Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
ADVERTISEMENT
“Satu jam mencari sampah bisa dapat satu liter beras. Enggak ada yang nyuruh. Yang penting dapat beras seliter. Kami daripada gaji gede tapi diatur orang, pusing, mending cari ke atas (mulung). Satu jam dapat satu liter beras, udah tenang,” ujar Usman santai.
ADVERTISEMENT
Ungkapan lelaki 53 tahun itu secara karikatural meringkas sebuah persoalan tentang pilihan hidup yang mungkin diambil secara sadar oleh ratusan orang pemulung di Kelurahan Sumurbatu, Kecamatan Bantargebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.
Daripada bekerja secara formal dengan aturan rumit yang kerap menekan, menurut Usman, banyak pemulung di sekitar Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang memang secara sadar menetapkan pilihan pekerjaan memulung.
Memang penghasilan yang didapat tak sebesar pekerjaan formal, tetapi rasa cukup diri dan bebas dari aturan “kantor” membuat mereka menghargai pekerjaan itu. Pekerjaan yang kerap dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan.
Kendati begitu, ucapan Usman di atas kurang lebih baru berlaku memasuki abad ke-21. Yakni ketika, sebagaimana kata Usman, “Sekarang ini semua sudah jadi duit. Bukan hanya botol, gelas, ember. Tali rafia saja sudah jadi duit. Hanya daun yang belum bisa jadi duit.”
Laki-laki asal Banten itu datang ke Bantargebang bersama keluarganya pada 1996 akibat kesulitan ekonomi. Usman yang saat itu berusia 32 tahun memilih menjadi pemulung.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, ujar Usman, tak banyak sampah yang bisa dijual untuk menyambung napas hidup sehari-hari. Bekas botol air mineral--yang sekarang menjadi salah satu komoditas utama para pemulung--pun tak laku dijual. Hanya sampah semacam ember, besi, dan gelas air mineral yang bisa ditukar dengan uang.
Ketika Indonesia memasuki puncak krisis ekonomi dan politik pada 1998-2000, jumlah pemulung di Bantargebang terus bertambah. Semua pemulung semula ialah pendatang dari berbagai daerah. Mereka melihat sampah di Bantargebang sebagai peluang yang lebih menjanjikan untuk bertahan hidup daripada kesempatan lain yang tersedia di daerah asal masing-masing.
Warga setempat akhirnya terdorong untuk ikut menjadikan sampah sebagai ladang mencari nafkah ketika, pada masa krisis itu, mereka melihat para pendatang dapat bertahan hidup dari memulung.
ADVERTISEMENT
“Itu kan sudah krisis moneter, mulailah warga setempat terjun di bidang sampah. Waktu belum krisis, (kebutuhan) masih terjangkau barangkali. Setelah krisis, maka baru warga (setempat) ikut turun ke sampah,” kata Usman.
Pada awalnya menjadi pemulung memang tak mudah bagi Usman. Nafsu makannya terganggu selama satu minggu pertama memulung, sebab aroma bau dan pemandangan yang tak nikmat dipandang saat bekerja di gunung sampah. Sedangkan proses adaptasi sepenuhnya butuh waktu sekitar tiga bulan.
Usman juga sadar pekerjaannya itu sangat berisiko terhadap kesehatan dan keselamatannya. Mulai dari ancaman tertusuk beling yang bisa menimbulkan infeksi tetanus, penyakit sistem pernapasan, tertimbun sampah, hingga ancaman tergaruk beko pengeruk sampah.
Ancaman yang mengintai para pemulung bertambah ketika musim hujan datang. Hujan membuat sampah-sampah itu basah dan meningkatkan potensi longsor gunungan sampah.
ADVERTISEMENT
“Tidak seperti gunung yang saling menopang dengan akar. Ini sampah--sekarang aja lagi (agak enak) di musim kemarau, tapi yang kami khawatirkan adalah di musim hujan nanti. Gunung aja bisa longsor di musim hujan, apalagi sampah,” kata Usman, mimiknya langsung berubah serius.
Jika mengingat-ingat semua risiko bekerja sebagai pemulung, terbayang sekali dalam benak Usman betapa dari sampah itu kontradiksi kehidupan mencuat. Antara warga ibu kota yang membuang sampah sebagai jejak hidup, dengan para pemulung di sekitar Bantargebang yang memungutnya untuk menyambung kehidupan.
“Ya, (ada risiko) penyakit. Tetapi mau enggak mau, suka enggak suka, dengan sampah pun ada dampak positifnya, yaitu memberikan nafkah kepada keluarga,” ucap Usman.
“Apapun orang bilang (tentang) sampah, sebaik-baiknya sampah, kalau sudah jadi sampah ya susah. Tapi sampah ini ternyata dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemulung yang datang dari mana-mana--Indramayu, Semarang, Jawa Timur,” kata Usman.
ADVERTISEMENT
Dari hasil memulung itu, Usman dapat menghidupi keluarga dan mengirim anak-anaknya ke sekolah hingga pendidikan tinggi.
Memang, tak semua pemulung sadar akan pentingnya pendidikan seperti Usman. Kebanyakan pemulung sudah merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa memikirkan hidup untuk hari-hari mendatang.
Pada diri para pemulung itu, tampaknya tak dapat ditemukan kecemasan akan suatu capaian materi, popularitas, dan jabatan sebagaimana pada orang-orang yang bekerja formal di tengah ingar-bingar perkotaan--yang berjarak tak terlampau jauh dari mereka.
Jerih payah Usman memulung berhasil membuat ia membangun rumah panggung sederhana dari kayu. Dan dengan berhasil menyekolahkan anaknya, Usman kini tak perlu lagi terlalu keras bekerja.
Bermodal pendidikan, anak-anak Usman mendapat pekerjaan yang lebih baik untuk membantu penghidupan Usman dan keluarga.
Tempat bermukim pemulung di TPST Bantargebang terbagi ke dalam dua jenis. Ada yang mengontrak rumah di dalam area kampung--seperti di lingkungan Usman tinggal, ada pula yang tinggal di deretan bedeng tepat di seberang jalan gunungan sampah.
ADVERTISEMENT
Cardim (55) merupakan salah seorang pemulung yang tinggal di bedeng. Kondisi permukiman pemulung di bedeng memang sangat jauh berbeda daripada di rumah kontrakan. Sampah-sampah berserakan di sekeliling bedeng. Bahkan pada beberapa bedeng, sampah tersebut tampak mengimpit dinding-dinding dan pintu bedeng.
Kondisi itu rupanya tak menyurutkan semangat Cardim yang sudah memulung dan tinggal bersama keluarganya di bedeng sejak 1989. Cardim dan keluarganya berasal dari Indramayu. Di daerah asalnya itu, ia bekerja serabutan.
Cardim mengaku merasa lebih senang tinggal di bedeng dengan bekerja sebagai pemulung. Seperti yang dikatakan Usman, bagi Cardim bekerja sebagai pemulung memiliki keuntungan terbebas dari aturan yang mengikat.
Cardim juga merasa cukup dengan rezeki harian yang ia dapatkan dari gunung sampah di seberang bedeng tempat ia dan keluarganya terlindung dari panas hujan. Alasan itu memperkuat sikap Cardim yang merasa tak mungkin memiliki pekerjaan formal dengan latar belakang pendidikannya.
ADVERTISEMENT
“Namanya cari nafkah, mau kerja apalagi, sudah tua, miskin. Kan sekarang umpamanya melamar kerja ke perusahaan, harus punya ijazah, punya itu ini. Sedangkan saya orang zaman dulu. Boro-boro punya ijazah, sekolah aja jauh,” kata dia.
Cardim biasa pergi memulung pagi hari. Tak tentu berapa lama ia bekerja, hal itu tergantung kebutuhannya. Namun, kebanyakan pemulung di bedeng akan bekerja seperti jam orang kantoran--jika berangkat pagi, maka pulang sore.
Rata-rata penghasilan harian Cardim sebesar Rp 100 ribu. Terkadang anak laki-lakinya yang sudah dewasa membantu Cardim memulung untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
“Kalau anak bisa bantuin, kan lumayan hasilnya buat dia menabung atau jajan. Hasil kami buat makan tiap hari. Ya namanya duit, kalau banyak ya tetap terasa kurang, apalagi sedikit,” kata bapak empat anak itu.
Dari keempat anak Cardim, tak satu pun yang mengenyam bangku pendidikan. Cardim merasa kurang sanggup membiayai pendidikan mereka. Anak-anak Cardim pun, menurutnya, merasa lebih penting untuk membantu orangtuanya mencari penghasilan daripada bersekolah.
ADVERTISEMENT
“Modalnya enggak ada. Makanya ya otomatis anak kami berpikir cari nafkah,” ujar Cardim.
Cardim dan para pemulung yang tinggal di bedeng, terikat kontrak dengan seseorang yang memiliki lahan tempat bedeng itu berdiri. Setiap bulan, Cardim harus membayar sewa tanah Rp 70 ribu, sedangkan bangunan bedeng itu milik para penghuninya sendiri.
Pemilik lahan juga kerap memberikan pinjaman kepada para penyewa lahan, selama mereka masih dipercaya dapat mengembalikan uang pinjaman tersebut.
“Jadi umpamanya enggak punya duit, bilang ‘Bos, enggak punya duit.’ Dikasih sama Bos, yang jelas kami setiap hari ke luar bawa keranjang, walaupun dapatnya sih umpamanya 2 atau 3 keranjang. Jadi si bos kan masih percaya. Seumpamanya kami nongkrong aja tiap hari, mana bisa percaya,” kata Cardim.
ADVERTISEMENT
Dibanding mengontrak rumah seharga Rp 300 ribu per bulan, tinggal di bedeng memang menjadi pilihan banyak pemulung.
Setiap kali bekerja, Cardim selalu membawa bekal untuk ia santap ketika istirahat sejenak di atas gunung sampah. Sebab terlalu menguras tenaga dan waktu jika ia harus turun gunung dan kembali ke rumah untuk mengisi perut. Sementara membiarkan perut kosong akan berdampak pada kaburnya konsentrasi dan bakal mengirim ia pada situasi berbahaya.
Panas dari terik matahari dan gas tumpukan sampah merupakan dua hal yang paling menguras stamina. Apalagi, misalnya, pemulung mesti memanggul keranjang seberat 20 kilogram yang penuh berisi sampah.
Tak heran jika banyak pemulung yang memilih bekerja pada malam hari, seperti Wawan. Pria 32 tahun itu, tak macam Usman dan Cardim yang “senior”, baru menguleti pekerjaan sebagai pemulung selama tiga tahun.
ADVERTISEMENT
Namun, seperti para pendahulunya, Wawan memilih pekerjaan itu secara sadar. Sebelumnya ia bekerja sebagai sopir truk pengangkut sampah selama 15 tahun. Dorongan untuk memiliki banyak waktu dekat dengan keluarganya menjadi alasan Wawan banting stir menjadi pemulung.
Lagipula, ia merasa bosan menjadi sopir truk. Kebosanan itu juga membuat Wawan tidak betah dengan aturan kerja.
“Kalau sopir kan kadang-kadang jauh sama keluarga, jadi jarang pulang. Kalau pemulung setiap hari pulang. Enaknya di situ yang saya rasakan,” ujar Wawan yang tinggal di rumah kontrakan bersama istri, dua orang anak, dan mertuanya.
Ia menambahkan, “Lebih bebas (jadi pemulung). Kalau kerja jadi sopir kan salah sedikit aja diomelin. Telat diomelin, ditegur. Kalau pemulung bebas mau jam berapa aja berangkat.”
Menurut Wawan, bekerja sebagai sopir truk sampah memang menjamin pendapatan yang lebih pasti setiap bulannya daripada menjadi pemulung. Tetapi kedekatan dengan keluarga dan rasa tak nyaman dengan aturan kerja formal membuat Wawan berkukuh berganti profesi. Ia merasa lebih senang dengan pekerjaannya saat ini.
ADVERTISEMENT
Tidak ada anggota keluarga Wawan yang mempermasalahkan pilihannya itu. Semua merasa baik-baik saja selama penghasilan yang didapat Wawan bukan berasal dari pekerjaan yang merugikan orang lain. Mertua Wawan juga seorang pemulung sebelum akhirnya kondisi kesehatannya tidak lagi memungkinkan baginya untuk bekerja.
Penghasilan sehari rata-rata Rp 100 ribu tidak membuat Wawan merasa kekurangan. Ia bahkan masih tetap bisa membiayai sekolah kedua anaknya yang kini duduk di bangku Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak.
Wawan tentu paham risiko bekerja sebagai pemulung jauh lebih besar daripada sebagai sopir truk sampah. Ia bahkan tidak sanggup untuk memulung di siang hari.
“Siang pernah cuma satu hari doang, udah enggak mau lagi siang. Panasnya minta ampun, enggak kuat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Wawan, baik siang maupun malam hari, masing-masing memiliki risiko sama. Pada siang hari, keramaian para pemulung di atas gunung sampah seringkali membuat beberapa dari mereka luput memperhatikan buldozer atau beko yang sedang beroperasi. Akibatnya, dalam terang matahari pun tak sedikit musibah akibat kelalaian terjadi.
Sementara di malam hari, terang cahaya yang kurang memadai seringkali membuat para pemulung tak dapat melihat dengan jelas alat-alat berat yang tengah dioperasikan.
“Kadang-kadang arah buldozer mendorong itu kami lihat lurus, enggak tahunya belok. Kadang kalau kami enggak konsentrasi sering begitu. Kadang-kadang alat beko lagi muter, sering juga ketabrak,” kisah Wawan.
Wawan termasuk beruntung sampai sekarang tidak tertimpa musibah mengerikan seperti yang dialami oleh teman-temannya. Ia bercerita, sudah banyak temannya mengalami kecelakaan ketika memulung. Mulai tangan patah sampai kaki putus karena terkena garukan beko.
ADVERTISEMENT
Semua itu terjadi, kata Wawan, karena kurangnya konsentrasi ketika memulung. Padahal seringkali pemulung berada pada jarak tak aman dari alat-alat berat tersebut.
Dengan bahaya mengintai, tak heran istri Wawan selalu mengingatkannya untuk berhati-hati. Beberapa kali sang istri mengungkapkan kecemasannya sejak Wawan berangkat memulung sekitar pukul 19.00 WIB hingga pukul 04.00 WIB.
Kepada peralatan, bekal, dan doa, sang istri mempercayakan nasib suaminya itu demi terus menyambung simpul kehidupan.
Demikianlah roda kehidupan berputar. Dan di dalamnya, manusia menjalani beragam peran untuk bertahan hidup.