Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Memegang Janji Prabowo Kejar Koruptor sampai Antartika
14 Oktober 2024 18:45 WIB
·
waktu baca 10 menitIa bahkan, dengan suara tinggi khas jenderal TNI, menegaskan akan mengejar koruptor dengan pasukan khusus hingga ke Antartika.
"Kalaupun dia [koruptor] lari ke Antartika, aku kirim pasukan khusus untuk nyari mereka di Antartika," kata Prabowo.
Prabowo menilai, korupsi adalah hambatan utama kebangkitan bangsa. Artinya, syarat utama mewujudkan Indonesia Maju adalah dengan menekan perilaku koruptif.
"Kalau bisa, kita habiskan korupsi dalam waktu singkat, minimal kita tekan, kurangi, kurangi, dan kurangi. Kita tidak akan kompromi dengan korupsi," tegasnya.
Kalimat Prabowo di atas memang tampak penuh api membasmi korupsi. Terlebih kata-kata ‘mengejar koruptor ke Antartika’ tak hanya sekali itu saja muncul dalam pidatonya. Namun bagi Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, kalimat Prabowo itu baru sebatas omon-omon.
“Kita anggap saja sementara ini masih sebatas jargon,” kata Agus kepada kumparan, Jumat (11/10).
Selain masalah ekonomi, Prabowo memang memiliki pekerjaan rumah di sektor penegakan hukum, spesifiknya pemberantasan korupsi. Masalah hukum dan korupsi masih menjadi kerikil-kerikil pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, menganggap pemberantasan korupsi adalah yang utama. Pokok dari segala masalah yang mesti jadi perhatian Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di 100 hari kepemimpinan usai diambil sumpah pada 20 Oktober 2024.
Bagi Zaenur, pemberantasan korupsi dan kepastian penegakan hukum yang baik akan sejalan dengan minat investasi.
“Karena investor takut berinvestasi di Indonesia dengan tingkat kepastian hukum yang rendah,” kata Zaenur kepada kumparan, Kamis (10/10).
Beban Suram Pemberantasan Korupsi
Sebagai presiden terpilih, pelanjut roda pemerintahan, Prabowo akan langsung disuguhkan berbagai pekerjaan rumah. Prabowo bakal memulai dari warisan penegakan hukum yang dinilai suram di akhir periode pemerintahan Presiden Jokowi. Salah satu indikator kegagalan Jokowi dan harus diselesaikan Prabowo adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang merosot.
IPK adalah penilaian internasional atas skor terkait persepsi atau risiko korupsi di Indonesia. Pada 2023, Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei dengan skor 34 poin. Peringkat Indonesia masih tergolong ‘zona merah’ yang sejajar dengan negara seperti Malawi hingga Sri Lanka.
Skor 34 dari skala 90-100 ini sebenarnya tidak berubah dari tahun 2022. Tapi, angka 34 tersebut dianggap merosot bila dibandingkan tahun 2021 yang menginjak skor 38, atau bahkan sangat jauh dari pencapaian di akhir periode pertama Jokowi, tahun 2019, yang mencapai 40 poin. Sehingga penurunan dari 38 ke 34 disebut penurunan poin terparah sejak reformasi.
Penurunan skor IPK pernah terjadi di era Susilo Bambang Yudhoyono tapi hanya 1 poin. Tepatnya pada tahun 2007 turun jadi 23 dari 24 poin di tahun 2006. Pada tahun-tahun berikutnya, skor IPK Indonesia selalu mengalami kenaikan hingga kemudian merosot di akhir periode Jokowi.
IPK pada akhir periode pertama Jokowi pada dasarnya pernah mengalami kenaikan signifikan yakni tahun 2019 itu. Tapi, tahun itu KPK masih diisi penyidik-penyidik ‘ditakuti’ macam Novel Baswedan yang belakangan disingkirkan lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bersama 56 pegawai lain. Penyingkiran Novel dkk melengkapi masalah revisi UU KPK tahun 2019. Revisi aturan yang menjadi biang pelemahan KPK.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Danang Widoyoko, mengatakan kenaikan IPK di periode pertama tersebut karena Jokowi masih ingin memenangi kontestasi Pilpres 2019. Jadi, lanjut Danang, pada tahun-tahun awal, Jokowi masih menaruh perhatian terhadap pemberantasan korupsi. Namun setelah terpilih kembali, petaka datang dengan berbagai UU yang mendapatkan penolakan masyarakat: revisi UU KPK dan RUU Cipta Kerja.
“Lagi-lagi konteksnya periode pertama dia ingin menang di periode kedua, jadi dia bekerja keras di berbagai bidang,” kata Danang saat ditemui kumparan di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (10/10).
Dalam data yang dirilis TII, terlihat bahwa Jokowi memulai pemerintahannya dengan skor IPK 34 pada 2014 dan kini skornya sama 34 di tahun 2023. Artinya, Jokowi tak membawa perubahan apa pun dalam pemberantasan korupsi hingga akhir kepemimpinannya. Warisannya tak lain hanya revisi UU KPK dan TWK yang kontroversi.
Danang menjelaskan, stagnasi IPK Indonesia disebabkan dua komponen utama: demokrasi (politik) dan penegakan hukum atau rule of law. Dalam bidang politik, biaya parpol hingga politik uang masih jadi komponen yang membuat sulitnya perbaikan skor IPK.
Sementara persoalan demokrasi, lanjut Danang, terkait kesamaan di hadapan hukum serta meritokrasi, termasuk juga bisnis. Ia mencontohkan di Indonesia masih lazim orang dimudahkan karena dekat dengan kekuasaan. Sebaliknya, orang yang jadi lawan atau jauh dari kuasa akan dipersulit. Tidak ada kesetaraan hak. Problem ini, kata Danang, menjadi penilaian dunia internasional terhadap Indonesia.
Adapun komponen rule of law atau aturan hukum Indonesia dinilai masih riskan, sangat mudah diubah-ubah. Lalu ditambah dunia peradilan yang dipandang belum sepenuhnya independen. Bahkan beberapa Hakim Agung ditangkap karena korupsi, terkait suap dan pengaturan putusan.
“Itu kemudian membuat kita tidak bisa maju. Jadi walaupun sudah diangkat oleh reformasi bisnis, naiknya enggak banyak. Karena diganduli dua hal ini: politik dan hukum,” jelas Danang.
Danang menduga IPK 2024 tidak akan mengalami peningkatan, bahkan kembali diprediksi turun. Penyebabnya adalah putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan Gibran jadi cawapres hingga putusan Mahkamah Agung (MA) yang sempat memuluskan jalan anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, di kontestasi pemilihan gubernur.
Dua putusan tersebut dianggap bagian puncak sekaligus memperlihatkan secara terang bagaimana rule of law masih sangat riskan di Indonesia. Hukum bisa diubah-ubah tergantung selera penguasa.
“Ini meruntuhkan upaya reformasi peradilan. Menggaji hakim MA dengan biaya yang sangat tinggi, menggaji fasilitas MK dengan sangat berlimpah, itu tidak relevan lagi, karena toh Jokowi bisa ngatur-atur, baik di MK maupun di MA,” ungkap Danang.
Fakta ini dianggap sebagai peninggalan suram Jokowi yang perlu diperbaiki Prabowo. Danang berharap, meski tak terlalu optimistis, Prabowo bisa mengembalikan muruah penegakan hukum. Prabowo diminta tak mencontoh cara Jokowi dengan mengintervensi penegak keadilan, yang oleh Danang disebut dengan istilah ‘playbook Jokowi’.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Prof. Susi Dwi Harijanti, juga tak bisa meneropong nasib penegakan hukum di masa Prabowo. Hanya satu yang pasti, kata Susi, pemerintahan mendatang akan terbebani tunggakan-tunggakan atau warisan suram penegakan hukum era Jokowi.
“Kita melihat bagaimana penegakan hukum terutama itu tampaknya, orang lebih istilahnya kan 'tajam ke bawah tapi tumpul ke atas', terutama berkaitan dengan korupsi yang dilakukan oleh para elite politik,” kata Susi kepada kumparan, Kamis (10/10).
100 Hari Pertama Prabowo: Pulihkan Muruah Lembaga Penegak Hukum
Sejalan dengan tantangan IPK, Prabowo juga bakal dihadapkan kerja ekstra yakni mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum: kepolisian, Kejaksaan, terutama KPK.
KPK di periode akhir Jokowi kehilangan taringnya. Dilemahkan dan malah lebih banyak berkutat dengan kontroversi pimpinan dan internal. Mulai dari gratifikasi tiket nonton MotoGP Mandalika oleh mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli, Ketua KPK Firli Bahuri tersangka korupsi, hingga Wakil Ketua Nurul Ghufron yang terkena etik karena menyalahgunakan kekuasaan.
Sejurus dengan pelanggaran pimpinannya, KPK juga diguncang dengan dugaan pungli rumah tahanan (Rutan) oleh 93 pegawai KPK. Dari 93 tersebut, 15 di antaranya dibawa ke pengadilan dan didakwa melakukan pungutan liar hingga Rp6,3 miliar.
Rentetan kasus dan kontroversi tersebut membuat KPK menjadi lembaga dengan kepercayaan publik terendah berdasarkan survei Litbang Kompas Juni 2024. Citra KPK yang hanya 56,1 persen bahkan berada di bawah DPR.
Citra paling ‘bontot’ ini semestinya menampar KPK dan pemberantasan korupsi di akhir kekuasaan Jokowi. Sebab, dalam sejarahnya, KPK adalah salah satu lembaga yang selalu memperoleh kepercayaan publik paling tinggi.
KPK sekarang tak lagi garang dan jauh bila dibandingkan sebelum 2019. Anak kandung reformasi berhasil dilemahkan Jokowi lewat pimpinan yang dipilih. Prabowo diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap KPK.
ICW, kendati tak optimistis, tetap berharap Prabowo bisa mengembalikan kepercayaan publik, dukungan masyarakat sipil, terhadap kinerja penegakan hukum dalam 100 hari kerja pertama sebagai kepala negara.
“Jadi banyak hal sebenarnya yang harus dilakukan oleh Pak Prabowo. Tentu memperkuat kembali pemberantasan korupsi, salah satunya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” kata Agus.
Kondisi KPK yang tengah terpuruk tersebut jadi tantangan dan harus segera direspons Prabowo setelah 20 Oktober. Susi menilai, langkah paling dekat dan prioritas untuk diperhatikan Prabowo adalah pemilihan pimpinan dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Menurut Susi, jika Prabowo tak bisa memilih nama-nama lain calon pimpinan karena sudah diseleksi Pansel, tapi setidaknya ia punya kuasa untuk memerintahkan kader partai koalisinya di DPR untuk menyeleksi secara ketat di tahap fit and proper test.
“Kita lihat komitmen Prabowo terhadap pemberantasan korupsi akan seperti apa, dan itu akan ditentukan figur-figur yang dia pilih untuk menjadi pimpinan dan Dewas KPK,” ungkap Susi.
Tegakkan Independensi Peradilan
Selain penguatan KPK, Prabowo juga diharapkan mampu mengembalikan independensi peradilan. Perbaikan dunia peradilan jadi salah satu dari sekian masalah yang direkomendasikan tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Mahfud MD saat menjadi Menkopolhukam. Salah satu ahli dalam tim itu adalah pengajar hukum tata negara STH Jentera, Bivitri Susanti.
Bivitri mencatat, dalam persoalan reformasi lembaga peradilan dan penegakan hukum, terdapat 3 rekomendasi pokok: masalah legislasi yang tak melibatkan masyarakat, over kapasitas lapas, dan independensi peradilan.
[VIDEO]
Penguatan peradilan tersebut termasuk kesejahteraan hakim, gaji hakim, yang sudah sempat direspons Prabowo melalui panggilan telepon kala hakim-hakim mengadu ke DPR. Mereka mengadu karena gaji tak naik 12 tahun.
Mesti begitu, kata Bivitri, gaji dan kesejahteraan hakim adalah relatif. Yang paling mendasar adalah memberikan independensi kepada hakim alias menghilangkan cawe-cawe.
“Jadi bagaimana pemerintahan yang akan datang itu lebih aware, bukannya cawe-cawe pada per putusan seperti yang kemarin-kemarin dilakukan oleh Jokowi, tapi secara sistemik gimana supaya hakim punya independensi,” kata Bivitri kepada kumparan Jumat (11/10).
Secara keseluruhan, para ahli dan organisasi masyarakat sipil tak begitu optimistis mengenai arah pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di tangan Prabowo Subianto. Terlebih karena ia dinilai membawa misi keberlanjutan dari Jokowi yang notabene punya catatan terkait penegakan keadilan.
“Rasanya…tidak akan berbeda itu antara apa yang sudah dilakukan oleh Pak Jokowi dengan Prabowo nanti setelah dilantik,” kata Agus.
TII juga tak menaruh ekspektasi tinggi terhadap penegakan hukum di era Prabowo. Danang hanya berharap, setidaknya Prabowo tidak menggunakan penegak hukum untuk menekan lawan-lawan politik. Yang muaranya adalah hilangnya nilai independensi lembaga pengadil.
“Itulah warisan Jokowi yang kita mesti lihat. Artinya kita cermati bahwa pemberantasan korupsi ke depan barangkali tidak akan lebih baik,” ujar Danang.
Bivitri pun mengaku skeptis mengenai nasib penegakan hukum dan korupsi setelah melihat peninggalan suram Jokowi yan akan dilungsurkan kepada Prabowo. Tapi bagaimanapun, timpal Bivitri, penegakan hukum tetap harus didorong ke arah yang lebih baik.
Agus menyebut, celah untuk berharap sebenarnya masih ada. Yakni ketika Prabowo memberikan terobosan progresif dan anti mainstream dengan mengembalikan UU KPK ke aturan lama.
“Misalnya tiba -tiba Pak Prabowo berani mengembalikan, meminta KIM Plus misalnya, yang bagian dari koalisi, untuk mengembalikan undang-undang KPK kepada undang-undang sebelumnya ... Itu kan di luar mainstream, karena itu berat sekali pasti,” ucapnya Agus.
Hati-hati Anggaran Bocor
Selain persoalan penegakan hukum, TII juga mewanti-wanti potensi kebocoran anggaran di pemerintahan Prabowo. Sebab dari visi-misi Prabowo-Gibran, kebanyakan program membutuhkan anggaran yang melimpah. Salah satunya makan bergizi gratis.
Belum lagi penambahan nomenklatur hingga mencapai 40 lebih kementerian. Kondisi ini dianggap rentan terjadi kebocoran anggaran negara.
“Saya kira butuh monitoring yang cukup ketat, desain kebijakan yang yang memastikan programnya tepat sasaran, tidak jatuh ke pihak ketiga atau bocor di beberapa tempat,” ungkap Danang.
Catatan Danang sejalan dengan hasil pemantauan ICW yang menyebut bahwa birokrasi masih tertinggi dalam hal perilaku korupsi. Korupsi disebut tak selalu dengan kerugian negara besar, tapi hampir terjadi di segala tingkatan. Dari birokrasi pusat hingga pejabat-pejabat desa.
“Saya khawatir dengan semakin banyak birokrasi, semakin lebar birokrasi, pengawasannya juga akan semakin sulit,” tutup Agus.