Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Mengapa Perempuan yang Kuliah Kini Lebih Banyak daripada Laki-laki?
18 Januari 2025 10:34 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Salma (22) dan Izka (33) adalah dua perempuan Indonesia yang punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Salma merupakan seorang lulusan D3 telekomunikasi dari sebuah politeknik di Bandung. Sedangkan Izka adalah seorang ibu satu anak yang bekerja dengan pendidikan terakhir S2 Ilmu Komunikasi.
ADVERTISEMENT
Bagi Salma, lanjut ke perguruan tinggi artinya memperdalam ilmu jasmaniah lantaran 6 tahun dirinya telah mempelajari ilmu rohaniah di pondok pesantren. Selama berkuliah, Salma aktif di himpunan jurusannya dan UKM Catur. Sebagai lulusan telekomunikasi, ia memiliki mimpi untuk menjadi seorang cyber security analyst.
“Jadi cyber security analyst itu jadi pelindung dunia maya yang saat ini jadi dunia kedua banget ya. Nah aku tuh pengen pengen mengenali bener-bener (bidang ini),” ungkap Salma saat berbincang dengan kumparan, Senin (13/1).
Sebetulnya, kata Salma, dulu prodinya didominasi laki-laki. Namun, kini semua berubah. Perempuan pun juga banyak yang minat di bidang tersebut.
“Nah kalau di aku juga dulunya banyaknya cowok tapi by the time malah jadi rasionya sama,” jelas Salma.
ADVERTISEMENT
Baginya, tujuan perempuan bersekolah tinggi bukan untuk menyaingi laki-laki, atau motivasi untuk laki-laki lainnya. Tujuan perempuan dalam berkuliah adalah untuk menjadi manusia yang memiliki nilai.
“Sebagai manusia itu harus ber-value. Gimana kita bisa nunjukin value? Yaitu salah satunya dengan mempunyai gelar gitu. Jadi kayak kita punya cap kita udah belajar sampai sini gitu,” kata Salma.
Tren Perempuan yang Lulus Perguruan Tinggi Meningkat
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan berjudul ‘Perempuan dan Laki-laki Indonesia 2024', persentase perempuan yang duduk di bangku perkuliahan jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Ini dilihat dari tingkat kepemilikan ijazah tertinggi di antara kedua jenis kelamin tersebut
Data ini menarik karena berbeda dengan anggapan umum bahwa laki-lakil yang lebih banyak kuliah ketimbang perempuan. Mengingat jumlah penduduk di Indonesia memang lebih banyak laki-laki ketimbang perempuan. Trennya pun terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Di perkotaan, pada 2017 lalu, persentase laki-laki yang memiliki ijazah perguruan tinggi memang lebih besar dibanding perempuan. Persentasenya mencapai 11,86 persen dan 11,74 persen.
Kemudian pada 2018 dan seterusnya, kondisi mulai berbalik. Persentase perempuan yang memiliki ijazah perguruan tinggi justru konsisten melampaui laki-laki. Pada 2024, persentase perempuan yang kuliah bahkan 14,08 persen dan laki-laki 12,69 persen.
Terjadi di Banyak Negara
Menurut dosen sosiologi Universitas Padjadjaran, Farah Firsanty, fenomena perempuan yang lebih banyak kuliah dibandingkan laki-laki adalah fenomena reversal of gender inequalities in higher education. Menurutnya, fenomena ini pun terjadi di negara-negara maju dunia.
"Mereka [perempuan] tuh udah mulai open bahwa untuk menjalankan peran sebagai perempuan di ranah domestik, itu juga memerlukan skill," tutur Farah saat dihubungi kumparan, Selasa (14/1).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelusuran kumparan, istilah tersebut dimunculkan oleh Stéphan Vincent-Lancrin dalam artikelnya berjudul ‘The Reversal of Gender Inequalities in Higher Education: An On-going Trend’ (2008) yang dipublikasikan Centre for Educational Research and Innovation dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD ).
Dalam artikel tersebut, Vincent-Lancrin menjabarkan bahwa telah terjadi perubahan ketimpangan gender dalam pendidikan tinggi yang awalnya didominasi laki-lak. Menurut penelitiannya, sejak akhir 1990-an, proporsi perempuan dalam pendidikan tinggi lebih banyak ketimbang laki-laki di 30 negara OECD.
Artikel ini memaparkan data sejak tahun 1985 hingga 2005 di 30 negara yang tergabung dengan OECD. Indonesia tidak termasuk lantaran baru bergabung dengan OECED pada 2007.
Data di bawah adalah proporsi perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi di 30 negara OECD dari tahun-ke tahun.
ADVERTISEMENT
Di Australia, misalnya, proporsi mahasiswa perempuan pada 1985 ada di angka 47 persen. Namun pada 1990, proporsinya naik menjadi 52 persen. Kemudian pada 2005 menjadi 54 persen. Tren di negara-negara OECD lain pun begitu. Situasinya berbalik dari laki-laki yang mendominasi menjadi perempuan yang mendominasi perguruan tinggi.
Meski begitu, perempuan mendominasi bidang studi yang berkaitan dengan pendidikan, pengajaran, dan juga kesehatan dan sektor sosial. Sedangkan, laki-laki cenderung memilih sains atau teknik. Pemilihan bidang studi ini juga yang kemudian mempengaruhi upah perempuan dan laki-laki di lapangan pekerjaan.
Dalam artikel ini, diteliti juga penyebab yang mengakibatkan fenomena keunggulan perempuan dalam pendidikan tinggi dibanding laki-laki. Ada empat faktor yang ditemukan, yaitu faktor demografi, sosiologi, ekonomi, dan pendidikan.
Faktor demografi maksudnya adalah perempuan memilih untuk menikah dan memiliki anak pertama di usia yang lebih tua dibanding tahun-tahun sebelumnya. Penelitian di Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa semakin besar keluarga, dan semakin maskulin keluarga tersebut, semakin kecil pula peluang perempuan untuk masuk ke pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Faktor sosiologi berkaitan dengan menurunnya diskriminasi terhadap perempuan di pasar tenaga kerja, perubahan perilaku perempuan untuk menggabungkan kehidupan keluarga dengan kehidupan profesional, dan perubahan keputusan orang tua untuk berinvestasi pada pendidikan anak-anaknya, baik perempuan maupun laki-laki.
Dari segi ekonomi, terdapat dua faktor yang menjadi alasan rendahnya partisipasi laki-laki dalam pendidikan tinggi, yakni lebih cepatnya pengembalian dana pendidikan yang didapat perempuan dari pendidikan tinggi dibanding laki-laki, dan adanya pilihan alternatif pendidikan tinggi dalam memperoleh upah.
“Tingkat pengangguran yang rendah atau upah yang tinggi untuk kegiatan yang tidak memerlukan kualifikasi yang lebih tinggi dapat menjadi insentif untuk tidak belajar dan langsung memasuki pasar tenaga kerja,” tulis artikel tersebut.
Dari segi pendidikan, perbedaan dalam persiapan akademis antara perempuan dan laki-laki, faktor nonkognitif (perilaku), dan perkembangan dalam penyediaan pendidikan tinggi ditengarai menjadi penyebab lebih banyaknya perempuan di pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Dalam faktor nonkognitif (perilaku), ada penelitian yang mengamini hasil temuan Vincent-Lancrin, artikel berjudul “Explaining the Worldwide Boom in Higher Education of Women” yang dirilis Chicago Journals pada 2010 mengungkapkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah perempuan yang menyelesaikan kuliah di rentang waktu 40 tahun terakhir terhitung dari akhir 1970-an.
Artikel dari Gary S. Becker, William H. J. Hubbard, dan Kevin M. Murphy ini mempelajari penyebab terjadinya fenomena tersebut dari sisi ekonomi.
Dari penelitian itu, terungkap bahwa perempuan memiliki keterampilan nonkognitif yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Maka, masuk akal jika lebih banyak perempuan yang menamatkan pendidikan tinggi dibanding laki-laki.
“Kami menunjukkan bahwa perbedaan gender dalam hal pendapatan, kesehatan, perkawinan, dan keuntungan lain dari perguruan tinggi sangat menyempit setelah tahun 1970-an. Bahkan jika sarana dan distribusi biaya kuliah sama untuk pria dan wanita, keuntungan pria dalam kuliah akan menyempit secara signifikan dari waktu ke waktu,” tulis artikel itu.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel ini juga disebutkan bahwa peningkatan partisipasi perempuan di pendidikan tinggi tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga di negara berkembang. Contohnya Brasil, Iran, China, dan India. Hal ini disebabkan oleh manfaat keuangan yang diperoleh dari perguruan tinggi telah meningkat di banyak negara berkembang.
Reporter: Aliya R Putri