memperkirakan kerusakan lahan di area eks PPLG bakal kian parah jika pemerintah benar-benar membuka lahan pertanian besar. Menurutnya, kondisi KHG di lahan itu belum benar-benar pulih.
“Jika masih dirusak lagi, ya saya tidak tahu seperti apa. Tetapi itu benar-benar akan semakin parah. Karhutla tahun 2019 saja ada titik api, apalagi kalau dibuka lagi,” ujarnya.
Kekhawatiran ini mungkin tak berlebihan. Tindakan gegabah membuka lahan gambut demi mengatasi krisis pangan bisa saja menjerumuskan kita pada bencana ekologi. Kanal neraka akibat ulah Orde Baru bakal kembali menganga.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
Yuk, bantu donasi untuk atasi dampak corona.