Mempertanyakan Peran Negara atas Nasib PRT

9 Maret 2018 10:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Flickr Buruh Migran Indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Flickr Buruh Migran Indonesia)
ADVERTISEMENT
“Nanti di Jakarta, sekolah lagi ya,” kata calon majikan Yuli Maheni.
ADVERTISEMENT
Orang tua Yuli hanya mampu membiayai sekolahnya sampai bangku SMP. Keinginan kuat untuk melanjutkan sekolah itulah yang membuat Yuli menyambut tawaran calon majikannya. Ia pun dibawa ke Jakarta untuk bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT).
Dalam perjalanan dari Yogyakarta ke Jakarta, betapa senang Yuli membayangkan kelak kebaikan majikannya itu terwujud. Semangatnya membuncah untuk bersekolah.
Namun ternyata, imajinasi untuk bersekolah yang menyenangkan hatinya itu hanya bayang-bayang. Setibanya di ibu kota, kenyataan berkata lain.
Tidak ada kesempatan untuk melanjutkan sekolah seperti yang diiming-imingi si majikan sewaktu menjemput Yuli. Yuli menjalani hari-harinya sebagai PRT dengan mengerjakan segala urusan domestik. Yang menyedihkan, ia tidak mendapat perlakuan layak sebagai seorang pekerja.
Majikan Yuli tidak memberinya cukup makan. Yuli kerap memulai hari dengan pagi tanpa sarapan, sementara ia mesti bekerja keras: mencuci, menyetrika, menyapu, mengepel lantai.
ADVERTISEMENT
Yuli juga tidak diberi tempat tidur layak. Hanya lipatan kardus yang ditata memanjang dengan kasur, tanpa tirai selembar pun. Sering kali kecoak merayap di badan Yuli ketika ia sedang tidur.
Mengakhiri bekerja di sana, nasib membawa Yuli menghampiri rumah majikan lain. Ia dan seorang PRT lainnya bekerja paruh waktu pada si majikan, bersama tiga orang PRT lain yang bekerja purnawaktu. Di sana ia kerap menyaksikan teman-teman purnawaktunya didera kekerasan psikis oleh majikan.
Jika si majikan menyuruh sesuatu, dalam hitungan paling lama 2 menit para PRT harus mengerjakannya, tak peduli para pekerja itu tengah menyelesaikan pekerjaan sebelumnya. Jika perintah ditolak, majikan akan membentak-bentak. Banyak hal harus dilayani, sampai untuk minum air putih pun harus PRT yang mengambilkannya.
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Flickr Buruh Migran Indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Flickr Buruh Migran Indonesia)
Ludiah, perempuan asal Wonosobo yang telah bekerja sebagai PRT selama 23 tahun, pernah dipaksa majikan untuk bekerja, meski ia telah meminta izin karena sakit. Sebulan kemudian, si majikan memotong upahnya.
ADVERTISEMENT
Seorang PRT lain, Yamtini, telah bekerja sejak 2004. Saat itu ia hanya diupah Rp 100.000 per bulan. Mulanya Yamtini tak berani protes sampai akhirnya ia memberanikan diri berbicara kepada majikannya.
“Maaf, saya sudah tidak sanggup bekerja lagi karena tidak ada jam istirahatnya.” Namun, kondisi Yamtini tak dipedulikan oleh si majikan yang justru memaksa ia untuk terus bekerja.
Ketika lebaran tiba, akhirnya Yamtini dapat berhenti bekerja di sana. Majikannya tidak memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) ketika ia hendak pulang. Hanya upah dan marah-marah si majikan karena Yamtini tidak akan kembali bekerja di rumah tersebut.
Pengalaman Yuli, Ludiah dan Yamtini hanya tiga dari jutaan orang Indonesia yang bekerja di balik tembok domestik. Menurut Koordinator Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), saat ini terdapat sekitar 4,2 juta orang penduduk Indonesia yang bekerja sebagai PRT di dalam negeri. Jumlah itu merupakan yang terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
PRT memberikan kontribusi besar bagi keluarga dan masyarakat. Keberadaan PRT di lingkup domestik memungkinkan anggota sebuah keluarga beraktivitas di ruang publik untuk beroleh kesejahteraan ekonomi dan pengembangan diri melalui kerja dan pendidikan.
Jumlah PRT yang banyak dan perannya yang penting turut memengaruhi kondisi sosial dan ekonomi, dari tingkat keluarga hingga nasional. Namun, hal itu tidak membuat keberadaan PRT diperlakukan secara baik. Banyak hak dasar pekerja yang tidak diperoleh PRT. Mereka justru sangat rentan mengalami kekerasan.
Berbeda dari pekerjaan lain yang berada di ruang publik, PRT bekerja di balik tembok rumah yang memungkinkan perlakuan jahat si majikan tak dapat diketahui siapa pun. Bukan hanya kekerasan dalam bentuk fisik, tetapi juga psikis, ekonomi, sosial dan seksual.
ADVERTISEMENT
“Yang muncul di media itu kan kasus-kasus yang sudah sifatnya fisik dan sangat parah. Tapi kasus-kasus kekerasan yang lain, misalnya upah tidak dibayar, gaji dipotong semena-mena, THR tidak dibayar, kalau sakit di-PHK. Itu bentuk-bentuk pelanggaran dan juga kekerasan tetapi tidak mengemuka, juga kekerasan seksual,” kata Lita kepada kumparan, Kamis (8/3).
Direktur Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization; ILO) untuk Indonesia dan Timor Leste, Michiko Miyamoto, bahkan menyebut PRT termasuk salah satu kelompok pekerja dengan kondisi pekerjaan terburuk di dunia. Mereka sampai saat ini masih belum mendapatkan situasi kerja layak sebagai perwujudan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Pertama, menurut Lita, saat ini upah rata-rata PRT masih sekitar 20-30 persen dari Upah Minimum Regional (UMR). Misal kita menggunakan ukuran UMR DKI Jakarta 2018 sebesar Rp 3.648.035, berarti upah yang didapat PRT di ibu kota hanya sekitar Rp.1.094.410 per bulan.
Kedua, tidak ada pembatasan beban kerja dan pembatasan jam kerja. Menurut data ILO, sekitar 63 persen PRT di Indonesia bekerja selama 7 hari dalam sepekan. Organisasi itu juga mencatat, mayoritas PRT tidak memiliki kontrak kerja jelas, baik lisan maupun tertulis, dengan majikan mengenai pekerjaan yang menjadi kewajibannya, jam kerja, hingga upah yang akan diterima.
Dengan demikian, kedudukan PRT di Indonesia begitu rentan mengalami perbudakan. Bukan tidak mungkin bahwa PRT merupakan bagian dari hitungan, berdasarkan data Global Slavery Index, 736.100 orang di Indonesia yang mengalami perbudakan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, masih ada larangan-larangan tertentu dari pengguna jasa. Misalnya, PRT dilarang bersosialisasi dan berorganisasi.
Keempat, tidak mendapatkan jaminan sosial, khususnya jaminan kesehatan. “Dalam kasus-kasus yang kami tangani, mereka (PRT) kalau sakit dipotong upahnya, bahkan kemudian kalau sakitnya lama itu di-PHK,” kata Lita.
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Instagram @requisitoire)
zoom-in-whitePerbesar
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Instagram @requisitoire)
Persoalan-persoalan itu terjadi karena tak sedikit masyarakat yang masih memandang profesi tersebut sebagai bentuk pekerjaan mengabdi. Dalam kalimat lain, PRT belum dipandang sebagai profesi profesional yang dihargai dengan nilai ekonomis seperti pekerjaan formal lainnya.
Secara sosiologis, persoalan ini terkait dengan posisi perempuan dalam masyarakat yang jamak dipandang sebagai warga negara lapis kedua di bawah laki-laki. Pekerjaan-pekerjaan domestik hampir selalu ‘dikodratkan’ pada perempuan. ILO mencatat, sekitar 75 persen PRT di Indonesia adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
“Dalam pandangan umum, pekerjaan domestik dipandang sebagai kewajiban moral perempuan yang dikemas dalam balutan berbagai ideologi. Jarang muncul pemahaman bahwa pekerjaan domestik adalah aktivitas bernilai ekonomi yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan,” tulis Indraswari seperti dikutip dari Jurnal Perempuan.
“Pola yang lazim terjadi adalah saat seorang istri (ibu rumah tangga atau ibu pekerja) merasa terbebani dengan pekerjaan domestik, ia cenderung meminta bantuan perempuan lain seperti anak perempuannya, ibunya atau PRT, bukan suaminya.”
Maka tidak heran bahwa saat peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret, gerakan Women’s March di Indonesia membawa salah satu tuntutan agar pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan meratifikasi Konvensi ILO 189/2011 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.
ADVERTISEMENT
Lita menyebut, akar masalah atas yang dialami PRT adalah karena ketidakadilan gender. Dari hukum positif di masyarakat yang timpang, menurun pada absennya hukum legal. Dan hingga saat ini belum ada payung hukum yang menjamin kesejahteraan dan melindungi PRT sebagai pekerja.
RUU PPRT dan Konvensi ILO 189/2011
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah diajukan oleh Jala PRT bersama Komnas Perempuan kepada pemerintah dan DPR pada 2004. Tujuh tahun kemudian, 2011, Komisi IX DPR membuat Panitia Kerja untuk membahas rancangan tersebut. Lalu pada 2013, rancangan itu dibawa ke Badan Legislasi, setelah sebelumnya DPR melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina.
ADVERTISEMENT
Namun, sampai saat ini RUU PPRT belum tampak juntrungannya. Prosesnya macet meski tetap masuk ke dalam Program Legislasi Nasional. Ironisnya, pada 2011, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menjadi tamu di Sidang Tahunan ILO untuk membahas instrumen perlindungan dan kerja layak untuk pekerja rumah tangga.
Saat itu, SBY menjanjikan akan memberikan perlindungan bagi PRT melalui perundang-undangan. Tetapi hingga masa jabatannya berakhir, produk hukum yang dijanjikan belum juga ada.
Nasib RUU PPRT tetap belum menemui titik cerah menuju akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Padahal melalui janji sekaligus jargon Nawacita, presiden menyebut ada upaya memberikan perlindungan terhadap PRT sebagai komitmen pemerintah dalam perlindungan perempuan dan anak.
Koordinator Jala PRT Lita Anggraini (kaos hitam) (Foto: Twitter @jalaprt)
zoom-in-whitePerbesar
Koordinator Jala PRT Lita Anggraini (kaos hitam) (Foto: Twitter @jalaprt)
Lita berpendapat, semua proses terkait RUU PPRT selama ini berkutat di DPR dan pemerintah yang saling melempar tanggung jawab. “Artinya, PRT ini masih ‘dipingpong’ (dipermainkan). Itu menggambarkan pemerintahan dan DPR pro pada perbudakan modern.”
ADVERTISEMENT
“Ini conflict interest-nya adalah mereka tidak bisa melepaskan diri sebagai majikan daripada mereka sebagai pejabat negara. Ketika menghadapi RUU ini, mereka (bertindak) bukan untuk bagaimana mewujudkan (UU PPRT), tetapi justru bagaimana supaya RUU tidak terwujud,” kata Lita.
“Ketika kami melakukan pembahasan berkali-kali ke DPR, selalu yang muncul di pikiran mereka adalah ketakutan seperti komentar, ‘Wah ini nanti kami gampang masuk koran kalau melanggar.’ Itu berarti dalam benak mereka kan sudah menunjukkan diri sebagai pelaku pelanggaran.”
Dede Yusuf. (Foto: Antara/Fahrul Jayadiputra)
zoom-in-whitePerbesar
Dede Yusuf. (Foto: Antara/Fahrul Jayadiputra)
Secara terpisah, Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf Macan Effendi menyatakan, RUU PPRT kemungkinan akan dibahas pada 2019. Sementara untuk 2018, Komisi IX hanya akan menyelesaikan undang-undang kebidanan dan pengawasan obat dan makanan.
Menurut Dede, belum dibahasnya RUU PPRT sampai saat ini dikarenakan sebelumnya DPR telah mengesahkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) pada 25 Oktober 2017.
ADVERTISEMENT
“Karena kita mengerjakan RUU PPMI itu kurang lebih ruhnya sama (dengan RUU PPRT). Kita melihat penting untuk melindungi yang di luar negeri (lebih dulu), yang tidak terpantau oleh kita. Maka kita dahulukan itu. Ruhnya sebetulnya sama RUU PPMI dengan RUU PPRT,” kata politikus Partai Demokrat itu kepada kumparan, Kamis (8/3).
Bagi Lita, itu tak masuk akal. UU PPMI misalnya adalah untuk pekerja migran, sehingga sama sekali tidak bisa mengikat aturan soal PRT di dalam negeri. Begitu pula halnya dengan peraturan menteri. Menurutnya, harus ada kekuatan hukum yang mengikat dalam bentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
Dede mengakui pentingnya RUU PPRT untuk disahkan, mengingat rentannya PRT mengalami diskriminasi dan kekerasan. Namun, ujarnya, pemerintah mesti lebih dulu melakukan kajian sebelum pembahasan draf dilakukan. Misalnya, soal status PRT sebagai pekerja.
“Ketika kita berbicara sebagai pekerja sektor formal, maka harus ada juga yang namanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Sementara PRT banyak yang diambil dari keluarga jauh, banyak juga diambil dari yayasan. Jadi hal-hal inilah yang kemudian harus dibaca dengan baik,” ujar Dede.
“Oleh karena itu kami meminta pemerintah membuat kajian dulu, PRT itu sektor apa, informal atau formal? Kalau itu sudah ditentukan oleh pemerintah, baru kita gampang membuat peraturan-peraturan terkait dengan sektor kerja tersebut.”
ADVERTISEMENT
Tapi Lita membantah banyak PRT yang diambil dari keluarga jauh. Menurutnya, itu sudah tidak relevan lagi. Saat ini PRT banyak yang berasal dari agen dan yang diperlukan bagi PRT bukan untuk dianggap keluarga, tetapi sebagai pekerja.
“Memang orang mencari anggota keluarga ke agen?” kata Lita.
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Twitter @jalaprt)
zoom-in-whitePerbesar
PRT tuntut kesejahteraan (Foto: Twitter @jalaprt)
Pemerintah sendiri menilai RUU PPRT mandek di DPR. September 2017, Kepala Bagian Pengkajian Hukum dan Konvensi Kementerian Ketenagakerjaan Umar Kasim menyatakan, RUU PPRT harus segera disahkan.
Jika telah disahkan, UU PPRT akan melindungi para pekerja domestik dari kekerasan dan eksploitasi fisik serta ekonomi penggunanya.
Umar berpendapat, selama ini hubungan kerja yang diatur dalam peraturan perundangan bidang ketenagakerjaan umumnya berlaku antara pemberi kerja (perusahaan) terhadap pekerja atau karyawan yang berorientasi keuntungan. Sementara hubungan antara PRT dengan majikan--yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan informal--berada dalam spektrum hubungan sosial dan kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
“PRT harus memperoleh informasi mengenai pengguna jasa, berhak mendapatkan makan dan minum yang sehat, THR, mendapatkan waktu istirahat yang cukup, cuti, serta mendapatkan perlakuan yang baik dari pengguna dan anggota keluarganya,” kata Umar, dikutip dari Antara.
Selain belum ada undang-undang yang menaungi PRT, pemerintah juga belum meratifikasi Konvensi ILO Nomor 189/2011 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga yang telah diadopsi pada 16 Juni 2011 oleh Konferensi ILO yang terdiri dari delegasi pemerintah, pekerja dan pengusaha dari 183 negara anggota ILO.
Padahal konvensi itu sudah sangat komprehensif dalam menjamin hak dan kesejahteraan para pekerja domestik. Dari soal PRT yang diartikan sebagai “seseorang yang dipekerjakan dalam pekerjaan rumah tangga di dalam sebuah hubungan kerja”, hingga mengenai hak-hak dan prinsip-prinsip dasar yang mengharuskan negara peratifikasi untuk mengambil langkah merealisasikan kerja layak bagi PRT.
ADVERTISEMENT
Pasal 10 Konvensi 189/2011 itu, misalnya, menjamin perlakuan sama antara pekerja rumah tangga dan pekerja secara umum berkenaan dengan jam kerja normal, kompensasi lembur, masa istirahat harian dan mingguan, dan cuti tahunan berbayar. Sementara pembayaran upah diatur dalam Pasal 12.
Lalu Pasal 13 mengatur soal keselamatan dan kesehatan kerja terkait hak atas lingkungan kerja yang aman dan sehat. Sementara soal jaminan sosial diatur dalam Pasal 14.
Konvensi itu juga mengatur standar mengenai PRT anak, PRT tinggal di dalam rumah, PRT migran, agen ketenagakerjaan swasta, hingga penyelesaian perselisihan dan pengaduan.
Lita menyinggung pembukaan UUD 1945 yang menyebut pemerintah Indonesia antara lain “ikut menjaga ketertiban dunia, memajukan kesejahteraan umum, melindungi segenap bangsa. Artinya, menurut dia, “Ikut menjaga ketertiban dunia termasuk mengatur HAM, dan HAM untuk pekerja adalah situasi kerja layak bagi PRT."
ADVERTISEMENT
Pembuatan produk hukum yang menjamin kesejahteraan PRT, lanjutnya, bisa berjalan kalau pemerintah bersedia meratifikasi konvensi ILO. Dari situ, negara akan dimandatkan untuk melahirkan peraturan-peraturan lainnya. Tetapi, sampai saat ini konvensi tersebut belum diratifikasi.
Kini Jala PRT sedang berupaya melakukan uji materi terhadap peraturan Jamsostek yang tidak menganggap PRT sebagai pekerja, melainkan dikategorikan pekerja bukan penerima upah.
“Itu kan aneh lagi. Seperti pengalimatan istilah ini menghindar dari kewajiban. Kami akan serahkan data kepada menteri, BPJS, dan presiden. ‘Ini lho, warga negaramu yang membuat warga negara lain bisa beraktivitas, tapi enggak dipikirkan.”
===============
Simak ulasan mendalam lain dengan mengikuti topik Outline.