Menagih Nawacita Jokowi-JK di Bidang Pendidikan

2 Mei 2017 10:16 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Festival Budaya Perempuan (Foto: Dok. kapalperempuan.org)
zoom-in-whitePerbesar
Festival Budaya Perempuan (Foto: Dok. kapalperempuan.org)
Dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional pada 2 Mei tahun ini, Institur KAPAL Perempuan (Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan) meminta pemerintah memenuhi kewajibannya untuk mewujudkan hak pendidikan yang bebas dari beragam masalah krusial seperti diskriminasi, kekerasan terhadap perempuan, dan tingginya sekat masyarakat berbasis poltik identitas menggunakan nilai-nilai konservatif.
ADVERTISEMENT
Dewan Eksekutif Institut Kapal Perempuan, Misiyah, dalam keterangan tertulis mengatakan pihaknya menagih Presiden dan Wakil Presiden untuk memenuji salah satu janji politiknya dalam 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK atau yang lebih dikenal dengan Nawacita.
"Kami Institut KAPAL Perempuan menagih kewajiban pemerintah Indonesia terutama kepada Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk memenuhi janji politik dalam Nawacita yaitu ; Kami akan menyelenggarakan pendidikan 12 tahun yang berkualitas dan tanpa biaya di seluruh Indonesia serta menerapkan nilai-nilai kesetaraan gender dan penghargaan terhadap keberagaman dalam pendidikan," ujarnya, Selasa (2/5).
Menurut Misiyah sejumlah praktik diskriminasi berbasis identitas gender, suku, ras, dan terutama agama masih terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
"Diskriminasi berbasis identitas gender dalam pendidikan formal masih kental ditemukan dalam buku pelajaran maupun proses belajar yang diskriminatif terhadap siswa perempuan. Pendidikan non formal untuk perempuan juga hanya diberikan untuk meningkatkan ketrampilan kerumahtanggaan," kata Misiyah.
ADVERTISEMENT
"Diskriminasi bebasis agama juga ditemukan dalam proses belajar dan bahan ajar misalnya kasus disusupkannya paham intoleransi dalam LKS pada tahun 2015," imbuh dia.
Berdasarkan hasil penelitian dari Setara Institut, kata Misiyah, terdapat 65 sekolah yang melakukan tindakan diskriminatif. Lalu penelitian oleh Wahid Institute 2014 dan penelitian LaKIP tahun 2011, membuktikan adanya dukungan guru dan pelajar terhadap tindakan pelaku perusakan dan penyegelan rumah ibadah.
"Situasi ini menuntut kehadiran negara untuk memenuhi kewajibannya mewujudkan hak pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, mengimplementasikan UU No 7 tahun 1984 tentang Anti Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras dan Etnis," ujar Misiyah.
ADVERTISEMENT
"UU No 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perppu No 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No.23 tahun 2012 UU Perlindungan Anak dan berbagai komitmen internasional terutama Sustainable Development Goals (SDGs)," lanjutnya.
Misiyah mengatakan pihaknya juga menuntut peran serta dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dan Kementerian Agama untuk menyelesaikan sejumlah masalah itu.
"Membenahi sistem pendidikan, kurikulum, bahan ajar dan proses pembelajaran dalam pendidikan formal maupun non formal dengan menerapkan nilai-nilai keadilan sosial, keadilan gender dan penghargaan terhadap kebhinekaan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi melalui pendidikan," kata Misiyah.
Festival Budaya Perempuan (Foto: Dok. kapalperempuan.org)
zoom-in-whitePerbesar
Festival Budaya Perempuan (Foto: Dok. kapalperempuan.org)
Sanksi hukum yang tegas, menurut Misiyah, harus diberikan kepada institusi-institusi pendidikan yang melanggar nilai-nilai kesetaraan gender, dan sebaliknya memberikan penghargaan terhadap kebhinekaan yang berdampak menyuburkan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
"Memberikan affirmative action bagi kelompok-kelompok marjinal, minoritas dan perempuan agar terpenuhi hak atas pendidikan pendidikan sepanjang hayat melalui pendidikan non formal yang ditujukan untuk membangun kesadaran kritis, kecakapan hidup dan komitmen penghapusan diskriminasi," ujarnya.
"Melakukan pembekalan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar terutama guru untuk meningkatkan kapasitas perspektifnya tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Hak Asasi Perempuan/Keadilan Gender dan kebhinekaan," imbuh Misiyah.
Institut Kapal Perempuan juga berharap Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak juga dapat memprioritaskan kebijakan, anggaran dan program-program untuk mengimplementasikan pengarusutamaan gender dalam pendidikan, dan melakukan pengawasan dan memberikan sanksi kepada lembaga-lembaga yang menumbuh suburkan diskriminasi berbasis gender.
"Serta memastikan arah pendidikan masyarakat yang diberikan kepada perempuan bukan sekedar pendidikan untuk meningkatkan ketrampilan pekerjaan rumah tangga, namun pendidikan yang ditujukan untuk membangun kesadaran kritis dalam menghapuskan diskriminasi gender dan identitas lainnya," kata Misiyah.
ADVERTISEMENT
Festival Budaya Perempuan (Foto: Dok. kapalperempuan.org)
zoom-in-whitePerbesar
Festival Budaya Perempuan (Foto: Dok. kapalperempuan.org)
Kepada DPR, pihaknya meminta agar dapat memprioritaskan penyusunan dan perbaikan Undang-Undang yang terkait dengan pendidikan dan upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender, suku, ras dan agama.
"Mengelola alokasi dana pendidikan dalam APBN secara akuntabel, transparan dan bermanfaat, tidak untuk dikorupsi dan tidak hanya dinikmati sebagian kecil dari berbagai kelompok kepentingan," ujar Misiyah.
Institut KAPAL Perempuan didirikan pada 8 Maret 2000 dan dimaksudkan untuk membangun gerakan perempuan dan gerakan sosial yang mampu mewujudkan keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender serta perdamaian di ranah publik dan privat.