Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Hari ini tepat 13 tahun kematian seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib.
ADVERTISEMENT
Ia mati dibunuh dalam penerbangan menuju Belanda menggunakan pesawat Garuda bernomor GA-974 untuk melanjutkan studi hukum. Aktivis HAM itu mati muda di usianya yang baru 39 tahun. Jasadnya kemudian dikuburkan pada 12 September di Kota Batu, Malang, Jawa Timur.
Dua bulan kemudian, 11 November 2004, pihak keluarga Munir mendapat informasi menyatakan hasil otopsi Munir oleh Institut Forensik Belanda membuktikan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik dalam jumlah dosis fatal.
Pada 23 Desember 2004 dikeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Munir. Sayangnya, dokumen hasil temuan TPF Kasus Munir itu malah jadi misteri tersendiri.
Sekretariat Negara menyatakan tak memiliki dokumen Laporan TPF Munir. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat sebagai presiden ketika Laporan TPF itu diserahkan, menyatakan hanya memiliki salinannya saja.
ADVERTISEMENT
Keberadaan dokumen --yang berjumlah enam eksemplar-- itu kurang jelas juntrungannya sampai saat ini.
Meski sudah belasan tahun dan tiga periode kepemimpinan kepala negara, penyelesaian kasus Munir belum juga tuntas. Persis seperti kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang diduga disponsori lembaga negara.
Kasasi yang diajukan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) kepada Mahkamah Agung tidak menghasilkan jawaban positif. Mahkamah Agung (MA), pada Rabu (16/8) lalu melalui laman websitenya, memutuskan berkas hasil rekomendasi TPF Kasus Munir tidak wajib dibuka pemerintah.
Koordinator Kontras Yati Andriyani menyatakan, keputusan tersebut mempertegas bahwa ruang-ruang keadilan untuk mengungkapkan kasus pembunuhan Munir masih sangat sulit. Kendati demikian, menurut Yati, keputusan itu tidak berarti menggugurkan kewajiban presiden untuk tetap mengumumkan hasil TPF Kasus Munir.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya kami sangat menyesalkan bahwa putusan kasasi yang diputuskan oleh Mahkamah Agung itu karena menurut kami majelis hakim gagal melihat urgensi dari pentingnya pemerintah untuk mengemukakan dokumen hasil TPF Munir itu,” jelas Yati kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (6/9).
“Sementara sebagaimana kita ketahui pada 12 Oktober 2016, presiden sudah memerintahkan Kejaksaan Agung untuk memerintahkan Kapolri untuk mencari keberadaan dokumen tersebut. Lalu pada 26 Oktober 2016, Sudi Silalahi, mantan Seskab pada masa Presiden SBY itu sudah mengirimkan dokumen TPF Kasus Munir ke Kementerian Sekretariat Negara,” tambahnya.
Djohan Budi sebagai jubir presiden, kata Yati, juga mengonfirmasi sudah menerima dokumen tersebut. Begitu juga dengan Marsudi Hanafi, mantan ketua TPF Kasus Munir, menyatakan ia telah diminta pihak Cikeas untuk mengecek dokumen dan membenarkan bahwa dokumen yang sudah diserahkan itu hasil TPF Kasus Munir.
ADVERTISEMENT
“Sehingga sebetulnya mau ada atau tidak putusan kasasi di MA, ini tidak menggugurkan kewajiban presiden untuk mengumumkan kepada masyarakat dokumen TPF Kasus Munir ini,” ujarnya.
Ia mengaku sampai saat ini belum menerima salinan putusan dari MA secara resmi. Putusan itu nantinya akan dipelajari oleh Kontras untuk menentukan tindakan yang akan diambil selanjutnya. Misalnya, Kontras berencana akan melakukan upaya pengujian melalui eksaminasi publik.
Selain itu, Kontras juga akan membuat laporan ke Ombudsman terkait terjadinya dugaan maladministrasi dikarenakan ketidakjelasan atau kelalaian pihak pemerintah dalam mendokumentasikan Laporan TPF Munir.
“Ombudsman nanti akan meneliti atau mempelajari dugaan-dugaan maladministrasi. Ketika ada dugaan maladministrasi, Ombudsman bisa memberikan rekomendasi kepada institusi-institusi yang terkait, institusi-institusi yang dilaporkan, untuk memenuhi apa yang menjadi desakan atau apa yang menjadi hak dari para pemohon atau pelapor,” ucap Yati.
Ia berpendapat, pengungkapan dokumen TPF Kasus Munir mesti dilakukan karena memiliki landasan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Sekaligus untuk memberitahu publik bahwa kerja TPF Kasus Munir memang sudah menghasilkan fakta-fakta atau petunjuk-petunjuk terkait kasus pembunuhan Munir. Fakta dan petunjuk tersebut secara kontinyu kemudian bisa ditindaklanjuti untuk mengungkap dalang dan motif pembunuhan Munir yang masih menjadi misteri.
Ketika dokumen TPF Kasus Munir itu diumumkan, akan ada konsekuensi hukum dan politik kepada pemerintah untuk menyelesaikan kasus Munir secara keseluruhan. Untuk itulah, Yati mengatakan, pengungkapan dokumen tersebut akan menjadi babak baru.
“Ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk mendorong pengungkapan kasus Munir, khususnya untuk membongkar pertanggungjawaban aktor-aktor intelektual di balik pembunuhan Munir,” katanya.
Sayangnya memang upaya pengungkapan kasus Munir tidak akan berjalan mudah.
Bagi Yati, selama ini tidak tampak niat baik pemerintah untuk mengungkap kasus pembunuhan Munir. Meski pun sudah memberikan permohonan informasi berdasarkan Undang-undang Komisi Informasi Pusat dan regulasi tentang keterbukaan informasi, akses informasi ke dokumen itu masih tetap sulit.
ADVERTISEMENT
“Tetapi kami melihat ini ada upaya-upaya yang justru sebaliknya. Pemerintah mengelak dengan menolak memberikan informasi dan juga dengan menolak untuk mengumumkan kepada masyarakat yang kemudian ini menjadi bola liar. Menjadi sesuatu yang tidak menentu karena dibawa ke proses hukum. Dan di dalam proses hukum juga kita lihat hasilnya justru bisa menguatkan posisi pemerintah,” ujar Yati.
“Dari situ kita bisa melihat bahwa sebetulnya kalau pemerintah sejak awal punya komitmen untuk mengungkap kasus Munir, apa susahnya tinggal diberikan dokumen itu dan tinggal diumumkan kepada masyarakat. Ini tidak terjadi. Yang terjadi sebaliknya, justru ada upaya-upaya pemerintah untuk menghindar memberikan dokumen dan mengumumkannya kepada masyarakat,” sambungnya.
Sikap pemerintah selama dinilai tidak konsisten. Padahal tahun lalu, kata Yati, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa kasus pembunuhan Munir adalah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikaan. Namun kemudian tidak ada tindakan berarti yang mendukung ucapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Sikap demikian justru menggambarkan adanya muatan politis dalam pengungkapan kasus pembunuhan Munir.
Ada kesan presiden tengah tersandera dengan kepentingan-kepentingan politik tertentu. Sehingga tidak memiliki keberanian untuk mengambil sikap mengumumkan isi laporan tersebut.
Dampaknya adalah menunjukkan bahwa kepemimpinan di era pemerintahan Jokowi tidak terbuka dan akuntabel dalam hal penegakkan HAM, khususnya penyelesaian kasus pembunuhan Munir.
Di tambah, ini akan menjadi nilai merah secara politik karena Jokowi tidak bisa menggunakan otoritas atau kewenangannya dalam mendorong pengungkapan kasus Munir hingga menemukan aktor intelektual di balik kasus pembunuhan tersebut.
“Kalau dari sisi kasus sendiri, menurut kami, tentu ini akan menjadi ganjalan karena ini semakin menguatkan bahwa institusi negara masih menolak secara langsung atau tidak langsung penyelesaian kasus Munir,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Yati sadar jalan panjang memang mesti ditempuh dalam penegakkan hukum dan HAM di Indonesia --yang dalam sejarahnya memiliki sederet kasus pelanggaran HAM yang juga belum tuntas.
Ia bersama para aktivis HAM tidak mau surut semangat memperbaiki “rumah” hasil proklamasi Agustus 1945 ini bagi kemanusiaan.
Pengungkapan kasus pembunuhan Munir akan selalu menjadi tanggung jawab negara.
“Sampai kapan pun ini akan tetap menjadi tanggung jawab negara. Ini adalah kewajiban negara secara hukum sehingga selama negara belum menyelesaikan persoalan ini, belum mengungkap masalah ini, maka kewajiban itu tidak akan pernah gugur,” tutur Yati.