Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Menelusuri Jejak Masyarakat Jawa di Kaledonia Baru
2 Mei 2018 10:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
Dua orang gadis berparas Jawa tengah berdiri di dekat kapal besar di sebuah pelabuhan selatan Pasifik pada akhir abad 19. Mereka berjajar anggun dengan mengenakan kebaya putih dan selembar kain jarik. Rambut disanggul rapi dan disisipkan sebuah bunga elok di sampingnya.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah dua gadis Jawa yang berdiaspora ke Kaledonia Baru. Bersama ratusan orang Jawa lainnya, mereka mencoba peruntungan di negeri yang sangat jauh dari Tanah Air.
Nama Kaledonia Baru sendiri selintas memang asing di telinga bangsa Indonesia. Bila berbicara tentang diaspora Jawa, negara Suriname di selatan Amerika mungkin selalu terlintas. Namun, jejak orang Jawa di Kaledonia Baru juga begitu kentara sehingga tak bisa dihiraukan begitu saja.
Di negara sebelah selatan Australia itu, saat ini ada hampir 4.000 masyarakat keturunan Jawa. Mereka bertutur dengan bahasa Jawa sampai saat ini, membuat napas dan suara Jawa begitu menggema di Kaledonia Baru.
Tepatnya 16 Februari 1896, 170 orang Jawa pertama kali tiba di Kaledonia Baru. Mereka berlayar dengan menggunakan kapal uap Saint Louis. Ribuan kilometer diarungi demi satu impian, yaitu kehidupan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
"Para leluhur kita ini dibawa oleh Pemerintah Kolonial Prancis yang bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda yang waktu itu menguasai Jawa. Mereka untuk didatangkan sebagai buruh kerja migran begitu di berbagai sektor perkebunan,” cerita Widyarka Ryananta, Konsul Jenderal RI di Kaledonia Baru tahun 2014-2017, sekaligus penulis buku ‘Jejak Orang Jawa di New Caledonia’, kepada kumparan (kumparan.com) saat ditemui di kediamannya Jumat (27/4).
Memang, Prancis dahulu kala merupakan sekutu Belanda. Pemerintah Kolonial Prancis meminta Pemerintah Kolonial Belanda yang bertempat di Batavia-kini wilayah Jakarta- untuk mengirim buruh dari Pulau Jawa. Tujuannya, yakni untuk memenuhi kebutuhan pekerja perkebunan dan pembantu rumah tangga di Kaledonia Baru. Saat itu Kaledonia Baru merupakan daerah jajahan Prancis, tapi kini berkembang menjadi bagian dari negara Prancis yang terdiri dari beberapa gugus pulau kecil.
ADVERTISEMENT
Dari tahun 1896 hingga tahun 1948 tercatat 87 perjalanan kapal dari Jawa ke Kaledonia Baru. Hingga kedatangan terakhir, jumlah pekerja Jawa yang hijrah ke Kaledonia Baru ada sekitar 19.400 orang.
Generasi pertama pekerja kontrak di Kaledonia Baru banyak dipekerjakan sebagai kuli di perkebunan kopi, sawah, dan mengurus rumah tangga. Sementara, mereka yang datang setelah tahun 1901, kebanyakan dipekerjakan sebagai buruh tambang nikel.
Para pekerja kontrak itu sendiri didatangkan dari berbagai wilayah di Indonesia. Ada yang datang dari Semarang, Pekalongan, Yogyakarta, Kedu, Magelang, Banyumas, Wonosobo, Solo, Boyolali, Kediri, Surabaya, Madiun, Malang, Tasikmalaya, Garut, Bekasi, hingga Jakarta.
Mengapa harus buruh Jawa?
Di antara para pekerja kontrak yang datang mayoritas berasal dari Jawa bagian selatan. Masyarakat di sana terkenal memiliki sikap halus dan penurut. Mereka juga dinilai sanggup bekerja sebaik para imigran lainnya, seperti mengetahui cara menanam kopi, biasa hidup di bawah aturan disiplin yang ketat dari pemerintah Kolonial Belanda, dan juga tidak banyak protes.
ADVERTISEMENT
"Tapi itu tadi, orang Jawa itu dikaruniai apa yang dinamai salah satu sistem nilai kita itu yang dikatakan ‘nrimo’. Nah itu yang membuat mereka juga tidak banyak mengeluh. Mereka bekerja keras dan itu diakui oleh para petinggi pemerintah Prancis, perwakilan Pemerintah Prancis atau Pemerintah New Caledonia,” sebut Widyarka.
Sampai di Kaledonia Baru, para leluhur dan mayarakat keturunan dianggap sebagai kelompok komunitas yang tekun, tidak neko-neko, pekerja keras. Hal itulah yang dianggap sebagai kelebihan masyarakat keturunan Jawa di sana.
Selain unggul dalam etos kerja, masyarakat keturunan Jawa ini juga bersifat sinkretis.
“Nah, kelebihan orang Jawa adalah mereka bisa bersikap sinkretis, menyerap aspirasi kultur budaya luar dengan apa yang sudah ada,” lanjut Widyarka.
ADVERTISEMENT
Sikap sinkretis itu pada dasarnya tak serta merta langsung terjadi. Pada awalnya masyarakat keturunan Jawa hanya mengelompok bersama kelompok keturunan mereka. Namun, seiring perjalanan waktu proses integrasi yang terjadi dengan komunitas lain terus berlangsung.
“Dan itu tadi, karena pada dasarnya orang Jawa itu tidak macam-macam mereka adalah pekerja keras sehingga sangat diapresiasi oleh komunitas yang lain,” jelas Widyarka.
Berdasarkan hasil sensus tahun 2009, Melanesia merupakan kelompok etnis terbesar di Kaledonia Baru, jumlahnya mencapai 40.34% dari total penduduk. Sementara itu, sisanya adalah masyarakat Eropa 29.2%, Walis dan Futuna 4.96%, Caledonians 4.96%, Tahiti 2,03%, Indonesia 1.62%, Vietnam 0.96%, Vanuatu 0.95%, Asia lainnya 0.7% , dan lainnya 0.21%.
Hingga saat ini, menurut CIA Worldfact Book 2014-2015, jumlah penduduk Kaledonia Baru adalah 271.615 jiwa.
ADVERTISEMENT
Tak mudah hidup jauh dari kampung halaman
Dengan bekal ingin memperbaiki nasib di tanah seberang, beragam tantangan telah menyambut para masyarakat Jawa. Kultur dan lingkungan yang tak sama dengan yang di Jawa membuat mereka harus berusaha keras beradaptasi. Sesulit apa pun rintangannya, mereka tetap mengepal kata-kata dari pemerintah Kolonial yang menjanjikan kehidupan lebih baik.
“Apa yang saya dengar dari para sesepuh yang sekarang usianya ini sudah di atas 80 tahun yang datang waktu itu dengan kapal setelah kemerdekaan. Jadi mereka itu rata-rata pendidikan menengah,” ungkap Widyarka.
“Ya itu tadi karena ingin dijanjikan akan mendapat kehidupan lebih baik mereka ke sana tapi juga mereka biasanya bekerja di proyek-proyek infrastruktur karena waktu itu New Caledonia sedang melaksanakan berbagai proyek pembangunan dan juga industri nikelnya sedang booming, ternyata juga memang tidak mudah bekerja di negara yang berbeda. Apalagi kulturnya berbeda,” terang Widyarka.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari negara Prancis, masyarakat Kaledonia Baru diwajibkan bertutur dengan Bahasa Prancis. Sementara, pada awalnya, para pekerja kontrak yang datang ke Kaledonia Baru tidak menguasai Bahasa Prancis.
“Mereka tidak mengenal Bahasa Prancis,” sebut Widyarka. Masyarakat Jawa saat itu terbiasa bertutur dengan Bahasa Jawa.
Selain kendala kultur, masyarakat Jawa saat itu harus bekerja berat dan menerima penghidupan yang tidak menyenangkan.
Bertahun-tahun menjalani hidup berat, akhirnya kabar gembira itu datang. Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 terdengar hingga Kaledonia Baru. Masyarakat Jawa yang berada di sana menyambut berita baik itu dengan penuh suka cita.
Tak lama dari berita baik itu, system indigenant -sistem yang mengikat mereka bekerja sebagai pekerja kontrak- dihapus. Para pekerja kontrak itu pun bebas. Dengan begitu, mereka dapat pergi memilih tempat tinggal dan pekerjaan baru. Dari kondisi itu banyak di antara mereka yang memilih untuk pulang ke Jawa.
ADVERTISEMENT
“Karena mereka merasa bahwa hidup di tanah perantauan susah waktu itu sehingga mereka ingin kembali. Sehingga sebagian besar setelah kemerdekaan mereka kembali ke Tanah Air kita,” jelas Widyarka.
Namun, juga ada di antara masyarakat Jawa yang lebih memilih untuk tetap tinggal di Kaledonia Baru. Mereka inilah kemudian yang menjadi cikal bakal mulai berkembangnya masyarakat keturunan Jawa di Kaledonia Baru.