Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jawa di Suriname: Budak Memberontak Jadi Tuan di Rantau
14 Juni 2017 9:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Nama Raymond Sapoen mewarnai Pemilihan Presiden Suriname tahun 2015. Sapoen, politikus yang sebelumnya menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan serta Menteri Pendidikan dan Pembangunan Rakyat Suriname, ikut ramai diberitakan di Indonesia karena ia ternyata keturunan Banyumas, Jawa Tengah.
ADVERTISEMENT
Sapoen adalah cucu kuli kontrak di Banyumas. Dan ia melejit di Suriname, tanah yang kini menjadi tempat tinggal dia dan keluarganya.
Sapoen akhirnya gagal maju menjadi calon presiden, namun tak melunturkan rasa bangga sebagian orang yang beretnis Jawa. Cerita tentang Sapoen menjadi bumbu penyedap kisah hidup orang Jawa di Suriname.
Jawa di Suriname adalah cerita yang sudah banyak didengar. Dua tahun lalu, 8 Juni 2015, komunitas Jawa di Suriname merayakan 125 tahun kepindahan mereka ke negara Amerika Latin tersebut.
Suriname, negara kecil di Amerika Selatan yang juga bekas koloni Belanda, adalah salah satu negara dengan populasi diaspora Jawa terbesar di dunia.
Antropolog Universitas Indonesia, Pasurdi Suparlan, mengatakan bahwa dalam rentang waktu 1890-1939, terdapat sekitar 31.499 orang Jawa yang tercatat secara administrasi melakukan migrasi dari Dutch East Indies (sekarang disebut Indonesia) ke Dutch West Indies (sekarang disebut Suriname).
ADVERTISEMENT
Jumlah mereka sebetulnya tak terlalu banyak. Hanya, bumbu cerita yang terdengar seperti begitu berlebihan. Jawa cuma 15 persen dari seluruh penduduk Suriname. Di Suriname, diaspora India bahkan berjumlah lebih banyak, yaitu 27 persen dari total penduduk.
Namun posisi minoritas tidak menjadikan mereka anak bawang. Mereka telah seutuhnya menjadi warga negara Suriname yang memiliki posisi vital di dalam negeri. Mereja jadi petani, dokter, pegawai kantoran, hingga politisi dengan jabatan mentereng seperti Sapoen.
[Baca Juga: Cerita Diaspora: Orang Indonesia di Perantauan ]
Sejarah Jawa diaspora di Suriname begitu panjang. Mengutip jurnal ilmiah Julia Martınez dan Adrian Vickers berjudul Indonesians Overseas: Deep Histories and The View from Below, kakek-nenek para diaspora Jawa di Suriname merupakan budak yang dipekerjakan di wilayah jajahan yang dahulu bernama Guyana Belanda. Mereka dikapalkan secara bergilir mulai tahun 1890-an.
ADVERTISEMENT
Kapal yang membawa orang Jawa ke Guyana silih berganti datang sampai tahun 1939. Pemerintah Belanda menempatkan komunitas Jawa sebagai kuli perkebunan. Mereka datang hanya dengan kemampuan tenaga tanpa keterampilan hidup.
Generasi pertama Jawa di Suriname sebenarnya dijanjikan akan dikembalikan ke kampung halaman mereka. Namun hanya 8.000 orang yang kembali di Jawa. Sisanya menetap di Guyana, beranak pinak, dan menjadi warga negara Suriname setelah negeri itu merdeka tahun 1975.
Awal kehidupan Jawa di Suriname dipenuhi dengan diskriminasi oleh pemerintah kolonial. Jawa diberi label “malas”, “pengganggu”, dan “tidak berguna” karena hanya berperan sebagai buruh. Stigma ini menyebabkan orang Jawa, bersama migran dari India, tidak mendapat akses pendidikan yang layak. Bahkan, mereka tak mendapat hak pilih saat pemilu parlemen Suriname pada1940-an.
ADVERTISEMENT
Namun diskriminasi tak membuat kelompok diaspora Jawa berhenti berkontribusi bagi pembangunan Suriname. Komunitas Jawa aktif menyuarakan kepentingan luhur untuk kemerdekaan Suriname. Dalam buku The Difficult Flowering of Surinam: Ethnicity and Politics in a Plural Society, sejarawan Edward Dew menceritakan betapa orang Jawa ikut mencurahkan keringat dalam mempersatukan Suriname yang begitu beragam.
Kemerdekaan Suriname sempat diawali kisah perselisihan antarkelompok di dalam tubuh bangsa. Isu etnis melanda masa-masa partai politik mulai muncul di Suriname tahun 1930-an. Partai politik terbesar, Nationale Partij Suriname, bahkan harus menghadapi pertengkaran di dalam tubuhnya Hingga akhirnya berdirinya Surinaamse Hindoe Partij oleh etnis keturunan India, menandakan menguatnya sentimen kedaerahan.
[Baca juga: Orang Maluku di Belanda: Mempertanyakan Nasionalisme ]
ADVERTISEMENT
Jawa sendiri sempat terseret kepada polemik identitas. Surinaamse Hindoe Partij kemudian berevolusi menjadi Hindoe Javanase Politikej Partij yang merupakan kongsi antara keturunan India dengan Jawa.
Bahkan ketika perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia sedang memanas, komunitas Jawa Suriname mengusung agenda sendiri: mendukung kemerdekaan saudaranya di Indonesia, untung-untung bisa pulang ke kampung halaman.
Orang Jawa di Suriname mendirikan beberapa organisasi untuk menaungi kepentingan politik mereka. Seorang Jawa bernama Iding Soemita mendirikan Persatuan Indonesia pada 1946. Salikin M. Hardjo mendirikan Persatuan Indonesia Suriname. Kedua organisasi ini ikut memanaskan semangat pembebasan --tak hanya di Indonesia, tapi Suriname sendiri.
Hingga kini, organisasi politik yang mewadahi kepentingan Jawa masih tetap berdiri dan memegang peran vital di Suriname. Sebut saja Pertjaja Luhur dan Pandawa Lima.
Jumlah orang Jawa yang memegang posisi penting di politik Suriname juga cukup banyak. Selain Sapoen yang hakim, politisi, juga menteri, beberapa nama lain menghiasi kabinet dan parlemen. Misalnya, Ginmardo Kromosoeto, Ismanto Adna, dan Hendrik Setrowidjojo. Ketiganya adalah menteri.
ADVERTISEMENT
Meski nyaman di perantauan, Jawa diaspora di Suriname selama beberapa generasi memendam rindu tak terbalaskan. Turun-temurun, mereka rindu melihat negeri asal.
Keinginan untuk tinggal di Pulau Jawa benar-benar membuncah. Antropolog Universitas Gadjah Mada, Fuji Riang Prastowo, membagi pengalaman berinteraksi dengan orang Jawa Suriname kepada kumparan (kumparan.com), Sabtu (10/6).
“Mereka ini sudah mapan. Ada yang tinggal di Belanda dan kaya bukan main. Tapi mereka merasa ada yang kurang dari hidupnya,” ujar Fuji.
Ia menjelaskan, kerinduan semacam itu jamak terjadi pada diaspora manapun.
“Diaspora itu satu yang selalu dibawa: kerinduan terhadap rumah. Oleh karenanya mereka akan terus dibayangi oleh rumah nenek moyang mereka di Jawa,” kata Fuji.
ADVERTISEMENT
Diaspora Jawa di Suriname yang selalu gagal pulang, akhirnya menciptakan rumah sendiri di tempat tinggal mereka sekarang.
“Bahasa, adat istiadat, dan makanan, masih dijaga komunitas Jawa. Ketiga hal itu tidak akan berubah meski mereka telah tertimpa oleh kultur Belanda atau Karibia sekalipun,” kata Fuji.
Hingga kini, kesenian seperti gamelan dan jathilan masih mewarnai kehidupan orang Jawa di Suriname. Acara pernikahan di ibu kota, Paramaribo, pun tak beda jauh dengan hajatan di Jawa Tengah.
Ikatan batin dengan negeri asal membuat rindu tak lekang masa.