Presiden Jokowi di Papua

Menanti Jokowi Meredam Bara Papua

26 Agustus 2019 10:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Jokowi di Papua. Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi di Papua. Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
“Istri saya namanya Iriana. Kenapa? Karena kakeknya dulu guru di sini—Irian (Papua). Kemudian pulang saat istri saya lahir, dikasih nama Iriana. ‘Iriana’ saja namanya. Jadi saya dan istri saya ini dekat dengan Papua, tidak bisa dipisahkan.” — Joko Widodo
Jokowi bercerita soal asal nama Iriana di Kampung Yoka, Jayapura, pada Juni 2014. Saat itu, ia tengah berkampanye untuk pertarungannya yang pertama di pemilu presiden. Dan Papua jadi salah satu wilayah yang menyumbang kemenangan baginya. Jokowi unggul di provinsi itu dengan mengantongi 72,49 persen suara. Ia dipilih oleh dua juta lebih rakyat Papua.
Lima tahun berikutnya, 2019, suara Jokowi kian melejit di Papua. Dalam Pemilu Presiden yang berlangsung April lalu, ia kembali menang telak di wilayah itu dengan meraup 90,66 persen suara. Artinya, kali ini Jokowi mendapat mandat dari tiga juta lebih warga Papua untuk kembali menjadi presiden.
Antusiasme untuk Jokowi misalnya tercermin pada kampanyenya di Sorong tanggal 1 April. Senin itu, malam telah larut. Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIT atau satu jam menuju pergantian hari. Namun gedung Aimas Convention Centre riuh oleh seruan penuh semangat, “Jokowi! Jokowi! Jokowi!”
Jokowi yang dielu-elukan tak dapat menahan sukacita. Di hadapan pendukungnya, ia bercerita dicegat sampai enam kali dalam perjalanan sepanjang 16 kilometer dari bandara ke gedung itu. Akibatnya, ia yang mestinya sudah sampai dalam satu setengah jam, jadi menghabiskan waktu dua jam di jalan. Namun, Jokowi girang bukan main.
“Tidak ada di negara mana pun presiden lewat dicegat enam kali. Sudah jalan, dicegat lagi. Jalan, dicegat lagi. Sehingga mobil harus berhenti untuk menyalami rakyat,” ujar Jokowi. Ia terkejut melihat masyarakat menyemut di tepi jalan dari bandara menuju Aimas Convention Centre untuk menyambutnya sambil berseru-seru, “Jokowi! Jokowi! Lanjutkan! Lanjutkan!”
Di lokasi kampanye, Jokowi semakin tercengang karena massa amat padat meski malam merambat. “Saya pikir ini jam 11 malam sudah pulang dan tidur semua. Tetapi Bapak, Ibu, Saudara sekalian masih berada di ruangan ini. Saya sangat mengapresiasi. Saya sangaaat berbahagia sekali malam ini,” kata Jokowi lantang, dengan penekanan pada kata “sangat” yang ia ucapkan lebih panjang.
Itu empat bulan lalu. Siapa menyana masa depan. Situasi bisa berganti dalam sekejap. Gara-gara huru-hara di asrama Papua, misalnya.
Aksi demonstrasi pemuda Papua di sekitar Mabes TNI AD, Jakarta, 22 Agustus 2019. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
“Jokowi adalah kaleng-kaleng. Ini tidak bisa selesai dengan minta maaf. Ini bukan Lebaran. Minta maaf ke siapa? Kami mau referendum. Orang Papua butuh dihargai sebagai manusia. Papua merdeka!”
Seruan-seruan bernada menantang itu diteriakkan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, oleh seratusan mahasiswa Papua yang berdemonstrasi di siang terik, Kamis (22/8), sambil mengangkat poster bertuliskan “Rakyat Papua Bukan Monyet”.
Mereka berunjuk rasa memprotes kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya yang diwarnai aksi rasialisme terhadap rekan-rekan mereka pada 16-17 Agustus, tepat pada Hari Ulang Tahun Republik Indonesia.
Kerusuhan yang diawali temuan bendera Merah Putih yang teronggok di selokan depan Asrama Mahasiswa Papua, dengan cepat menjalar menjadi demonstrasi masif di berbagai kota, termasuk Papua dan Jakarta. Sementara siapa yang sesungguhnya mencampakkan bendera itu ke parit, belum diketahui.
Amarah orang Papua kian tersulut karena aparat nyaris serempak mendatangi asrama-asrama mahasiswa Papua di berbagai kota untuk sekadar “bersilaturahmi”, “memantau”, atau “memastikan keamanan” dan “mendata” penghuninya.
Warga Papua di Bumi Cenderawasih pun melancarkan gelombang unjuk rasa, dengan kerusuhan pecah di Manokwari, Mimika, Fakfak, dan Sorong—kota tempat Jokowi disambut dan dielu-elukan beberapa bulan sebelumnya.
Melihat eskalasi situasi, Jokowi kemudian mengajak semua pihak untuk saling memaafkan. “Saudara-saudaraku, Pace, Mace, Mama-mama di Papua, di Papua Barat, saya tahu ada ketersinggungan. Oleh sebab itu, sebagai saudara sebangsa dan setanah air, yang paling baik adalah saling memaafkan,” ujarnya di Istana Merdeka, Senin (18/8).
Sayangnya, permintaan Jokowi untuk saling memaafkan itu tak begitu saja disambut. Terlepas dari perhatian yang bertahun-tahun ia curahkan untuk Papua, terlepas dari fakta bahwa Papua adalah salah satu wilayah yang paling sering ia kunjungi di Indonesia.
Jokowi saat meninjau Jalan Trans-Papua dengan motor trail. Foto: ANTARA/Iwan Adisaputra
Jokowi adalah Presiden RI yang paling sering menyambangi Papua. Selama hampir lima tahun memerintah, ia 11 kali melawat ke Papua. Program pemerintahannya untuk Papua tak kurang banyaknya. Mulai pembangunan Jalan Trans-Papua, peningkatan kapasitas listrik, pengembangan kawasan ekonomi khusus Sorong dan kawasan industri Teluk Bintuni, penerapan bahan bakar minyak satu harga, hingga pembuatan jaringan serat optik Sulawesi-Maluku-Papua.
Internet pula yang dipadamkan pemerintah di Papua kala kerusuhan menjalar ke pulau itu. Menurut aparat, huru-hara dipicu oleh informasi provokatif, termasuk hoaks. Semisal, pada salah satu foto yang tersebar di media sosial maupun aplikasi pesan singkat WhatsApp, terlihat orang Papua tersungkur dengan keterangan ia tewas setelah dianiaya di Surabaya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika pun berjibaku mengidentifikasi, memvalidasi, dan memverifikasi ragam kabar yang berseliweran di media sosial. Hingga kini, pemblokiran internet di Papua belum dicabut karena, menurut Kominfo, distribusi informasi provokatif dan rasialis masih terhitung tinggi.
Langkah pemerintah meredam kerusuhan dengan melumpuhkan internet itu, di sisi lain, menuai protes keras dari para pegiat hak asasi manusia. Pemerintah dituding membatasi akses informasi publik dan dengan demikian melanggar hak digital warga negara.
Tidak pernah sebelumnya Jokowi menghadapi perkara terkait Papua sepelik ini. Tak peduli meski anggaran hampir Rp 100 triliun ia gelontorkan untuk membangun Papua. Tak peduli meski Papua kembali menjadi fokus pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Tak peduli meski ia telah 11 kali menyambangi Papua—dan akan kembali ke sana pada awal September.
Tak mudah bagi Jokowi untuk mengambil hati warga Papua, terlebih dengan insiden rasialisme yang menimpa mahasiswa Papua di Hari Kemerdekaan Indonesia.
Mengapa begitu sulit merangkul Papua?
Cahyo Pamungkas, salah satu penulis buku Papua Road Map yang juga peneliti LIPI, berpendapat pembangunan ekonomi dan infrastruktur saja belumlah cukup untuk mendekap Papua. Sebab, banyak problem lain yang juga perlu disentuh.
Setidaknya terdapat empat akar persoalan di Papua, yakni masalah sejarah dan status integrasi Papua ke Indonesia, kekerasan dan pelanggaran HAM, diskriminasi dan marginalisasi terhadap orang asli Papua, dan kegagalan pembangunan di Papua.
“Jadi Pak Jokowi mencoba menyelesaikan satu saja. Lainnya belum disentuh,” ujar Cahyo kepada kumparan, Jumat (23/8).
Dalam perkara kekerasan dan pelanggaran HAM, misal, Amnesty International mencatat setidaknya terjadi 65 kasus pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) yang memakan korban 95 jiwa di Papua selama kurun waktu delapan tahun, 2010-2018. Dari 65 kasus tersebut, 28 di antaranya terkait aktivitas politik.
Sementara Koalisi Internasional untuk Papua pada 2017 melaporkan temuan pelanggaran HAM lain. Dokumen mereka mencantumkan 233 kasus penyiksaan dan perlakuan tidak pantas aparat terhadap warga sipil di Papua pada periode 2012-2016.
Belum lagi kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Papua yang menurut Komnas HAM jalan di tempat. “Penyelesaian keadilannya remang-remang. Kasus Paniai belum ada ujungnya. Kasus Wamena dan Wasior juga sama,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam.
Pada kasus Paniai 8 Desember 2014, warga berunjuk rasa untuk memprotes pemukulan terhadap remaja yang bertikai dengan anggota TNI. Namun dalam aksi itu, aparat diduga melepas tembakan ke arah massa. Akibatnya 5 orang tewas dan 13 lainnya terluka. Seluruh korban tewas adalah pelajar SMA Negeri 1 Paniai.
Dalam kasus Wamena 4 April 2003 yang bertepatan dengan Hari Raya Paskah, 9 orang tewas dan 38 lainnya luka berat saat aparat menyisir 25 desa untuk mencari pembobol gudang senjata Markas Komando Distrik Militer Wamena. Tak cuma itu, aparat memindahkan paksa warga 25 desa tersebut, dan setelahnya 42 orang meninggal karena kelaparan.
Sementara pada kasus Wasior 13 Juni 2001, sebanyak 4 orang tewas, 5 hilang, 39 disiksa, dan satu mengalami kekerasan seksual ketika aparat menyerbu Desa Wonoboi untuk mencari pembunuh anggota Brimob dan karyawan perusahaan kayu yang berkonflik dengan warga.
Ironi Tanah Papua. Desainer: Basith Subastian/kumparan
Pelanggaran HAM dan kekerasan tak hanya dialami warga Papua di tanah asalnya, tapi juga di daerah lain. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, terdapat 30 kasus dugaan pelanggaran HAM yang dialami mahasiswa Papua sepanjang 2018-2019. Dan itu persoalan serius bagi warga Papua.
Survei persepsi yang dilakukan LIPI bersama Change.org pada akhir 2017 menunjukkan, sebanyak 14,02 persen warga Papua menganggap problem terbesar mereka adalah pelanggaran HAM. Hanya 5,51 persen warga Papua yang menganggap minimnya infrastruktur sebagai masalah serius.
Masih menurut survei yang sama, 2,72 persen warga Papua menilai diskriminasi dan rasialisme terhadap mereka sebagai masalah terbesar. Rasisme itu kadung mengakar pada sebagian masyarakat Indonesia. Orang Papua dipandang kurang beradab, pemabuk, malas, dan bodoh.
“Stereotip negatif terhadap orang Papua ini terus berkembang di masyarakat luar Papua sampai sekarang,” kata Cahyo.
Semua itu makin runyam bila ditambah perkara status integrasi Papua ke Indonesia yang terus dipertanyakan. Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 yang membuat Papua resmi bergabung dengan Indonesia, diprotes karena menggunakan metode perwakilan—satu suara merepresentasikan banyak orang. Sementara sebagian warga Papua menginginkan sistem one man one vote tanpa perlu diwakili.
“Ada proses integrasi yang belum tuntas, ditambah akumulasi distrust akibat trauma masa lalu kala negara hadir dalam wujud kekuatan militer represif, dan gencarnya pendekatan pembangunan yang mengabaikan pendekatan politik. Sehingga ketika kini negara hadir dalam bentuk pembangunan yang menyejahterakan, ia tetap saja dicurigai,” ujar Bambang Purwoko, Ketua Gugus Tugas Papua UGM yang selama ini bolak-balik Yogya-Papua.
Merebut hati orang Papua terang tugas berat bagi Jokowi. Ia tak boleh sampai salah strategi.
_________________
Simak Liputan Khusus kumparan: Meredam Bara Papua
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten