Mendulang Suara dari Masjid

4 Maret 2019 12:43 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi masjid. Foto: REUTERS/Pavel Mikheyev
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi masjid. Foto: REUTERS/Pavel Mikheyev
Wita—bukan nama sebenarnya—merasa jengah dengan isi pengajian di Masjid Nurul Iman, Bekasi. “Tiap ceramah pasti ada soal politiknya, kalau nggak salah sejak Aksi 212 (2 Desember 2016),” tuturnya kepada kumparan, Rabu (27/2).
Pernah satu ketika sang ustaz bercerita tentang sebuah truk berisi sembako dari pasangan Jokowi-Maruf untuk dibagikan ke warga. Dalam perjalanan, truk tersebut mengalami kecelakaan di jalan tol.
“(Kecelakaan truk) Itu karena Jokowi nggak diridai Allah,” ucap Wita menirukan ucapan sang ustaz kepada jemaahnya saat itu. Ustaz tersebut kemudian memberi pesan agar memilih pemimpin yang diridai oleh Allah seraya jempol dan telunjuknya membentuk simbol pistol di depan muka—simbol paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi di Pemilu Presiden 2019.
Jemaah lainnya, Hamdan bahkan pernah diajak untuk ikut Aksi Bela Islam tahun 2016 silam. “Katanya sudah disiapkan semua soal bus dan ongkos, makan juga jangan khawatir,” ucapnya. Meski ia berusaha menolak ikut dengan alasan tidak memiliki baju koko putih, petugas di masjid itu berkata, “Sudah disiapin juga baju koko putih baru, tinggal dipakai.”
Setelahnya, isi ceramah di masjid tersebut tak melulu soal agama. Ia, seolah mengikuti komando Amien Rais pada 2018 lalu, menyisipkan politik di tiap pengajian.
Mustofa Nahrawardaya, pemilik @AkunTofa yang kini menjabat Direktur Relawan BPN Prabowo-Sandi, mengakui bahwa Aksi 212 memang ditujukan untuk Pilkada DKI Jakarta 2017. “Setelah Aksi 212, masjid yang tadinya tidak memiliki semangat untuk memilih, karena ada dorongan 212 kini mereka semangat sekali untuk memilih pemimpin,” katanya.
Menurutnya, bahasan politik praktis di masjid-masjid kini merupakan efek dari Aksi 212. “Efek dari Aksi 212 telah menggerakkan banyak kalangan untuk berpindah kepada Prabowo.”
Ibu-ibu peserta Aksi Reuni 212. Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
Sementara di Masjid At-Taqwa, Perumahan Sapta Pesona, Jati Asih, Bekasi, pernah datang kiriman tiga eksemplar Tabloid Indonesia Barokah via ojek online pada awal 2019. Tabloid yang memuat headline berjudul, “Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik” ini diketahui banyak menyasar masjid dan pesantren.
Pak Oyok, petugas masjid tersebut segera membawa pulang paket yang mendadak tiba itu. Tak butuh waktu lama baginya untuk segera melaporkan keberadaan tabloid tersebut ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebab istrinya adalah salah satu pegawai Bawaslu Bekasi.
Hal tersebut dilakukannya karena ia ingin menjaga netralitas di lingkungan perumahan tersebut sesuai kesepakatan dengan warga setempat. “Pengajian harus selalu netral, jangan ngomongin politik praktis di pengajian. Karena kan di sini ada Muhammadiyah, ada Nahdlatul Ulama, dan ada yang lain. Jadi bahasannya harus selalu netral,” kata Oyok.
Tabloid Indonesia Barokah. Foto: Matheus Marsely/kumparan
Informasi keberadaan tabloid—yang dinilai telah mendiskreditkan Prabowo melalui tulisan-tulisan di dalamnya itu—pertama kali ditemukan tersebar di tiga pondok pesantren di Ciamis. Lalu meluas di berbagai wilayah seperti Tasikmalaya, Magelang, Grobogan, Solo, Garut, Bekasi, Karawang, Surabaya, Madiun, Magetan, Pamekasan, dan Lebak.
Keberadaan tabloid ini sempat dilaporkan oleh Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi ke Dewan Pers. Anggota Direktorat Advokasi Hukum BPN Prabowo-Sandi, Y Nurhayati mengatakan bahwa konten tabloid tersebut telah mencoreng nama baik Prabowo dan Sandi.
Laporan tersebut dijawab Dewan Pers dengan mengatakan bahwa konten tabloid bukanlah produk jurnalistik, karena hanya berupa opini dan saduran tulisan dari berbagai media. Akhirnya, dua pimpinan tabloid ini—Moch Shaka Dzulkarnaen dan Ichwanuddin—dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan penyebaran berita bohong.
Aturan yang sama yang kini menjerat tiga orang ibu di Karawang karena berkampanye dari rumah ke rumah sembari berkata tidak akan lagi ada azan jika Jokowi kembali menang. Ketiganya yang merupakan anggota relawan Persatuan Emak-emak Prabowo-Sandi (PEPES) itu kini mendekam di lantai dingin ruang tahanan Polres Karawang.
Peraturan KPU pasal 69 ayat (1) huruf h PKPU Nomor 23 Tahun 2018 memuat larangan pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Namun, aturan itu tak berlaku bagi para simpatisan atau mereka yang berada di luar struktur formal tim sukses.
Aturan KPU lainnya soal kampanye hitam, kampanye dengan menyebarkan berita bohong, pun tak bisa digunakan untuk menjerat para relawan atau simpatisan yang tak terdaftar sebagai bagian dari tim sukses. Mereka harus menghadapi pihak kepolisian, dan mempertanggungjawabkan sendiri aksinya.
Infografik Awas Kampanye Hitam. Foto: Dok. Kumparan
Menjual Agama demi Suara
“Jokowi tak diridai Allah”, “Prabowo-Sandi pemimpin hasil ijtima ulama”, “Prabowo tak bisa salat dan mengaji”, dan “Rezim Jokowi kriminalisasi ulama”, adalah sederet contoh narasi berbau agama yang dikembangkan hanya untuk saling menjatuhkan lawan.
Isu-isu terkait agama menjadi salah satu wacana yang memanaskan pemilu presiden kali ini. Mulai dari Aksi Bela Islam, Ijtima Ulama, Reuni 212, puisi Neno Warisman berjudul Munajat 212, hingga isu tak akan ada azan jika Jokowi menang, menjadi teror yang terus menghantui.
Bagi Dedi Mulyadi, Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Jabar Jokowi-Maruf, hal tersebut telah menjadi realita politik sekarang. “Di darat, pasti kontennya agama, di pengajian-pengajian. Konten ceramah itu mempengaruhi jemaahnya,” ujar Dedi kepada kumparan, Rabu (27/2).
Ilustrasi Lipsus kumparan: Awas Kampanye Hitam. Foto: Herun Ricky/kumparan
Di provinsi ini, Wakil Ketua TKD Jabar, TB Hasanudin, bahkan telah memetakan wilayah-wilayah dan hoaks yang kerap menimpa Jokowi. Menurutnya, daerah Tasikmalaya, Cianjur, Garut, dan Ciamis menjadi wilayah yang paling sering mengekspos isu agama.
“Karena apa? HTI dan FPI dari situ wilayahnya. Makanya isu pembakaran bendera kemarin dari sana dan itu by design lah, saya tahu,” ucapnya saat dihubungi kumparan.
Sementara wilayah lain seperti Bogor, Bekasi, hingga Karawang lebih banyak diterpa hoaks tenaga kerja asing sebab di sana merupakan wilayah industri. Untuk wilayah Suang, Sumedang, Majalengka, dan Kuningan yang basisnya pertanian maka hoaks impor beras yang dominan.
Stiker Pepes di lingkungan tempat kampanye hitam di Karawang 3 Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Terkait materi kampanye tiga emak-emak di Karawang, TB Hasanudin menilai hal tersebut tidak klop dan tidak laku. Ia juga percaya, materi tersebut telah dirancang sebelumnya. Namun rancangan itu tidak sesuai antara karakter daerah, pelaku kampanye, materi, dan target.
“Ini semua by design lah. Orang sudah dilatih, disebar. Ya sudah, ibaratnya mereka itu prajurit yang harus melaksanakan. Ngomongnya harus begini, ‘Nanti kalau Jokowi menang dilarang azan’. Sementara yang dihadapi, mohon maaf, kelompok yang sudah tidak sensitif, emak-emak dan bapak-bapak sudah tua. Tidak pas, harusnya masuk ke daerah Majalengka atau Tasikmalaya, laku itu,” paparnya.
Dugaan tersebut dibantah oleh Nace Permana, anggota Badan Pemenangan Daerah Karawang (BPD Karawang) Prabowo-Sandi. Menurut Nace, timnya sepakat tidak menggunakan isu agama karena berisiko besar. Apa yang disampaikan oleh tiga tersangka—Citra, Ika, dan Engqay—adalah murni inisiasi mereka sendiri.
Demi melawan berbagai serangan menggunakan isu, TKD Jokowi-Maruf pun menyiapkan jaringan relawan berceramah.
“Iya dong, ceramah dilawannya ceramah lagi, dalil yang dilawan dengan dalil lagi,” ucap mantan Bupati Purwakarta itu. Sebab, Jawa Barat, provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak ini memiliki tingkat intoleransi agama dan informasi hoaks cukup tinggi.
Maka perebutan suara di Jawa Barat menjadi penting. Apalagi provinsi ini adalah provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak. “Kami mengejar, harus di atas 35 persen suara Jokowi di Jawa Barat,” kata TB Hasanudin.
Bukan hanya di daerah, penggunaan isu agama terjadi secara nasional. Isu tersebut, menurut Juru Bicara TKN Jokowi-Maruf, Arya Sinulingga, menjadi isu yang paling memukul Jokowi, selain soal Tenaga Kerja China.
“Tapi dari isu ini, bisa mengubah persepsi banyak orang ketika Prabowo diragukan bisa mengaji,” ucap Arya. Pada awal tahun 2019, Dewan Ikatan Dai Aceh sempat memunculkan wacana tes mengaji untuk para calon presiden.
“Ternyata respons dari Paslon 02 kan tidak mau. Itu ternyata masuk ke masyarakat. Pak Prabowo salat Jumat di mana, ngaji di mana,” imbuh Arya. Baginya, mereka yang telah termakan isu agama sudah pasti ada di luar kubu Jokowi.
“Kita nggak (garap itu). Yang kita kerjakan, swing voter dan undecided voter,” ucapnya.
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) saling memberi salam seusai debat capres 2019 disaksikan moderator di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Menurut peneliti politik LIPI, Cahyo Pamungkas, isu agama menjadi salah satu alat untuk memobilisasi dukungan suara. Penggunaannya secara masif, berdasarkan penelitian Burhanudin Muhtadi dan Marcus Mitzner, setelah Aksi 212 saat Pilkada DKI Jakarta.
“Setelah Pilkada DKI Jakarta itu kemudian ada semacam gerakan populer menggunakan isu agama, populisme relijius,” ucap Cahyo saat ditemui di Gedung LIPI, Rabu (27/2).
Hal tersebut berkontribusi pada intoleransi agama yang meningkat. “Ada lagi masalah hoaks, masalah iliterasi media sosial, percaya pada kabar bohong, ada perasaan terancam terhadap kelompok agama lain,” paparnya.
Hiruk pikuk penggunaan isu agama tersebut membuat iklim politik kian tak sehat. Sebab menentukan pilihan kemudian hanya berdasarkan pada emosi, bukan atas dasar kompetensi atau kapasitas di pasangan calon.
Omong-omong, apa saja program yang ditawarkan kedua pasangan calon? Apakah ada program yang berbeda?