Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Orang Jawa di Kaledonia Baru: Prancis di Bibir, Jawa di Hati
14 Juni 2017 15:38 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Cerita tentang orang Jawa di luar negeri tak melulu soal kehidupan Jawa di Suriname. Sebuah pulau di barat daya Samudra Pasifik, atau di sisi timur Australia, kini menjadi tempat para diaspora Jawa menjalani hidup.
ADVERTISEMENT
Pulau itu ialah Kaledonia Baru, negara yang dulu berada dalam jajahan Prancis.
Orang Jawa sampai di Kaledonia Baru usai dikapalkan secara paksa oleh pemerintah kolonial. Mereka lantas menjelajah ratusan kilometer menjauh dari rumah mereka untuk bekerja sesuai perintah pemerintah kolonial.
Akhir tahun 1800-an, pemerintah kolonial Belanda sering mengirim orang Jawa menjadi tenaga kerja di pusat-pusat perdagangan mereka.
Mengutip jurnal Indonesian Overseas, migrasi orang Jawa ke Kaledonia Baru adalah hasil transaksi permintaan tenaga kerja pemerintah kolonial Prancis terhadap Belanda yang datang tahun 1896.
Kaledonia Baru kemudian menjadi destinasi migrasi Jawa. Negara ini juga menjadi lokasi komunitas Jawa terbanyak kedua di luar Indonesia setelah Suriname.
ADVERTISEMENT
Orang Jawa di Kaledonia Baru mencapai jumlah 20 ribu imigran, yang dikirim antara 1896 hingga 1955 dengan empat kali kloter perjalanan. Mereka disebut sebagai orang kontrak atau buruh yang dikontrak oleh bekas pemerintah kolonial Prancis.
Namun, kehidupan Kaledonia Baru memiliki perbedaan mencolok. Orang-orang yang terpilih ke Kaledonia Baru memasuki dunia baru pula. Hidup di bawah jajahan Prancis benar-benar berbeda dengan di bawah jajahan Belanda.
Prancis memiliki kebijakan untuk menyeragamkan bahasa yang dituturkan oleh masyarakat negeri jajahannya. Sehingga, Bahasa Prancis menjadi lingua franca di Kaledonia Baru. Bahasa Prancis digunakan dalam pendidikan, sistem hukum, dan birokrasi. Penyeragaman ini membuat identitas Jawa sedikit luntur.
Sebagai contoh, Catherine Adi, seorang Jawa yang tinggal di Noumea, ibu kota Kaledonia Baru, kesulitan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris maupun Jawa ketika dihubungi kumparan (kumparan.com) via Facebook Messenger.
ADVERTISEMENT
Catherine hanya bisa berbahasa Prancis, sama sekali tak bisa berbahasa Jawa dan Inggris, berbeda dengan orang Jawa di Suriname yang hingga kini masih bisa cara Bahasa Jawa meski belepotan.
[Baca juga: Orang Maluku di Belanda: Mempertanyakan Nasionalisme ]
Antropolog dan pengamat isu diaspora, Fuji Riang Prastowo, mengatakan tradisi Jawa di Kaledonia Baru memang telah luntur akibat kolonialisasi.
“Orang Prancis memperlakukan jajahannya sama. Intinya, semua harus melebur ke kebudayaan Prancis. Orang-orang Kaledonia Baru hanya mewarisi nama dan makanan. Makanan mereka tetap makanan Indonesia. Tapi secara total mereka sudah Bahasa Prancis, kata dia, Sabtu (10/6).
Ini berbeda dengan watak Belanda yang sejak dulu senang mengkotak-kotakkan masyarakat --yang di sisi lain ternyata memberi dampak pada kohesivitas masyarakat yang relatif terjaga. Contohnya, pembangunan Kampung Cina dan Kampung Jawa di Suriname.
ADVERTISEMENT
Orang Jawa Kaledonia Baru tidak begitu mementingkan lokasi tempat tinggal mereka. Berbeda dengan orang Jawa Suriname yang kerap merasa harus tinggal di Jawa dan kembali ke kerabat --sebuah anggapan bahwa rumah harus berbentuk fisik.
Orang Jawa Kaledonia sama sekali tak memedulikan hal tersebut. Pada 1950, banyak orang Jawa yang kembali ke Indonesia, namun justru meminta dikembalikan ke Kaledonia Baru. Orang-orang ini disebut Wong Baleh.
[Baca juga: Cerita Diaspora: Orang Indonesia di Perantauan ]
Dengan segala perbedaan yang terentang, Fuji mengatakan orang Jawa tetaplah orang Jawa.
“Yang bisa dipaksa secara politik adalah bahasa. Pola asuh tetap sama. Semodern apapun orang Jawa, parenting dan segala aktivitas di rumah tetap sama,” ujar akademisi Universitas Gadjah Mada itu.
ADVERTISEMENT
Orang Jawa di Kaledonia Baru adalah gabungan dari pemikiran yang serba intrinsik dengan gaya berpikir Prancis yang filosofis. Sebagai diaspora, mereka tidak mengartikan rumah secara harfiah. Bagi mereka, dengan mengenakan batik, memasang perabot khas Jawa, dan bergaul dengan sesama orang Jawa, telah memenuhi konsep sebuah “rumah”.
“Orang Kaledonia Baru ketika ke Jawa ya mereka merasa cukup. Pikiran mereka tenang karena mereka akhirnya pernah ‘pulang ke rumah’. Kalau orang Suriname bisa benar-benar mencari kerabatnya,” ucap Fuji.
Jawa jelas bukan sebuah konsep tunggal. Ia bisa termanifestasi lewat beragam macam.